Share

Bab 2. Tawaran 1 juta Dolar

Jari-jemari Airina mulai membuka perlahan berkas yang ada di atas meja.

Dia mencoba menguatkan diri.

Namun, begitu membaca kalimat demi kalimat, mata Airina membelalak.

“Surat pernikahan kontrak?” ujarnya–memastikan iris matanya tidak salah mengeja kata. “Tuan, apa aku tidak salah baca?”

Pria di hadapannya hanya tersenyum. “Anda sama sekali tidak salah baca. Silakan ambil keputusan secara cepat.”

Tuan muda Pinault lalu beranjak dari kursi kerjanya dan bersedekap dada menatap lekat ke arah Airina.

Di bawah tekanan, Airina memberanikan diri membaca isi kontrak.

Beberapa kali matanya memicing membaca deretan persyaratan yang harus ia patuhi. Namun, intinya hanya dua:

1. Pernikahan kontrak hanya berlaku satu tahun. Jadi, tidak boleh ada hubungan badan ataupun kontak fisik jika tidak diperlukan.

2. Pihak kedua harus patuh pada Tuan Pinault, tanpa terkecuali demi kepentingan citra perusahaan.

Lalu untuk bayaran sebagai istri kontak Tuan muda Pinault….

“1.000.000 Dolar?” pekiknya tertahan. Matanya memicing menatap nominal yang tertera.

‘Apa aku tidak salah baca? Jika demikian, biaya rumah sakit ibu dan sekolah adik akan tercukupi,’ gumam Airina dalam benaknya.

“Bagaimana, Nona?” tanya lelaki di hadapannya dengan menatap Airina intens.

Airina sempat terhenyak. Ingin sekali ia menolak tawaran ini dan memilih mencari pekerjaan yang jelas saja.

Airina juga tidak ingin dicap seperti wanita murahan yang bisa dibeli menggunakan uang.

Tapi masalahnya … dia tidak punya uang untuk ganti rugi. Dengan menjadi istri kontrak Tuan muda Pinault, perawatan ibunya tidak akan ditunda lagi.

Lalu, ada desas-desus mengatakan Tuan muda Pinault sudah memiliki tunangan. Lantas, kenapa memintanya untuk jadi istri kontrak?! Bukankah aneh jika seorang Pinault menikahi gadis pinggiran dari Lyon?

Kepala Airina seperti akan pecah saat itu juga.

Telebih, tatapan intens dari Tuan muda Pinault semakin membuatnya gugup.

“Airina Lyon,” panggil lelaki bertubuh jangkung itu menyadarkan Ariana dari lamunan.

Seketika ia menyadari jaraknya dengan pria tampan itu sangatlah tipis–membuat Airina semakin canggung.

Tapi, tunggu! Bagaimana pria ini tahu nama lengkapnya?

“Tuan, bagaimana Anda tahu nama lengkap saya?” tanya Airina dengan tatapan nyalang.

Pria itu mendadak duduk di sudut meja. Ia melipat lengan kemejanya sediki dan menatap Airina dengan tegas. “Kamu benar-benar tidak mengenaliku, Airina?”

“Bukankah ini pertemuan pertama kita, Tuan?” Airina balik bertanya.

“Arsen Pinault. Lulusan ESMOD Internasionale program studi Arsitektur. Dua tahun di atasmu,” jelas laki-laki itu dengan terang-terangan, “sampai di sini, apakah kamu belum mengenalku?”

Deg!

Airina membelalak mendengar nama tersebut.

Saat menjadi mahasiswa baru, Airina pernah dekat dengan pria culun bernama Arsen. Dia menyukai pria tersebut diam-diam. Mereka bahkan sering menonton bersamanya menonton festival seni bersama di akhir pekan.

Hanya saja, sudah lama keduanya lost contact. Airina bahkan melupakan rupa pria itu, kecuali kebiasaan Arsen yang selalu memakai kacamata tebal dan celana menggantung di perut.

Hal ini sangat berbeda dengan pria di hadapannya yang memakai gaya rambut trendi dan sungguh tampan, bagaikan pahatan patung Yunani terkenal di museum Louvre!

“Maaf, tapi sepertinya Anda salah. Saya memang kenal Arsen. Hanya saja, dia … adalah pria polos yang tidak berpenampilan seperti Anda!” ucap Airina kembali.

Mendadak ruangan itu berubah menjadi hening dan canggung.

“Airina Lyon, ingatan Anda benar-benar setipis tisu ternyata!” ledek Arsen.

“Aku Arsen yang pernah menonton festival seni di Macherie dengan Anda beberapa tahun lalu.” Arsen mengetuk ujung hidungnya terlihat berpikir. “Dulu, aku bahkan mengantarmu ke rumahmu di kawasan Mittleburg.”

Seketika, Airina seperti kekurangan pasokan oksigen.

Jadi, Arsen di hadapannya adalah Arsen yang culun itu?

“Ta–tapi ….”

Pria itu tersenyum miring. “Jika masih ragu, aku bisa menunjukkan sesuatu yang membuatmu yakin.”

Setelah berkata demikian, Arsen mulai merubah penampilannya.

Ia menyugar rambut menjadi dua sisi seperti dulu saat masih menjadi mahasiswa program studi arsitektur.

Dengan kacamata bulat yang tebal menggantung di wajahnya.

Celananya yang awalnya rapi itu, ia naikkan sampai di batas perut.

“Kalau seperti ini, apakah kamu mengingatnya?” tanya Arsen dengan memainkan tangannya di depan dada.

‘A–Arsen?’ batin Airina terkejut setengah mati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status