"Maksudnya Eyang apa? Silvia itu bukan sampah bagi Bian." Suaraku tertahan di tenggorokan. Ingin rasanya aku memaki-maki lelaki di depanku itu. Aku pun menatap tak suka pada lelaki yang sedang duduk di tepi ranjang ibu. "Mas … jangan berdebat dengan eyang gara-gara aku. Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Bu, Eyang, Mas. Silvia pamit dulu. Sebaiknya Silvia tidak pernah muncul lagi di hadapan keluarga ini." Silvia bangkit dari tempat duduknya kemudian bersalaman dengan ibu dan ke Eyang. Namun, lelaki yang sudah berumur puluhan tahun itu tak mau menerima uluran tangan Silvia. Aku hanya mematung di depan mereka. Otakku berusaha mencerna ucapan Silvia tadi. "Silvia tunggu." Aku berusaha mengejarnya setelah perempuan bergamis warna silver itu setengah berlari meninggalkan ruang rawat ibu. "Apa lagi, Mas." Langkahnya terhenti. Aku tahu dia sedang menangis. Suaranya bergetar. "Ayo, ikut aku!" Aku menarik tangannya. Namun, segera dikibaskan. "Maaf." Aku lupa kalau dia menjaga agar ta
Dari kamar ibu menuju tempat parkir kami harus berjalan cukup jauh. Namun, aku menikmati langkahku. Dari jalan yang dipasang paving block ini, aku bisa menatap taman depan Mushola dari jarak jauh. Mataku tertuju pada bangku yang menjadi saksi bisu obrolan kami beberapa kali. Aku dan Silvia.Aku memperlambat langkah saat pandangan tertuju ke arah taman. Seolah mata dan kakiku masih ingin berlama-lama mengenang kebersamaan dengan wanita yang aku cinta. Aku tak ingin kehilangan kenangan tentang taman tersebut. Lebay, alay, atau seperti ABG? Aku tidak peduli kalian mau komentar apa. Memang cintaku yang begitu besar pada Sivia, sehingga aku seperti orang gila dibuatnya."Bian. Apa yang kamu lihat di taman tersebut?" tanya ibu yang mengembalikan kesadaranku. Aku terlalu larut dalam lamunan. "Ah, nggak, Bu." Aku tidak mungkin jujur pada ibu karena di belakang beliau ada kakek yang siap melontarkan kata-kata pedasnya untuk Silvia meski wanita itu tidak ada di depanku.**** Fh****"Bian. Kap
Aku baru ada waktu untuk mencari Silvia hari ini. Setelah satu Minggu pulang dari rumah sakit. Kemarin-kemarin sibuk di ruko. "Mau mencari Silvia, Bu," jawabku pelan setelah memastikan kamar eyang masih tertutup rapat. Artinya beliau tidur kembali setelah shalat Subuh. Cuaca yang dingin membuatnya nyaman untuk berlindung di bawah selimut. Semalam diguyur hujan lebat. "Ya sudah hati-hati. Kalau kamu tidak bisa mengambil hatinya Silvia kembali, jangan berkecil hati. Masih ada Allah. Langitan doa-doamu di sepertiga malam. Ibu pun akan turut mendoakanmu."Aku tersenyum penuh kehangatan setelah mendengar tutur ibu. Restu ibu sudah aku kantongi. Yes! ****Jantungku berdegup kencang saat tiba di depan rumah paman Gozali. Bagaimana tidak, rumah sederhana itu tampak ramai oleh orang-orang. Belum lagi di depannya terparkir beberapa mobil. Ini acara apa? Gegas, aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Di depan rumah tetangga paman Gozali."Bu. Numpang tanya. Itu di rumah paman Gozali ada aca
Beliau menaruh harapan besar agar aku bisa kembali menikah dengan Silvia. Wanita yang telah dianggap anaknya sendiri."Bu." Aku kembali menyapanya. Khawatir ibu kenapa-kenapa."Kamu yang sabar, ya." Suara ibu terdengar lemas. Pasti sangat syok dengan ini semua. Hening. Tidak ada percakapan di antara kami. Namun, telepon pintar pun belum kami matikan."Nak. Kamu harus terima kenyataan bahwa Silvia bukan jodohmu. Sekuat apa pun kamu mengejarnya kalau memang bukan jodohmu maka tidak akan bisa bersama. Ikhlaskan, Nak. Doakan semoga Silvia bisa bahagia dengan pernikahan keduanya ini." Aku yakin ibu bukan hanya sekedar menasihati anaknya yang sedang rapuh. Akan tetapi, ibu juga sedang menyemangati dirinya sendiri. Aku tahu ibu pun sama terlukanya dengan berita ini. Sama-sama harus menelan pil pahit. Bahwa Silvia tidak mungkin kembali ke rumah kami. Namun, ucapan ibu sedikit banyak bisa mengobati rasa sakit di hatiku. Aku harus sadar semua ini sudah ketetapan Allah. "Kamu yang kuat. Lebi
Aku mendongak setelah mendengar suara orang terjatuh. Aku kira itu Silvia atau Satria. Ternyata Putri yang tersungkur di belakang bapaknya. Putri terjatuh di kala bapaknya melangsungkan ijab kabul. Semua orang terlihat panik. Ada wanita setengah baya yang menjerit histeris melihat gadis kecil itu tergolek tak berdaya di lantai. Mungkin itu neneknya Putri. Ijab kabul pun tertunda. Eh, entah tertunda atau malah batal sekalian? Ah, entahlah. Namun, hatiku sedikit lega dengan kejadian ini. Bukan karena aku tidak mempunyai rasa perikemanusiaan yang berbahagia di atas sakitnya Putri, bukan. Hanya saja aku senang pernikahan ini tidak jadi dilaksanakan. Waraskah aku yang berbahagia di atas deritanya Silvia? Ah, entahlah. Aku melayangkan pandangan ke arah wanita yang sedang menangis sembari mengolesi minyak kayu putih pada hidung anak perempuan itu. Kesedihan jelas terpancar dari wajah ayu itu.Apa yang kamu tangisi Silvia? Gagalnya pernikahan kalian? Atau kondisi anak perempuan itu? Aku
"Mungkin bahagianya Silvia ada pada Satria." Bi Baidah menyahut ucapan lelaki yang mengenakan kemeja batik di sampingku."Nak Abian sudah menikah kembali?" Spontan aku menoleh ke arah paman Gozali."Belum ketemu jodohnya, Paman?" Aku tersenyum getir tatkala tangan kekar yang kian berkerut itu menepuk pundakku."Semoga lekas ketemu jodohnya." Paman Gozali mendoakan aku. "Aamiin." Taukah kau paman, wanita yang aku inginkan adalah keponakanmu!"Kalau sudah menikah jangan lupa bahagiakan istrinya!" Suara perempuan dari kursi tengah kembali terdengar.Sepertinya dia tahu banyak tentang hubungan kami dulu."Paman sempat kaget saat kalian memutuskan bercerai. Sampai saat ini paman tidak tahu apa alasan kalian berpisah?" Apa artinyapaman masih mengharapkan aku bersama Silvia kembali? Namun, sayang kesempatan itu sepertinya sudah tertutup."Sudahlah, Pak. Nggak usah dibahas lagi. Toh, dipertahankan pun Silvia tidak bahagia sama sekali dengan Abian. Memang lebih baik mereka berpisah. Tidak sal
Silvia menyudahi dzikir dan berdoanya. Aku sengaja menunggunya di luar masjid rumah sakit. Kami sama-sama habis melaksanakan salat Dzuhur."Anakmu sakit apa, Via?" tanyaku saat perempuan di depanku mulai mengenakan sandalnya. Aku sengaja menyebut anakmu agar dia merasa nyaman. Toh, cepat atau lambat pasti akan menjadi anak sambungnya juga.Padahal, aku berharap akan memberikannya anak kandung. Namun, takdir berkata lain. Mungkin dia akan memiliki anak dari orang lain. Bukan dari aku."Kanker otak," jawabnya dengan wajah sedih. Aku mematung beberapa saat. Mencoba mencerna ucapan Silvia. Kanker otak? Anak sekecil itu sudah harus merasakan penyakit yang mematikan. "Apa itu alasan kuat kamu menerima Satria, Via?" Ingin aku bertanya demikian. Namun, rasanya tidak etis dalam kondisi yang seperti ini. "Innalillahi. Semoga cepat diangkat penyakitnya oleh Allah." Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibirku."Terima kasih doanya." Silvia sudah mulai melangkah meninggalkan masjid. "Silvia
"Silvia telah resmi menjadi istri Satria?" Paman Gozali bercerita setelah kami saling sapa dan berbasa-basi sebentar.Aku tahu ini pasti akan terjadi. Mereka akan tetap menikah. Namun, hatiku tetap saja merasakan sakit. Bibirku kelu untuk berucap. Kata-kataku tertahan di kerongkongan. Aku tidak bisa menjawab atau merespon cerita paman Gozali."Jujur paman kecewa tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ini kehendak Silvia." Suara lelaki yang menjadi walinya Silvia itu terdengar berat. Seperti ada beban dalam dadanya."Allah telah menjodohkan mereka, Paman. Sekuat apa pun kita menolak tetap kuasa Tuhan di atas segalanya." Aku tidak tahu sebenarnya sedang berbicara apa? Yang aku tahu itu adalah cara untuk mengobati luka sendiri.Kalau memang pernikahan itu bisa membawa kebahagiaan untuk Silvia aku bisa apa? Bukankah mencintai itu tidak harus memiliki? Aku akan mencoba untuk mengikhlaskannya. Bukan menyerah, bukan. Aku akan tetap mencintai Silvia dalam diam. Akan kusebut namanya di