Aku membuka pelan pintu kamar mandi, dan netra ini langsung memindai seluruh kamar. Ternyata Mas Raffi kembali terlelap.Setengah berlari aku menuju nakas mencari mukena untuk salat. Selesai mengenakan mukena, baru aku membangunkan Mas Raffi."Mas bangun, ayo salat subuh dulu, keburu waktunya habis lho," ucapku sambil sedikit menggoyangkan tubuhnya, ia menggeliat, kemudian pelan-pelan membuka matanya dan menatapku."Kamu udah salat subuh?" Aku mengangguk. Padahal belum, tentu aku menunggunya, untuk salat berjamaah bersama.Dahinya mengernyit."Kok nggak nungguin aku sih," ucapnya berdecak kesal."Hehe, belum kok, aku nungguin kamu, ayo cepetan mandi, aku tunggu." Aku berkata sambil tersenyum, ia pun ikut tersenyum hendak mengelus pipiku.Secepat kilat aku memundurkan kepalaku."Eeitss! Aku sudah wudhu lho! No!" Aku menggerakkan jari telunjukku tanda tak ingin di sentuh karena sudah ada wudhu.Mas Raffi pun segera bangkit, meraih celana pendek yang berada tak jauh dari tubuhnya kemudia
"Oh ini, dari Mas Adrian kemarin yang di titipkan melalui Dania," sahutku.Tapi wajah Mas Raffi seketika berubah, dan langsung mengambil surat itu dari tanganku."Mas, ak–"Raffi tidak merespon, ia langsung membaca isi surat itu.'Annisa, Selamat atas pernikahanmu, semoga Kau bahagia bersama suamimu yang sekarang.Aku selalu berdoa semoga kau selalu sehat dan bahagia.Aku minta maaf, dengan segenap hati, aku minta maaf pernah menyakitimu. Aku adalah orang paling tolol di dunia ini, yang telah menyia-nyiakan bidadari sepertimu. Sekali lagi aku sangat menyesal Nis.Kini setiap detik waktu yang berjalan, aku hanya bisa meratapi semua ini. Penyesalan yang membelenggu jiwa, hingga aku tak bisa berpikir jernih, memaksamu untuk kembali bersamaku. Tapi hal itu kini sudah menjadi hal yang sangat mustahil.Aku minta maaf.Aku ikhlaskan kau berbahagia dengan jalan yang kau pilih sesuai dengan pintamu saat itu. Selamat berbahagia Sayang.Dari lelaki bodoh di masa lalumu.Tertanda Adrian.'"Ikhla
"Eh kok gitu sih Sayang, jangan gitu dong!" Raffi mengejarku.Pintu lift terbuka aku pun langsung masuk. Namun saat pintu lift hampir tertutup kembali, Raffi sudah lebih dulu menyelinap masuk ke dalam."Yank, Kok gitu sih," ucapnya lagi."Biarin! Lagian aku lagi mode serius kamu malah gitu.""Aku kan bercanda, maksud aku pengin bikin kamu tersenyum gitu lho."Aku diam pura-pura merajuk."Please jangan ngambek," ungkapannya sambil berusaha memelukku."Inget lagi di lift nih, jangan sampai ada cctv bisa kena ciduk kita di kira pasangan mesum!" "Biarin, mesum sama istri sendiri juga.""Awas minggir, sempit nih!" Aku sedikit mendorong tubuhnya, untung saja di lift ini hanya ada kami berdua."Jangan gitu dong, cium nih, kalau masih ngambek." Aku makin mendelik menatapnya.Tapi Raffi justru memajukan tubuhnya semakin mendekat."Iya. Iya! Jangan gini ah, malu kalau di lihat orang!" Lagi aku mendorong tubuh kekarnya."Gitu dong, makanya jangan ngambek, ngambek aku cium ntar!"Duh, gini bange
Bukannya aku pesimis aku hanya takut tak bisa secepatnya memberikan keturunan untuk keluarga ini. Walaupun hasil pemeriksaan beberapa dokter semuanya mengatakan aku sehat. Kalau aku lihat, Mama Maya dan Papa Hendra dari sudut netra mereka sangat terlihat jelas, mereka begitu mengidamkan kehadiran cucu. *"Sayang kamu kenapa? Kok sejak tadi kayaknya banyak diam?" tanya Mas Raffi. Saat ini kami tengah mengemasi barang-barang kami, akan check out dari hotel, dan malam ini juga kami akan terbang ke pulau Dewata Bali."Aku nggak apa-apa Mas.""Kamu capek? Kalau kamu capek, kita bisa ambil penerbangan besok pagi aja," ucapnya lagi."Oh, enggak kok. Aku nggak apa-apa. Terbang malam ini pun oke."Kami pun sama-sama berkemas memastikan semua barang milik kami berdua sudah semuanya masuk ke dalam koper.Setelah semuanya selesai kami langsung turun, di bawah Papa dan Mama sudah menunggu di lobby."Sudah siap pulang siang ini?""Sudah Ma," sahutku."Nggak ada yang ketinggalan kan?""Nggak ada,
"Sini kamu! Silakan pergi dari sini!" Raffi menarik kuat lengan Siena, dan menyeretnya hingga keluar pintu depan."Ngapain sih kesini, cuma bikin onar! Sudah berapa kali aku bilang, kita sudah selesai! Nggak ada lagi yang harus di bahas! Aku sudah nikah, dan aku mohon kamu jangan ganggu hidupku lagi!" sentak Mas Raffi seraya menghempaskan dengan kasar tubuh Siena."Tega kamu Fi! Kamu tega! Kamu lupa dengan semua yang pernah kita lakukan! Bahkan kamu dulu sangat memujaku. Aku yakin pernikahan kamu dengan perempuan sok suci itu pasti hanya pelarian semata kan? Aku tahu di hati kamu hanya ada aku kan Fi?! Ayolah, sekarang aku sadar, aku datang untuk kembali sama kamu, aku mau kita sama-sama lagi kayak dulu, ayolah Fi, aku janji nggak akan mengulangi kesalahanku. Aku minta maaf, aku khilaf. Sekarang laki-laki yang aku cintai hanya kamu seorang Raffi! Aku cinta kamu Sayang."Aku menajamkan pendengaran dan melihat wanita itu dengan penuh drama menarik simpati Mas Raffi.Benar-benar sudah gi
"Indah banget ya Mas, pemandangannya.""Iya."Salah satu bukti kebesaran Allah, yang menciptakan semua pemandangan yang memukau, bak di dalam lukisan. Sangat indah.Lautan lepas berwarna biru, debur ombak bersahutan, membuat siapapun akan betah berlama-lama di sini, menatap birunya lautan bersamaan dengan semilir angin yang berhembus mengibarkan hijab berwarna abu-abu yang kukenakan.Aku menatap ke bawah, kakiku yang basah oleh air laut karena terbawa ombak, lalu kemudian surut dan disusul lagi oleh ombak yang lain. Begitu terus hingga pasir putih yang lembut dibawah telapak kaki, perlahan makin membenamkan kakiku di bawah sana.Pelan kurasakan satu tangan Mas Raffi merangkul pundakku, kami sama-sama menikmati indahnya ia panorama alam yang begitu indah. Menatap jauh hamparan laut yang luas berpadu dengan birunya langit cerah pagi ini.Lalu Mas Raffi menggandeng tanganku, mengajakku berjalan di sepanjang bibir pantai, menikmati setiap detik waktu yang kelak akan menjadi sebuah memori
"Oh Tuhan, siapa lagi ini?" Aku mengusap wajahku, kemudian menatap wajah suamiku yang masih terlelap dalam damainya.Semoga saja dia bukan siapa-siapa.Aku masih sibuk dengan pikiranku, ketika tiba-tiba Mas Raffi menggeliat, perlahan matanya terbuka dan menatapku yang berada di sebelahnya dengan ponsel miliknya berada dalam genggamanku"Sayang, kamu lagi ngapain?" Ia sedikit terkejut."Enggak ngapa-ngapain. Cuma mau lihat-lihat foto-foto kita tadi di pantai." Aku mengukir senyum untuknya."Oh. Astaghfirullah! Aku belum salat salat dhuhur, jam berapa sekarang?" "Jam dua siang. Salat dulu Mas.""Kamu udah?" tanyanya."Udah, tadi kamu tidur pules banget, aku jadi nggak tega mau bangunin jadi aku salat duluan tadi.""Ya udah nggak apa-apa. Mas mau salat dulu."Ia pun bangun dan berjalan ke kamar mandi.Aku meletakkan kembali ponsel miliknya di atas nakas, biarlah nanti setelah Mas Raffi salat, aku baru akan menanyakan soal wanita yang mengirim pesan padanya.Aku merebahkan tubuhku di pem
Bab "Ingatan tentang Lidia tetap ada di sini. Dulu kami saling mencintai, namun ternyata dia sudah di jodohkan dengan seseorang oleh kedua orangtuanya sejak ia kecil. Istilah yang biasa orang sebut Kawin gantung. Saat orang tuanya tahu kami berpacaran masa SMA itu, mereka marah, dan melarang Lidia untuk bertemu denganku. Tapi cinta yang tumbuh diantara kami, sepertinya sangat kuat, Aku dan Lidia bahkan nekat mencuri waktu untuk bertemu saat jam sekolah berakhir. Sampai pada puncaknya, Orang tuanya langsung mendatangiku untuk tak lagi menemui Lidia, dan sejak saat itu, Lidia dipindahkan ke sekolah lain."Aku terkesiap mendengar cerita yang di ungkapkan oleh laki-laki yang beberapa hari lalu telah sah menjadi suamiku."Aku kira setelah lama tak berjumpa dengannya aku akan lupa tentangnya. Ternyata aku salah. Hampir satu tahun aku dekat dengan Siena ternyata semua itu tak mampu mengikis rasaku pada Lidia."Aku tercekat hingga tanpa sadar netraku berkaca-kaca menatap wajah laki-laki data