Feyana berlari tergopoh dengan membawa kain pel dan ember. Pakaiannya yang kotor dan wajah kumalnya cukup menunjukkan bahwa dirinya sedang sibuk beberes.
“Cepat sembunyi! Jangan sampai nanti ada yang lihat dirimu!” bentak Anne dengan wajah mendelik marah. Anne tidak pernah menyukai Feyana yang berstatus menantunya. Jika bukan karena hasutan putranya yang dulu kukuh mempersunting Feyana demi bisa memberinya keturunan, tentu ia takkan memberi izin. Namun hingga detik ini, tepatnya 3 tahun sudah pernikahan Feyana dan Randy masih belum juga diberi keturunan. Itulah alasan kedua yang membuatnya muak dengan Feyana. Sedangkan alasan pertama, karena Feyana adalah orang desa yang tak punya kekayaan apapun. Feyana tahu betul bahwa mertuanya itu sangat benci padanya. Tetapi rasa cintanya pada Randy selama ini masih mampu membuatnya bertahan di kondisinya yang tidak diterima oleh keluarga sang suami. Feyana memilih mempertahankan pernikahannya dan selalu berdoa untuk bisa segera hamil. Pasalnya, ia juga mulai lelah menunggu kehadiran buah hati di antara rumah tangganya ini. Mungkin saja dengan punya anak, Feyana akan diperlakukan baik oleh keluarga suaminya. “Kenapa masih di situ?” sentak Anne membuyarkan lamunan Feyana. “Iya, Mah.” Dengan langkah cepat, Feyana bergegas masuk ke dapur. Ia meletakkan peralatan kebersihan yang dibawanya ke tempat asal. Tak lupa dirinya mencuci tangan dan mukanya sebelum masuk ke ruang pengap yang sudah jadi tempat persembunyiannya. Sudah jadi hal lumrah ketika ada tamu yang berkunjung ke rumah megah ini, maka Feyana harus buru-buru disembunyikan. Dari awal menikah, Feyana tak pernah dikenalkan oleh khalayak ramai sebagai istri sah Randy. Hanya gosip yang berseliweran saja di luaran sana mengatakan bahwa Randy telah menikah. Jika ditanya mana istrinya, keluarga ini selalu pandai mengelak. Feyana dulu sempat mengutarakan keberatan atas masalah ini, namun suaranya sama sekali tak dianggap. Di dalam ruangan sepetak dengan penerangan lampu tidur yang temaram, Feyana meringkuk sedih. Tak tahu kali ini akan seberapa lama dirinya bersembunyi. Pernah suatu ketika teman kuliah Rena–adik iparnya–datang ke rumah untuk mengerjakan tugas kelompok hingga seharian penuh yang tentu saja membuat Feyana kelimpungan. Feyana bersembunyi tanpa membawa makan atau minum yang membuatnya sampai terkena gejala maag. Bayangkan saja, betapa tersiksanya dirinya waktu itu! Bahkan buang air saja terpaksa ia tahan sampai mereka pulang. Dengar-dengar hari ini yang akan datang adalah keluarga calon suami Rena. Ya, adik iparnya itu sebentar lagi akan menikah. Semua persiapan mulai dari pertunangan hingga nanti resepsi pernikahan dibicarakan di rumah ini. Namun seperti sudah diduga, Feyana tak mungkin diikutsertakan dalam pembahasan. Rena udah mengultimatum bahwa tidak akan membiarkan Feyana dikenal oleh keluarga calon suaminya. Lebih tepatnya, Rena tidak sudi punya kakak ipar seperti Feyana yang baginya merupakan aib terbesar di keluarganya. “Aduh, kenapa di saat seperti ini perutku tak bisa diajak kompromi?” desis Feyana sambil memegangi perutnya yang terasa melilit. Ia merasa maag nya kambuh karena sejak pagi memang belum makan apapun. Feyana dari pagi sudah disibukkan dengan banyak tugas. Ia yang harus memasak untuk sarapan, membuat jamuan untuk tamu, membersihkan rumah yang luasnya tak terkira. Itu semua ia lakukan sendiri tanpa dibantu siapapun, sebab keluarga suaminya sengaja tak memperkerjakan pembantu. Mereka merasa bahwa cukup Feyana saja yang menggantikan tugas pembantu di rumah agar menghemat pengeluaran. Hitung-hitung sebagai biaya hidup bagi Feyana yang menumpang di rumah ini. Atau bisa disimpulkan bahwa nyatanya meski kaya raya, keluarga ini juga sangat pelit. Feyana makin tak tahan dengan perih di perutnya. Jika keluar sekarang, ia yakin akan menjadi masalah besar nantinya. Wajah Feyana perlahan menjadi pucat pasi serta suhu tubuhnya menurun drastis. Keringat sebesar biji jagung keluar dari pelipisnya. “Aku tidak tahan,” ungkapnya menggelengkan kepala pelan. Dengan sedikit terseok, Feyana membuka pintu ruangan itu dan keluar diam-diam menuju dapur lewat pintu belakang. Toh, tempat persembunyiannya berada di halaman belakang sedikit menjorok ke pojok tembok pembatas. Ia berharap semoga saja tak akan ada keluarga yang memergokinya. Feyana tersenyum samar ketika melihat ada sepotong cake dengan krim warna ungu muda itu tersaji di atas pantry. Ia perlahan mendekat dan menjilat bibirnya. Cake itu cukup menggoda dan tak ayal membuat Feyana tanpa sadar mengambil secuil untuk dicicipinya. Krimnya meleleh di mulut dan rasa kue cukup nikmat jika dilewatkan. Jadi dengan tidak tahu dirinya serta karena perut yang keroncongan tak tertolong, Feyana mengambil kue itu dan memakannya dengan lahap di bawah meja pantry agar tidak ketahuan. Setelah suapan terakhir, Feyana bangkit dengan senyum yang sudah merekah indah di bibirnya. Ia bersyukur sudah kenyang dengan makan cake yang hanya sepotong itu. Paling tidak, perutnya tak lagi berontak seperti tadi. Dirinya hanya meletakkan piring kosong itu ke tempat semula, niatnya nanti akan ia cuci setelah para tamu pulang. Tak lupa dirinya mengambil minum di kulkas untuk menghilangkan dahaga di kerongkongannya. Sambil minum di botol mineral dengan kulkas yang sengaja masih ia buka, Feyana merasakan sejuk yang menjurus ke dingin sebab berdiri di depan kulkas. Rasa gerah yang sempat melingkupinya tadi seolah lenyap begitu saja tergantikan rasa menyegarkan. Feyana masih menenggak air putih itu dengan nikmat sambil perlahan-lahan menutup pintu kulkas. “AAHH!” Pekikan melengking Feyana yang terkejut bukan main melihat sesosok lelaki ternyata berdiri di sebelah kulkas. Dirinya terbatuk dengan mata melotot kaget, sedangkan lelaki itu tampak biasa saja. Ia malah menaikkan sebelah alisnya yang tertuju pada tingkah Feyana. Raut yang jelas menggambarkan bahwa Feyana terpergok mencuri saja! Feyana langsung menggeleng panik. “Aku bukan maling!” Namun belum sempat Feyana menjelaskan kondisi dan siapa dirinya, ia sudah lebih dulu diinterupsi dengan suara tegas ayah mertuanya. “Hey, cepat kembali ke tempatmu!” titahnya dengan suara baritonnya. Feyana menoleh ke belakang. Karena teriakannya barusan, di sana sudah berdiri Randy beserta keluarganya, dan beberapa orang lagi yang bisa ditebaknya sebagai keluarga calon suaminya Rena. Tatapan bengis Rena dan ibu mertuanya membuat Feyana sadar betul bahwa ia baru saja membuat masalah besar. Dengan wajah memelasnya, Feyana menatap Randy meminta dukungan. Namun yang ia dapatkan malah sang suami yang melengos pergi dengan wajah muak. Sekarang, semua pasang mata tertuju padanya seolah menghakimi keberadaannya yang tak dianggap. “Dia siapa? Apa jangan-jangan itu istrinya si anak sulungmu, ya?” tanya pria setengah baya yang merupakan calon mertuanya Randy. Nada suaranya menyiratkan kesinisan dan merendahkan membuat Feyana tertunduk mendengarnya. Feyana menggenggam jari-jari tangannya dengan resah. Seketika wajahnya ingin ia pakaikan kresek hitam agar tak perlu ditatap sinis dan tak merasa rendah seperti ini. “Kenapa masih diam di situ? Cepat kembali ke tempatmu!” sentak ayah mertuanya lagi dengan penekanan yang membuat Feyana merinding takut. Dengan langkah beratnya dan kepala tertunduk dalam, Feyana berjalan keluar dari rumah itu menuju halaman belakang di mana tempatnya yang dimaksud sang ayah mertua berada. Namun mampu Feyana dengar meskipun samar-samar jawaban sang ayah mertua yang membuatnya makin nelangsa. “Tak perlu diambil pusing! Wanita tadi hanyalah pembantu di rumah ini. Sekarang ayo kita kembali ke depan untuk melanjutkan pembicaraan.” Saat Feyana ingin membuka kenop pintu ruang persembunyiannya, seseorang memegang bahunya.Bahu Feyana ditekan cukup keras membuatnya meringis kesakitan. “Mas, kau membuat bahuku sakit.”Randy menulikan pendengarannya dan tanpa lembut mendorong kasar tubuh Feyana agar segera masuk ke dalam ruangan pengap itu. Saat sudah di dalam, tatapannya makin sengit. Ia menatap Feyana dari ujung kaki hingga ke atas kepala dan mendesis tak senang.“Kau sadar dengan penampilan kumuhmu itu, tidak? ‘Kan sudah dibilang jangan pernah menunjukkan eksistensimu sama sekali pada tamu yang datang ke sini! Dan kau malah membuat ribut di saat keluarga calon suami Rena berkunjung. BAGAIMANA JIKA SAMPAI TADI MEREKA CURIGA KAU ISTRIKU?! Mau ditaruh di mana mukaku dan keluargaku?”Feyana hanya menunduk dan memilin bajunya yang sudah kusut. Dengan wajah memelas, ia mencoba mendongakkan kepalanya untuk menatap suaminya.“Sampai kapan aku disembunyikan? Kenapa dirimu malah tak mengindahkanku di saat keluargamu menginjak-injakku begini? Aku ini istrimu atau bukan, Mas?” ucapnya dengan suara serak karena air
“Kamu harus perhatikan kesehatanmu! Jangan sampai telat minum obat dan tentu saja makanmu harus diatur, sebab maag yang kamu derita bisa makin parah jika diabaikan terus-menerus. Lalu, di mana walimu?”Feyana tersenyum miris mendengarkan apa kata Dokter yang sedang melakukan pemeriksaan lanjutan padanya. Sejak dari rumah di bawa mobil ambulans menuju Rumah Sakit, tak ada satu pun keluarga suaminya yang ikut menemani. Feyana dibiarkan sendirian seperti ini karena memang mereka tak ada yang khawatir atas apa yang menimpanya.“Saya tidak perlu pakai wali. Saya akan tebus obat dan biaya rawat lalu segera pulang, Dok.” Feyana hanya menyahut sekenanya sambil meminta agar sang Dokter melepas selang infus di tangannya.Feyana berjalan sedikit tertatih menuju meja kasir untuk melunasi biaya. Namun mulutnya sempat terbuka ketika sadar bahwa dirinya sama sekali tidak mengantongi uang sepeser pun. Ia pikir jika mertuanya tidak ikut menemani ke Rumah Sakit, paling tidak mereka mau berbaik hati mem
“MENYINGKIR DARIKU!” bentak Randy nyaring membuat Feyana terhenyak hingga jatuh dari kasur.Randy terbangun karena ucapan dan pelukan Feyana yang begitu mengusiknya. Ia tak suka Feyana menyentuhnya.“Yang mengirim seseorang untuk menjemputku di rumah sakit, apa itu bukan dirimu?” tanya Feyana perlahan seraya berdiri.“Kau itu bicara apa? Untuk apa aku repot mengirim orang untukmu?” bantah Randy dengan alis menukik tajam.Di hari weekend nya ini, Randy ingin bermalas-malasan di rumah. Terlebih semalam ia sudah puas mabuk, namun Feyana datang merusak ketenangannya.“Cepat pergi sana! Aku mau lanjut tidur.” Randy menendang tubuh Feyana dengan kaki untuk mengusirnya.Sambil berlalu keluar kamar, Feyana dibuat penasaran tentang siapa orang yang menyuruh David menolongnya. Pasalnya, tak ada salah satu dari anggota keluarga suaminya bahkan Randy sendiri membantah hal itu. Dilihat dari sikap mereka pun, Feyana meragukan jika mereka akan peduli padanya.Feyana yang berjalan sambil memikirkan h
Feyana membuka matanya perlahan, disambut oleh cahaya lampu yang terang dan suara bip-bip mesin monitor jantung yang teratur. Dia berusaha duduk, tapi tubuhnya menolak untuk bergerak. Badannya terasa sakit dan lemas, terutama di bagian perutnya. Dirinya memandang sekeliling, mencoba memahami di mana dia berada. Ruangan itu berbau desinfektan dan dipenuhi dengan suara-suara bisikan dan langkah kaki yang jauh.“Bagaimana aku bisa ada di rumah sakit?” monolog Feyana pada diri sendiri.Dirinya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Otaknya terasa kabur, namun ingatan samar tentang Randy yang menghajarnya secara membabi-buta berputar di kepalanya. Tendangan kasar Randy masih terasa membekas di tubuhnya yang ringkih. Feyana meringis sakit ketika tak sengaja menyentuh perutnya. Kini, pakaian Feyana pun sudah berganti dengan baju pasien.“Randy,” gumamnya dengan suaranya yang serak. Air matanya menetes mengingat kekejaman suaminya itu. Feyana tak menyangka bahwa Randy bisa memperlakukann