Ibu menatapku nanar. Ya Allah, maafkan aku Ibu."Bu, jawab Nisa, Ibu nggak apa-apa?" Ibu masih tak bergeming bahkan menatapku tak berkedip.Ibu hanya melambaikan tangan padaku, tanpa berkata sepatah katapun. Perlahan tangan kanannya menekan dadanya kuat-kuat."Bu, kita ke rumah sakit?" Ibu menggeleng cepat."Tak perlu Nduk. Tolong ambilkan saja obat Ibu di laci itu," kata Ibu sambil menunjuk lemari kecil di sudut kamar ini. Aku pun bergegas menarik laci paling atas, langsung ketemu obat yang di maksud Ibu."Ini Bu, minumlah." Aku memberinya satu butir obat dan segelas air putih yang kebetulan ada di atas nakas.Ibu pun langsung menerimanya dan meminum obatnya."Bagaimana Bu?" tanyaku setelah Ibu meneguk air putih.Ibu hanya melambaikan tangan."Tak apa-apa. Sekarang tinggalkan Ibu sendiri, Ibu mau istirahat ya Nis." Aku mengangguk dan bangkit untu keluar kamar."Bu, sampai kapanpun bagi Nisa Ibu tetap Ibu bagi Nisa, jangan pernah menganggapku seperti orang lain Bu, jika perlu apa-apa
"Alhamdulillah kue-kue buatanmu habis semua, Nis!" ucap Bu Ningsih saat sore hari aku ke rumahnya untuk mengambil box kue."Benarkah, Alhamdulillah Masha Allah," seruku girang. Berkali-kali aku mengucap Alhamdulillah. Aku tak menyangka akan habis semua kue-kue yang kutitipkan tadi pagi."Iya, besok bikinnya di lebihin aja Nis, pada bilang enak kue buatanmu, beda sama yang lain. Banyak juga tadi yang sambil ngantri nasi uduk pada makan kue buatanmu, buat ganjal perut dulu katanya." Lagi Bu Ningsih menjelaskan.Tentu aku bahagia sekali mendengarnya."Iya Bu, besok insya Allah Nisa bikin lebih banyak lagi," ucapku bersemangat.Ini sudah menjadi awal yang baik, usaha kue buatanku, mendapatkan respon baik."Ini semua uangnya ya, dari kamu kan per bijinya dua ribu, dikalikan semua jadi segini, kan bener?" Bu Ningsih memberikan catatan di buku kecil total semua kue yang kutitipkan.Aku mengangguk, semuanya benar."Iya bener Bu, makasih banyak ya, Ibu banyak membantu saya." Berkali-kali meng
Air mukanya berubah, ia menatap dalam ke arahku. Tatapan dalam yang dulu selalu kudamba. Cepat-cepat aku membuang pandangan. Beberapa saat kami sama-sama saling diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. "Tak ada lagi yang harus dipertahankan diantara kita Mas, Ibu sudah tahu semua, kurasa beliau akan baik-baik saja, kudoakan semoga nanti lama-lama Ibu bisa menerima Vivi saat aku sudah tak ada lagi di rumah itu. Bukankah itu yang selama ini kau inginkan, Ibu menerima Vivi dan anak yang dikandungnya dengan tangan terbuka?" Ya, selama ini Mas Adrian selalu bicara pada ibu, bahkan membujuk ibu agar memperlakukan Vivi dengan baik, dan menerima anak dalam kandungannya. Ibu yang selama ini begitu keras pada Vivi sepertinya membuat Mas Adrian tak nyaman. Meski ia tak menunjukkannya Secara langsung, tapi aku bisa melihat itu.Beberapa kali Mas Adrian mengusap kasar wajahnya."Nis, tak bisakah kamu beri Mas kesempatan sekali lagi, untuk. Memperbaiki semuanya, aku yakin aku bisa adil pad
"Eh tumben kalian pergi berdua darimana? Kehujanan ya! Ayo cepat masuk, Ibu masakin air panas ya buat kalian mandi berdua," ucap Ibu pada kami yang baru saja tiba di rumah.Ibu menatap kami bergantian dengan raut wajah berbinar, terpancar jelas kebahagiaan di sudut netra tuanya. Senyum merekah menyambut kami berdua yang dalam keadaan basah kuyup."Vi, Vivi! Panaskan air cepat Vi! Sama rebus air buat bikin teh cepat!" teriak Ibu yang masih bersama kami di teras rumah."Mas Adrian, Mbak Nisa! Kalian dari mana?" tanya Vivi tergopoh dari dalam, juga menatapku dan Mas Adrian bergantian tapi tatapannya berbanding terbalik dengan ibu, Vivi menatap kami tak suka.Mas Adrian masuk ke dalam tanpa berkata apapun. Ia langsung ke kamar mandi. Namun sebelum mandi terdengar ia menyalakan kompor. Aku duduk di ruang makan menungguinya mandi, saat aku tiba di dapur, ternyata Mas Adrian telah selesai, keluar dari kamar mandi, dengan sigap ia membawakan panci berisi air panas ke dalam kamar mandi, dan me
Malam mulai beranjak, aku rasakan tubuhku menggigil, apakah ini karena aku habis hujan-hujanan sore tadi.Aku meraih gelas air minum di atas lemari kecil samping ranjang, ternyata kosong. Aku pun mencoba bangkit untuk ke dapur mengambil air minum.Aku melihat jam di ponselku ternyata sudah jam sebelas malam, sejak sore tadi ternyata aku ketiduran.Dengan tertatih aku tetap berjalan hingga ke dapur. Hingga indera pendengaranku menangkap suara yang tak asing bagiku, suara rintihan, disahuti suara lenguhan dari kamar sebelah dapur.Suara berat milik Mas Adrian terdengar begitu familiar meski telah lama aku tak mendengarnya, tapi aku hafal betul suaranya kala dilanda gairah yang menggebu.Sejenak aku terdiam, suara desahan membuat bulu di sekujur tubuhku bergidik.Mereka tak salah, bilik kamar terbuat dari sebuah triplek atau papan tipis tentulah tak bisa meredam suara mereka berdua yang tengah bercinta di dalam sana. Aku merutuki diriku sendiri mengapa tak membawa air ke dalam kamar saja
Sebuah rumah petak yang aku sewa di tepi jalan cukup ramai, di depan jalan berjejer penjual aneka makanan ringan maupun makanan berat, di seberang jalan ada sebuah perusahaan ritel yang cukup besar, tempat belanja pakaian dan lainya. Jadi sangat cocok untuk berjualan makanan di sekitar sini.Sewa kontrakan petak per bulan satu juta rupiah. Kontrakan biasa dengan tiga sekat ruangan sebenarnya, tapi karena lokasinya di depan jalan, jadi aku bisa sekalian buka jualan kue di depan kontrakan. Aku bisa fokus jualan di sini, selain itu untuk menitipkan kue ke Bu Ningsih setiap hari, aku serahkan pada Dania. Ia selalu bangun pagi dan membantuku membuat beberapa macam kue. Jadi saat aku pindah ngontrak di sini, Dania bisa tetap membuat kue di rumah ibu dan menitipkannya pada Bu Ningsih. Biarlah itu menjadi tambahan buat Dania.Selain berjualan offline di depan kontrakan, kini mulai berdatangan pesanan kue box untuk acara arisan, kumpul keluarga dan lainya, yang tentunya bisa sangat menambah
Pov Adrian.Sejak kehadiran Vivi dalam hidupku, entah mengapa semuanya berubah, sikap Dania padaku, sikap ibu padaku apalagi.Semua telah berubah. Mengapa tak ada yang bisa mengerti aku. Aku laki-laki, jujur kehadiran janin dalam rahim Vivi itu sangat membuatku bahagia. Aku rela melakukan apapun asal janin dalam kandungannya sehat, tumbuh dengan baik.Berkali-kali aku mengucap syukur akhirnya ibu bisa membaik kesehatannya. Aku sudah sangat ketakutan saat ibu tiba-tiba drop karena mendengar aku telah menikah lagi. Maafkan aku Bu, tapi aku yakin saat bayi mungil itu lahir diantara kita, ibu pasti senang, bukankah ibu sangat mendambakan seorang cucu?Teringat jelas saat aku menjelaskan jika aku sudah menikah lagi, wajah ibu langsung memerah, netra itu yang biasanya menatapku lembut, kini tengah menatap nyalang ke arahku, tatapan intimidasi begitu kentara sekali.Tak kuasa aku menatap wajahnya yang murka padaku. Aku hanya tertunduk takut. Sejak dulu aku begitu takut jika ibu marah, aku t
"Mas, kamu bisa pulang cepat nggak hari ini?" Vivi menelponku ketika aku masih berada di pabrik. Suaranya terdengar cemas."Memangnya kenapa, Sayang? Aku nggak bisa pulang cepat, bisa kena tegur nanti." "Ya, pokoknya aku nggak suka Mas masak kamar kita begitu sih!" sungut Vivi dari seberang sana. Entah apa maksudnya."Ehm boleh nggak sih Mas kalau aku tuker kamar sama Mbak Nisa, biar Mbak Nisa aja lah yang di belakang itu!"Jelas ibu pasti tak setuju, Nisa kan menantu kesayangannya."Vi, sabar dulu ya, nanti kita bahas pas Mas udah di rumah ya. Sekarang Mas kerja dulu, nggak enak di lihat atasan."Aku pun mengakhiri panggilan telepon, yang tentunya membuat dia kesal pasti. Saat pulang kerja, aku meminta dibuatkan teh pada Anisa, entah mengapa aku rindu teh buatan tangannya. Aku rindu masakannya.Anisa memang selalu pandai meramu makanan dan minuman sehingga selalu pas di lidahku.Namun lagi dan lagi aku harus menelan kekecewaan. Anisa menolak membuatkan minuman untukku, mungkinkah i