“MENYINGKIR DARIKU!” bentak Randy nyaring membuat Feyana terhenyak hingga jatuh dari kasur.
Randy terbangun karena ucapan dan pelukan Feyana yang begitu mengusiknya. Ia tak suka Feyana menyentuhnya.
“Yang mengirim seseorang untuk menjemputku di rumah sakit, apa itu bukan dirimu?” tanya Feyana perlahan seraya berdiri.
“Kau itu bicara apa? Untuk apa aku repot mengirim orang untukmu?” bantah Randy dengan alis menukik tajam.
Di hari weekend nya ini, Randy ingin bermalas-malasan di rumah. Terlebih semalam ia sudah puas mabuk, namun Feyana datang merusak ketenangannya.
“Cepat pergi sana! Aku mau lanjut tidur.” Randy menendang tubuh Feyana dengan kaki untuk mengusirnya.
Sambil berlalu keluar kamar, Feyana dibuat penasaran tentang siapa orang yang menyuruh David menolongnya. Pasalnya, tak ada salah satu dari anggota keluarga suaminya bahkan Randy sendiri membantah hal itu. Dilihat dari sikap mereka pun, Feyana meragukan jika mereka akan peduli padanya.
Feyana yang berjalan sambil memikirkan hal itu tanpa sadar menabrak ibu mertuanya. Anne yang sedang membawa beberapa lembar foto seukuran 4R menjadikannya berserakan di lantai.
“Di mana matamu?!” sembur Anne mendelik jengkel.
Feyana memohon maaf sambil berjongkok memunguti foto yang sudah berserakan di lantai. Tak sengaja dirinya melihat foto itu yang ternyata berisikan potret wanita cantik yang berbeda-beda.
“Mah, fotonya untuk apa? Mereka semua cantik-cantik sekali,” celetuk Feyana mencoba ramah.
Anne merebut kasar foto yang ada di genggaman Feyana lalu menyahut datar, “Untuk menjadi menantuku ... tentu saja harus yang cantik.
Mata Feyana terbelalak kaget mendengar ucapan mertuanya itu. “Maksud Mamah?”
Anne hanya tersenyum licik, lalu tanpa menjawab pertanyaan Feyana memilih berlalu pergi. Sedangkan Feyana sudah dibuat kepikiran soal apa yang diucapkan mertuanya itu.
Sebisa mungkin Feyana berusaha tidak berpikir negatif. Tidak mungkin kan, bahwa itu untuk calonnya Randy? Sudah jelas-jelas bahwa Feyana ini adalah istrinya.
Namun ketika Feyana menatap ibu mertuanya yang malah masuk ke kamar Randy membuatnya resah. Dengan sedikit tergesa, Feyana menerobos masuk ke dalam yang membuat Anne dan Randy yang tengah berbincang menatapnya geram.
“Ada apa?” bentak Randy.
“Aku hanya mau memastikan bahwa foto-foto yang Mamah bawa itu bukan untukmu,” kata Feyana tergesa-gesa.
Anne berdiri dari kasur dan berjalan mendekati Feyana yang berada di ambang pintu. Dengan tatapan mencelanya ia bercelatuk, “Wah, ternyata tebakanmu benar. Aku memang ingin menunjukkan foto-foto ini agar putraku bisa memilih mana yang cocok padanya.”
“Kenapa Mamah bicara begitu? Aku ini masih istri sahnya Randy. Tega sekali Mamah melakukan ini padaku,” tutur Feyana menggeleng tak percaya.
“Terima saja kenyataan bahwa kau harus cerai dari putraku! Sudah lama kalian menikah tapi tak juga punya keturunan,” celetuk Anne bernada sinis.
Feyana menangis mendengarnya. Sambil bersuara lirih dirinya menyahut, “Tapi ini bukan salahku jika belum dikarunia anak, Mah. Aku dan Randy juga mau segera diberi momongan, tapi Tuhan berkehendak lain. Aku bisa apa selain menerima takdirnya?”
“Halah, itu hanya alasanmu. Begini saja, kau dan Randy pergi ke dokter kandungan untuk periksa kesuburan! Biar kita tahu, siapa di antara kalian berdua yang ternyata mandul. Muak aku jika lama-lama menanti cucu dari kalian yang tak bisa diharapkan begini,” putus Anne final. Sebelum pergi keluar dari kamar mereka, ia meletakkan foto-foto itu di atas meja nakas. “Jangan lupa dirimu pilih mana yang cocok!” ucapnya pada Randy.
Feyana memberi tatapan keberatan pada Randy yang dengan santainya melihat-lihat foto itu. Sesekali Randy tersenyum tipis merasa ada ketertarikan pada beberapa foto.
“Mas, kita harus pergi ke dokter seperti yang Mamah katakan,” ujar Feyana setelah beberapa saat diam, mencoba menenangkan dirinya agar tidak terbawa emosi melihat Randy yang tak mengacuhkannya.
Randy menoleh ke arahnya, ekspresi wajahnya berubah datar. “Kenapa harus aku?” tanyanya dengan nada dingin.
“Tentu saja karena ini juga menyangkutmu. Kita harus tes berdua dan biar sama-sama tahu hasilnya,” jawabnya dengan suara yang hampir bergetar. Randy mendengus, menunjukkan rasa tidak pedulinya.
“Baiklah, tapi jangan harap aku akan terlibat lebih dari ini,” katanya, kembali fokus pada foto-foto yang ada di tangannya. Feyana menarik nafas panjang, mencoba menahan emosinya.
Mereka berdua pergi ke rumah sakit beberapa saat kemudian. Randy tampak bosan dan tidak sabar sepanjang proses, sementara Feyana merasa tegang. Setelah menjalani serangkaian tes, mereka diberitahu bahwa hasilnya akan keluar dalam beberapa jam.
Dalam waktu menunggu itu, Feyana merasa semakin cemas, sementara Randy tampak tidak terpengaruh. Dia hanya sibuk dengan ponselnya tanpa mengajak bicara Feyana sama sekali, padahal istrinya duduk tepat di sebelahnya.
Tak terasa hampir 6 jam keduanya berada di rumah sakit menunggu hasil. Daya ponsel Randy tinggal beberapa persen lagi sebelum akhirnya mati daya. Randy langsung mendengus sebal dan berdiri dari tempatnya duduk.
“Mas, mau ke mana?” cegah Feyana ketika Randy ingin pergi.
“Aku mau pulang. Sudah melakukan banyak tes, lalu sekarang aku menunggu tapi tak segera usai. Daya ponselku juga sudah habis,” sungutnya seraya menampik kasar tangan Feyana yang mencekal lengan bajunya.
Randy merasa sudah membuang waktu dengan sia-sia. Jauh lebih baik jika dirinya nongkrong dengan teman-temannya di hari weekend seperti ini, ketimbang dibuat bosan menunggu hasil tes keluar. Toh, dirinya yakin 100 persen bahwa sehat dan subur. Yang perlu dipertanyakan itu adalah Feyana, jangan-jangan dirinyalah yang tidak bisa hamil.
“Mas, jangan begitu! Kita tunggu sebentar lagi, ya?! Aku yakin akan segera selesai.” Feyana mencoba membujuk Randy untuk bersabar lagi. Dalam hatinya, dirinya sudah tak karuan bagaimana jika hasilnya tidak sesuai harapan.
Setelah satu jam kemudian, Dokter akhirnya meminta Randy dan Feyana untuk masuk ke ruangannya sebab hasil tes sudah keluar.
Wajah Feyana sudah pucat pasi, sedangkan Randy terlihat tak acuh dan menggerundel saja.
Dokter membenarkan kacamata nya yang melorot seraya membaca saksama lembaran kertas yang ada di tangannya. “Hasil tes menunjukkan bahwa kalian berdua sebenarnya subur,” kata dokter itu yang membuat Feyana bisa bernafas lega.
“Kemungkinan kalian berdua belum diberi keturunan karena beberapa faktor, diantaranya seperti stres atau gaya hidup. Saya sarankan kalian berdua untuk lebih rileks serta menjaga kesehatan,” lanjut Dokter yang memberikan senyum hangatnya untuk memberi kekuatan pada Feyana dan Randy untuk terus yakin.
Randy lebih dulu bangkit dari kursinya dan pamit pulang yang diikuti Feyana di belakangnya. Di dalam mobil, keduanya hanya saling diam.
“Dirimu dengar apa yang dikatakan Dokter tadi? Aku dan kau tidak boleh terlalu stres. Tapi sebenarnya, satu hal yang menurutku menjadi alasan terbesar kenapa kita tak segera dikaruniai keturunan—karena dirimu sendiri. Kau tak pernah menyentuhku. Mungkin jika kutanya, masih ingat kapan terakhir kali kita berhubungan badan, dirimu pasti tak ingat.” Entah mendapat keberanian dari mana, mulut Feyana spontan menuturkan hal barusan.
Tiba-tiba Randy menepikan mobilnya dan menatap penuh amarah pada Feyana. “JADI KAU MENYALAHKANKU, HAH?!”
Tak tanggung-tanggung Randy menampar keras pipi Feyana hingga menimbulkan bekas memerah. Belum selesai di situ, Randy menarik rambut Feyana dan memukulinya. Ya, benar-benar menghajar istrinya tanpa ampun.
Feyana menangis dan menjerit memohon ampun. Badannya seolah remuk dihajar oleh suaminya. “Mas, aku minta maaf,” rintihnya melas.
Randy keluar dari mobil dan menarik kasar Feyana untuk ikut keluar juga. Dirinya semakin membabi-buta memberikan pukulannya pada tubuh Feyana yang sudah tak berdaya tersungkur di tanah. Bahkan dirinya tega menendang perut Feyana hingga tubuhnya terantuk kerasnya aspal.
Feyana merasakan dunia berputar, kepalanya berdenyut seiring dengan detak jantungnya. Kesadarannya perlahan memudar, tapi sebelum matanya benar-benar tertutup, dia melihat sesosok bayangan mendekat. Sebuah suara erangan kesakitan terdengar, "ARGH, DASAR PENGGANGGU!" Itu suara Randy. Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.
Feyana membuka matanya perlahan, disambut oleh cahaya lampu yang terang dan suara bip-bip mesin monitor jantung yang teratur. Dia berusaha duduk, tapi tubuhnya menolak untuk bergerak. Badannya terasa sakit dan lemas, terutama di bagian perutnya. Dirinya memandang sekeliling, mencoba memahami di mana dia berada. Ruangan itu berbau desinfektan dan dipenuhi dengan suara-suara bisikan dan langkah kaki yang jauh.“Bagaimana aku bisa ada di rumah sakit?” monolog Feyana pada diri sendiri.Dirinya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Otaknya terasa kabur, namun ingatan samar tentang Randy yang menghajarnya secara membabi-buta berputar di kepalanya. Tendangan kasar Randy masih terasa membekas di tubuhnya yang ringkih. Feyana meringis sakit ketika tak sengaja menyentuh perutnya. Kini, pakaian Feyana pun sudah berganti dengan baju pasien.“Randy,” gumamnya dengan suaranya yang serak. Air matanya menetes mengingat kekejaman suaminya itu. Feyana tak menyangka bahwa Randy bisa memperlakukann
Feyana berlari tergopoh dengan membawa kain pel dan ember. Pakaiannya yang kotor dan wajah kumalnya cukup menunjukkan bahwa dirinya sedang sibuk beberes. “Cepat sembunyi! Jangan sampai nanti ada yang lihat dirimu!” bentak Anne dengan wajah mendelik marah. Anne tidak pernah menyukai Feyana yang berstatus menantunya. Jika bukan karena hasutan putranya yang dulu kukuh mempersunting Feyana demi bisa memberinya keturunan, tentu ia takkan memberi izin. Namun hingga detik ini, tepatnya 3 tahun sudah pernikahan Feyana dan Randy masih belum juga diberi keturunan. Itulah alasan kedua yang membuatnya muak dengan Feyana. Sedangkan alasan pertama, karena Feyana adalah orang desa yang tak punya kekayaan apapun. Feyana tahu betul bahwa mertuanya itu sangat benci padanya. Tetapi rasa cintanya pada Randy selama ini masih mampu membuatnya bertahan di kondisinya yang tidak diterima oleh keluarga sang suami. Feyana memilih mempertahankan pernikahannya dan selalu berdoa untuk bisa segera hamil. Pasalny
Bahu Feyana ditekan cukup keras membuatnya meringis kesakitan. “Mas, kau membuat bahuku sakit.”Randy menulikan pendengarannya dan tanpa lembut mendorong kasar tubuh Feyana agar segera masuk ke dalam ruangan pengap itu. Saat sudah di dalam, tatapannya makin sengit. Ia menatap Feyana dari ujung kaki hingga ke atas kepala dan mendesis tak senang.“Kau sadar dengan penampilan kumuhmu itu, tidak? ‘Kan sudah dibilang jangan pernah menunjukkan eksistensimu sama sekali pada tamu yang datang ke sini! Dan kau malah membuat ribut di saat keluarga calon suami Rena berkunjung. BAGAIMANA JIKA SAMPAI TADI MEREKA CURIGA KAU ISTRIKU?! Mau ditaruh di mana mukaku dan keluargaku?”Feyana hanya menunduk dan memilin bajunya yang sudah kusut. Dengan wajah memelas, ia mencoba mendongakkan kepalanya untuk menatap suaminya.“Sampai kapan aku disembunyikan? Kenapa dirimu malah tak mengindahkanku di saat keluargamu menginjak-injakku begini? Aku ini istrimu atau bukan, Mas?” ucapnya dengan suara serak karena air
“Kamu harus perhatikan kesehatanmu! Jangan sampai telat minum obat dan tentu saja makanmu harus diatur, sebab maag yang kamu derita bisa makin parah jika diabaikan terus-menerus. Lalu, di mana walimu?”Feyana tersenyum miris mendengarkan apa kata Dokter yang sedang melakukan pemeriksaan lanjutan padanya. Sejak dari rumah di bawa mobil ambulans menuju Rumah Sakit, tak ada satu pun keluarga suaminya yang ikut menemani. Feyana dibiarkan sendirian seperti ini karena memang mereka tak ada yang khawatir atas apa yang menimpanya.“Saya tidak perlu pakai wali. Saya akan tebus obat dan biaya rawat lalu segera pulang, Dok.” Feyana hanya menyahut sekenanya sambil meminta agar sang Dokter melepas selang infus di tangannya.Feyana berjalan sedikit tertatih menuju meja kasir untuk melunasi biaya. Namun mulutnya sempat terbuka ketika sadar bahwa dirinya sama sekali tidak mengantongi uang sepeser pun. Ia pikir jika mertuanya tidak ikut menemani ke Rumah Sakit, paling tidak mereka mau berbaik hati mem