Bahu Feyana ditekan cukup keras membuatnya meringis kesakitan. “Mas, kau membuat bahuku sakit.”
Randy menulikan pendengarannya dan tanpa lembut mendorong kasar tubuh Feyana agar segera masuk ke dalam ruangan pengap itu. Saat sudah di dalam, tatapannya makin sengit. Ia menatap Feyana dari ujung kaki hingga ke atas kepala dan mendesis tak senang.
“Kau sadar dengan penampilan kumuhmu itu, tidak? ‘Kan sudah dibilang jangan pernah menunjukkan eksistensimu sama sekali pada tamu yang datang ke sini! Dan kau malah membuat ribut di saat keluarga calon suami Rena berkunjung. BAGAIMANA JIKA SAMPAI TADI MEREKA CURIGA KAU ISTRIKU?! Mau ditaruh di mana mukaku dan keluargaku?”
Feyana hanya menunduk dan memilin bajunya yang sudah kusut. Dengan wajah memelas, ia mencoba mendongakkan kepalanya untuk menatap suaminya.
“Sampai kapan aku disembunyikan? Kenapa dirimu malah tak mengindahkanku di saat keluargamu menginjak-injakku begini? Aku ini istrimu atau bukan, Mas?” ucapnya dengan suara serak karena air mata yang susah payah ia tampung di pelupuk mata agar tidak merembes.
Randy tersenyum merendahkan. “Takkan pernah aku mau mengakuimu! Mungkin akan lain cerita jika kau bisa berikan aku keturunan.”
Ucapan nyelekit suaminya membuat Feyana menangis tersedu. Randy tentu saja dibuat panik, takut jika orang rumah mendengar suara tangisnya Feyana yang makin menjadi.
“Feya, hentikan tangismu!” desak Randy berusaha membekap mulut Feyana.
Feyana sudah berusaha menjadi istri yang baik. Diperlakukan tidak hormat oleh keluarga suaminya pun, ia mencoba tabah. Bahkan ketika ia merelakan banyak hal di hidupnya demi bisa menikahi dengan Randy, ia tetap melakukannya. Tetapi, kenapa suaminya tak pernah menghargai usahanya? Kenapa Randy tak pernah mau melihatnya sebagai istri yang harusnya ia kasihi? Ia malah makin merendahkannya. Menikahinya seolah-olah dirinya adalah binatang yang sengaja dipelihara untuk mendapatkan keturunan semata. Meskipun begitu, Feyana masih tetap bertahan. Rasa cintanya yang begitu besar pada Randy membuatnya bodoh untuk meninggalkan suaminya itu. Menurutnya selama Randy tidak berkhianat, ia masih mampu menerima perlakuan tak baiknya dan keluarganya. Terlalu bodoh memang, tapi itulah Feyana si gadis polos kelewat lugu yang salah mencintai orang.
Tangisnya Feyana lambat-laun berhenti. Ia menatap Randy dengan nanar di matanya, berharap muncul sedikit rasa iba dari suaminya. Namun harapan hanyalah harapan semu belaka. Sebab setelahnya Randy mengucapkan kalimat yang membuatnya terhenyak bukan main.
“Dirimu diam di sini sampai nanti petang baru aku buka kuncinya! Jangan buat suara yang mengganggu orang di dalam! Ini hukuman untukmu karena buat masalah.”
Feyana mencekal lengan Randy dengan dua tangannya. Kepalanya menggeleng tak mau jika dikurung sampai nanti petang. Bagaimana jika ia mau makan, minum, atau buang air? Terlebih ia tak suka kegelapan. Ia takut pada kesunyian.
“Aku janji takkan bersuara di dalam kamarku. Tapi jangan kurung aku di sini. Aku takut gelap, Mas.” Feyana merengek memohon kebaikan sang suami.
Randy menyentak pegangan Feyana dan keluar dari ruang sepetak itu dan cepat-cepat mengunci pintunya dari luar agar Feyana terkurung.
Feyana tentu takkan berani menggedor pintu atau berteriak supaya Randy mengeluarkannya. Jika sampai itu ia lakukan, bukannya dikeluarkan dalam keadaan selamat, dirinya malah akan kena makian dan dipukuli sang suami. Jadi meskipun ketakutan, ia tetap duduk diam seraya memeluk kedua lututnya berharap petang segera datang.
*****
Feyana mengucek matanya pelan. Tak sadar dirinya malah tertidur dengan posisi yang sama, yaitu memeluk kedua lututnya. Di luar sudah gelap yang menandakan hari sudah malam. Feyana menggigit bibir bawahnya resah, sebab ketakutan mulai menjalarinya. Dirinya berdiri lalu berjalan mendekati pintu untuk melihat keadaan di luar yang sunyi senyap.
“Kenapa Randy belum juga datang membukakan pintunya? Apa dia lupa? Tapi bagaimana bisa ia lupa soal aku yang dikurungnya?” monolog Feyana mencoba menenangkan dirinya meski itu cukup sulit.
Perut Feyana kembali nyeri. Ia rasa waktunya untuk minum obat sudah terlambat, makanya rasa sakit di perutnya semakin kuat. Ia memegangi perutnya sambil berusaha menggedor pintu yang terbuat dari bahan fiberglass sehingga menimbulkan suara agak nyaring.
Feyana tak lagi peduli larangan Randy untuk diam di tempatnya. Pasalnya, ia tak dapat lagi mentolerir rasa sakit perutnya. Biar saja ia dimarahi, asalkan untuk saat ini ia bisa cepat keluar dan minum obatnya.
Namun gedoran yang entah berapa kali, masih belum ada tanda-tanda kedatangan siapapun. Mungkin saja memang gedoran pintu yang ditimbulkan Feyana tak terlalu terdengar sebab berada di halaman belakang. Ditambah pasti semua orang sedang ada di kamar masing-masing membuat Feyana mulai putus-asa.
Perlahan-lahan tubuhnya merosot. Matanya terasa berkunang-kunang dengan sakit di perutnya yang belum juga reda. Feyana berusaha tetap sadar dengan menggelengkan kepalanya pelan. Tenaganya semakin sedikit hingga akhirnya ia tumbang.
Sedangkan di lain sisi, Randy baru pulang dari club malam. Ia masuk ke rumah dengan berceloteh tak jelas khas orang mabuk. Bahkan karena tingkahnya itu, Anne harus dibuat repot membawa putranya ke kamarnya untuk bisa istirahat.
“Dari mana saja dirimu itu? Bukannya urus istrimu agar tidak buat masalah seperti tadi siang, kau malah berkeliaran di luaran sana.”
Randy hanya tertawa menanggapi omelan ibunya. Ia sesekali menari sebab masih terbawa euforia club malam yang dikunjunginya. Musik menghentak seperti masih tertinggal di ingatannya.
Anne menghempaskan tubuh putranya ke kasur dan menghela nafas lelah. Tatapannya menelisik ke penjuru kamar luas anaknya ini. Ia mencari keberadaan Feyana yang tidak tampak, bahkan sampai ke kamar mandi dan ruang ganti.
“Randy, di mana istrimu itu? Kau mabuk parah begini, dia malah tidak segera mengurusmu. Dasar istri tidak berguna!” sembur Anne yang geram pada Feyana yang entah di mana keberadaannya.
Sambil tertawa keras, Randy menyahuti kekesalan ibunya itu. “Feyana aku kurung di ruang persembunyian sebagai hukumannya tadi siang. Aku muak melihat wajahnya dia yang menyebalkan itu, Mah.”
Anne mengangkat sebelah alisnya. Dirinya juga benci pada Feyana, tapi melihat jam yang sudah menunjukkan angka 2 pagi, membuatnya terpikirkan sesuatu.
“Randy, bukannya istrimu itu punya riwayat maag? Memang sudah kau kasih obat padanya sebelum dikurung begitu?” tanya Anne setengah tak peduli. Ia sibuk menyelimuti Randy dan menyamankan tidur putranya itu.
“Tentu saja tidak.”
Kedua mata Anne langsung terbelalak. “DASAR BODOH! Bagaimana jika Feyana mati di rumah ini? Bisa habis kau diamuk ayahmu!” serunya yang langsung lari terbirit masuk ke kamar suaminya untuk diajak mengecek keadaan sang menantu.
Pintu ruangan di mana Feyana dikurung terbuka dengan tergesa. Yang pertama dijumpai adalah sosok tubuh Feyana yang terkulai tak sadarkan diri. Entah wanita itu masih hidup atau sudah diambang batas kematiannya membuat kedua orangtua itu bergegas membawanya masuk.
Feyana di baringkan ke kamar pembantu dan ditinggalkan begitu saja, sebab Anne sudah menghubungi ambulans dan mengatakan bahwa pembantunya pingsan.
Menyedihkan memang nasib Feyana yang ditelantarkan begitu saja oleh mereka. Tak ada yang khawatir dengan keadaannya. Hanya waswas jika ia mati di rumah ini.
Feyana sempat membuka matanya pelan. Namun ia urung untuk sadar dan memilih kembali menutup kedua matanya dengan rapat. Ia ingin mengakhiri penderitaannya sampai sini saja.
“Kamu harus perhatikan kesehatanmu! Jangan sampai telat minum obat dan tentu saja makanmu harus diatur, sebab maag yang kamu derita bisa makin parah jika diabaikan terus-menerus. Lalu, di mana walimu?”Feyana tersenyum miris mendengarkan apa kata Dokter yang sedang melakukan pemeriksaan lanjutan padanya. Sejak dari rumah di bawa mobil ambulans menuju Rumah Sakit, tak ada satu pun keluarga suaminya yang ikut menemani. Feyana dibiarkan sendirian seperti ini karena memang mereka tak ada yang khawatir atas apa yang menimpanya.“Saya tidak perlu pakai wali. Saya akan tebus obat dan biaya rawat lalu segera pulang, Dok.” Feyana hanya menyahut sekenanya sambil meminta agar sang Dokter melepas selang infus di tangannya.Feyana berjalan sedikit tertatih menuju meja kasir untuk melunasi biaya. Namun mulutnya sempat terbuka ketika sadar bahwa dirinya sama sekali tidak mengantongi uang sepeser pun. Ia pikir jika mertuanya tidak ikut menemani ke Rumah Sakit, paling tidak mereka mau berbaik hati mem
“MENYINGKIR DARIKU!” bentak Randy nyaring membuat Feyana terhenyak hingga jatuh dari kasur.Randy terbangun karena ucapan dan pelukan Feyana yang begitu mengusiknya. Ia tak suka Feyana menyentuhnya.“Yang mengirim seseorang untuk menjemputku di rumah sakit, apa itu bukan dirimu?” tanya Feyana perlahan seraya berdiri.“Kau itu bicara apa? Untuk apa aku repot mengirim orang untukmu?” bantah Randy dengan alis menukik tajam.Di hari weekend nya ini, Randy ingin bermalas-malasan di rumah. Terlebih semalam ia sudah puas mabuk, namun Feyana datang merusak ketenangannya.“Cepat pergi sana! Aku mau lanjut tidur.” Randy menendang tubuh Feyana dengan kaki untuk mengusirnya.Sambil berlalu keluar kamar, Feyana dibuat penasaran tentang siapa orang yang menyuruh David menolongnya. Pasalnya, tak ada salah satu dari anggota keluarga suaminya bahkan Randy sendiri membantah hal itu. Dilihat dari sikap mereka pun, Feyana meragukan jika mereka akan peduli padanya.Feyana yang berjalan sambil memikirkan h
Feyana membuka matanya perlahan, disambut oleh cahaya lampu yang terang dan suara bip-bip mesin monitor jantung yang teratur. Dia berusaha duduk, tapi tubuhnya menolak untuk bergerak. Badannya terasa sakit dan lemas, terutama di bagian perutnya. Dirinya memandang sekeliling, mencoba memahami di mana dia berada. Ruangan itu berbau desinfektan dan dipenuhi dengan suara-suara bisikan dan langkah kaki yang jauh.“Bagaimana aku bisa ada di rumah sakit?” monolog Feyana pada diri sendiri.Dirinya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Otaknya terasa kabur, namun ingatan samar tentang Randy yang menghajarnya secara membabi-buta berputar di kepalanya. Tendangan kasar Randy masih terasa membekas di tubuhnya yang ringkih. Feyana meringis sakit ketika tak sengaja menyentuh perutnya. Kini, pakaian Feyana pun sudah berganti dengan baju pasien.“Randy,” gumamnya dengan suaranya yang serak. Air matanya menetes mengingat kekejaman suaminya itu. Feyana tak menyangka bahwa Randy bisa memperlakukann
Feyana berlari tergopoh dengan membawa kain pel dan ember. Pakaiannya yang kotor dan wajah kumalnya cukup menunjukkan bahwa dirinya sedang sibuk beberes. “Cepat sembunyi! Jangan sampai nanti ada yang lihat dirimu!” bentak Anne dengan wajah mendelik marah. Anne tidak pernah menyukai Feyana yang berstatus menantunya. Jika bukan karena hasutan putranya yang dulu kukuh mempersunting Feyana demi bisa memberinya keturunan, tentu ia takkan memberi izin. Namun hingga detik ini, tepatnya 3 tahun sudah pernikahan Feyana dan Randy masih belum juga diberi keturunan. Itulah alasan kedua yang membuatnya muak dengan Feyana. Sedangkan alasan pertama, karena Feyana adalah orang desa yang tak punya kekayaan apapun. Feyana tahu betul bahwa mertuanya itu sangat benci padanya. Tetapi rasa cintanya pada Randy selama ini masih mampu membuatnya bertahan di kondisinya yang tidak diterima oleh keluarga sang suami. Feyana memilih mempertahankan pernikahannya dan selalu berdoa untuk bisa segera hamil. Pasalny