Keren Arkan diam-diam lindungin Naura dari kakaknya yang jahat itu. Yuk baca kelanjutannya di bab berikutnya 🥰
'Aku hanya membutuhkan seseorang yang bisa menjagaku, melindungiku dari orang-orang yang merundungku.' Naura terbangun dari tidurnya saat mendengar dentuman pintu yang terdengar jelas di telinganya. Ia pun menyibak selimutnya- berjalan ke kamar mandi. "Apa ini," gumam Naura saat melihat plester di pipinya. Perlahan Naura mendekat untuk melihat plester yang menempel di pipinya. Ia merasa tidak pernah menempelkan benda itu bahkan sebeleum tidur pun Naura tak pernah melihat plester itu. "Apa Om Arkan yang menempelkan ini?" Sudut bibir Naura terangkat, ia merasa bahagia karena Arkan perhatian kepadanya ya meski kadang menyebalkan. Naura keluar dari kamar melhat ke sisi kiri dan kanan, tidak ada penampakan Arkan padahal sudah jam delapan pagi. Ia lanjut berjalan ke dapur dan melihat makanan yang ada di atas meja serta secarik kertas yang tertinggal di sana. 'Makanlah lalu istirahat, enggak perlu ke kampus hari ini karena aku sudah meminta ijin ke kampusmu.' "Aku baik-baik saja kena
Hening, Sinta dan Naura terlalu terkesima dengan kehadiran Liona yang tiba-tiba saja muncul di depan mereka."Wah, enggak nyangka ya bisa ketemu di sini," ucapnya.Naura memalingkan wajahnya seolah tak melihatnya agar tak perlu berbasa-basi."Li-Liona, kenapa kamu ada di sini?" tanya Sinta gugup melihat mantan menantunya.Liona tersenyum lalu menjawab, "Kebetulan restoran ini milikku. Aku sangat senang melihat Mamah datang ke restoran aku, ini sebuah kehormatan untukku."Sinta memaksakan tersenyum meski ia begitu tak enak hati pada menantu barunya. Ia yakin Naura akan berpikir jika dirinya sengaja mengajak datang ke restoran yang ia sendiri baru tahu milik Liona."Hai, Naura. Senang bertemu denganmu.""Hm ... aku juga senang ketemu sama kamu, Tante. Eh, Liona."Ucapan Naura sedikit menjatuhkan harga diri Liona. Ia pun bersikap biasa saja agar tidak terlihat oleh mantan mertuanya. "Permisi ini pesanannya," ucap waiter menghentikan pembicaraan mereka."Tolong bil meja ini kasih ke saya.
Sepetinya ketenangan dalam rumah tangga tak bisa di rasakan Naura dan juga Arkan. Setiap hari ada saja pertengkaran kecil yang semakin melebar ketika keegoisan menguasai keduanya. "Mana sarapanku?" tanya Arkan sembari menurunkan bokongnya di kursi. Naura membawa dua piring nasi goreng- menyajikannya di atas meja. "Aku hanya masak nasi goreng." "Hanya ini?" "Maaf aku enggak ada waktu buat masak banyak. Hari ini aku harus ke kampus karena ada tugas lapangan." Mata Naura melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. naura ke dapur untuk mengambil kotak makan, memasukkan nasi goreng ke kotak makanannya. "Kenapa kamu enggak makan di sini?" "Aku telat. Aku berangkat duluan." "Hei, tunggu!" Naura menggendong tasnya lalu keluar dari apartemen, mengabaikan ocehan Arkan yang memintanya untuk menunggunya terlebih dahulu. Drrrttt ....Ponsel Naura bergetar terlihat nama Lala di sana. Naura yakin jika temannya sudah menunggunya di bawah dan benar saja saat pintu lift terbuka La
Entah apa yang di rencanakan Arkan tapi kehadirannya menyambut kedatangan Naura serta teman-temannya membuat Naura sedikit takut. "Selamat pagi, Pak. Kami dari Universitas Buana. Kedatangan kami ke sini hanya ingin mewawancarai atasan atau mungkin bagian penanggung jawab perusahaan ini untuk menjelaskan perusahaan bergerak dalam bidang apa serta proses perputaran uang di perusahaan ini," ungkap Mega dengan lantang. Namun, mata Arkan tak lepas dari Devan. Keduanya saling berpandangan seolah sedang menyalurkan emosi mereka melalui mata yang tersirat. "Bagiamana Pak?" sela Mega. "Perusahaan kami memiliki kebijakan untuk tidak memberikan informasi apa pun ke pada orang lain. Tapi, kalau kalian hanya ingin mengetahui garis besarnya saja mungkin aku akan menjelaskan. Sebelumnya perkenalkan namaku Arkan Syahreza CEO perusahaan ini." Dengan pongahnya Arkan memberikan kartu nama ke rekan Naura, tanpa terkecuali. "Wah, CEO sendiri yang menjelaskan!" seru Dani. "Mohon maaf kalau kehadira
'Ternyata selama ini cintaku tersampaikan. Hanya saja aku terlalu bodoh untuk memahaminya.'Naura memalingkan wajahnya. Jantungnya berdetak dengan kencang, untungnya hanya Naura yang bisa mendengar dan merasakan hal itu.Drrttt ....Dengan cepat Naura mengambil ponselnya, menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan Arkan."Ha—""Di mana kamu. Jangan bilang kamu lagi berduaan sama Devan."Seketika Naura menatap mata Devan, ia takut pria yang ada di hadapannya itu mendengar percakapannya dengan Arkan."Hm ... aku langsung pulang kalau udah selesai.""Pulang seka—" Belum selesai bicara Naura menutup panggilan Arkan. "Kenapa, apa suami kamu sudah menyuruhmu untuk pulang?"Naura mengangguk lalu meminum air putihnya hingga tandas. "Setelah ini tugas kita selesai kan?"Devan mengambil sesuatu di tasnya. "Sepertinya tugasku kurang satu lagi. Aku harus beli buku dulu, kamu mau ikut?"Tak ingin menyia-nyiakan waktu berdua dengan Devan, Naura pun mengiyakan ajakannya dan melupakan perinta
Wajah Naura merah padam saat mengingat bibirnya menyatu dengan bibir Arkan. Itu ciuman pertamanya yang di rebut paksa oleh Arkan. "Arrgh ... menyebalkan. Kenapa kepalaku di penuhi dia?" gumam Naura. Hatinya bergetar ketika mengingat Arkan menyatukan bibir mereka. Bahkan sebuah kecupan terdengar saat Arkan melepaskan pagutannya. "Gimana kalau aku ketemu sama dia, pasti sangat canggung. Tunggu, bukannya dia yang harus minta maaf kan dia yang sudah mencium bibirku!" Seketika Naura menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, lalu beranjak dari ranjang. Ceklek Naura menyembulkan kepalanya, meneliti setiap ruangan— memastikan jika tidak ada Arkan di sana. Merasa aman Naura keluar dari kamar di ikuti Arkan yang juga bersamaan keluar dari kamar. "Astaga," tutur Naura mendengar suara pintu terbuka. "Ehm ... Buatkan aku sarapan." "I-iya." Naura berjalan ke dapur tak berani mengangkat kepalanya. Ia merasa malu saat mata mereka saling beradu pandang. Ia pun tak bisa mengendalikan t
Hati Arkan bergetar saat melihat Naura yang terus menyunggingkan senyum kepadanya. "Om sini," tutur Naura mengajak Arkan untuk melakukaan foto box. "Kamu saja, aku enggak suka di foto." Naura menarik tangan Arkan membawanya masuk ke dalam box tersebut. "Ayo, Om. Siap ya." Dari empat foto yang keluar, hampir semua wajah Arkan tak menunjukkkan ekpresinya. Ia malah terlihat kaku, sedangkan Naura begitu bersemangat dengan berbagai ekspersi. "Arrrgh ... kaku sekali wajahnya. Harusnya Om itu banyak tersenyum biar enggak cepat tua!" "Maksud kamu?" Naura menunjukkan foto yang baru mereka ambil. "Tuh lihat, Om terlihat seperti Papahku." "Maksud kamu?" "Tua," ucap Naura sambil tertawa terbahak-bahak. Saat Naura akan melangkah keluar, Arkan menarik tangannya dan mengajaknya untuk kembali berfoto. Benar saja kali ini Arkan menunjukkan barisan giginya yang rapi, menatap ke arah lensa. "Satu, dua, tiga ...." Arkan dan Naura menunjukkan pose yang begitu manis seperti sepasang kekasih. set
Hanya sebuah pesan tapi cukup mengalihkan perhatian Arkan. Ia terus memandangi pesan yang dikirim seseorang tanpa ingin membalas pesan tersebut."Liona, hanya dia yang sampai dengan saat ini memanggilku Sayang," gumamnya.Tok ... tok"Om, boleh aku masuk?"Dengan cepat Arkan membenarkan duduknya. "Masuklah.""Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Om Arkan, semoga panjang umur. Yeeee ...."Naura benar-benar bersemangat memberikan kejutan untuk Arkan meski tadi sudah memberikan donat untuknya. "43 tahun?" Arkan begitu terkejut melihat lilin membentuk angka 43.Naura tersenyum karena sukses membuat Arkan protes akan kejahilannya. "Wah, sepertinya aku salah pasang lilinnya. Tapi, bukannya usia Om sebentar lagi menuju ke sana?" "Kau-" "Maaf, ayo kita tiup lilinnya di luar. Mamah nyuruh aku kirim foto acara ulang tahun Om." Dahi Arkan mengernyit mendengar ucapan Naura seolah tak percaya. "Mamah?" "Hm, tadi Mamah telepon. Bahkan Mamah bilang mau ngerayain ulang t