Share

BAB 3

“Kamu harus perhatikan kesehatanmu! Jangan sampai telat minum obat dan tentu saja makanmu harus diatur, sebab maag yang kamu derita bisa makin parah jika diabaikan terus-menerus. Lalu, di mana walimu?”

Feyana tersenyum miris mendengarkan apa kata Dokter yang sedang melakukan pemeriksaan lanjutan padanya. Sejak dari rumah di bawa mobil ambulans menuju Rumah Sakit, tak ada satu pun keluarga suaminya yang ikut menemani. Feyana dibiarkan sendirian seperti ini karena memang mereka tak ada yang khawatir atas apa yang menimpanya.

“Saya tidak perlu pakai wali. Saya akan tebus obat dan biaya rawat lalu segera pulang, Dok.” Feyana hanya menyahut sekenanya sambil meminta agar sang Dokter melepas selang infus di tangannya.

Feyana berjalan sedikit tertatih menuju meja kasir untuk melunasi biaya. Namun mulutnya sempat terbuka ketika sadar bahwa dirinya sama sekali tidak mengantongi uang sepeser pun. Ia pikir jika mertuanya tidak ikut menemani ke Rumah Sakit, paling tidak mereka mau berbaik hati memberikan uang untuk biaya perawatannya.

Feyana berada di tengah kebingungannya. Ia lalu meminta izin pada perawat yang berjaga di meja kasir itu untuk meminjamkannya telepon.

“Mah, bisa kirimi aku uang untuk membayar biaya pengobatanku sekarang? Aku sedang membutuhkannya agar bisa pulang,” ucapnya ketika teleponnya diangkat sang ibu mertua.

[“Enak sekali kau bilang! Tiba-tiba telefon dan minta transfer. Pikirkan sendiri bagaimana caramu pulang! Mamah masih ngantuk mau lanjut tidur.”]

Feyana melotot kaget ketika sambungan diputus sepihak oleh mertuanya. Dengan rasa malu, Feyana mengembalikan ponsel pintar itu pada perawat yang meminjamkannya tadi. Tak lupa dirinya tentu mengucapkan terima kasih dan maaf.

Feyana sempat putus asa dan memilih untuk tidur di rumah sakit saja. Biarkan nanti siang suaminya datang menjemput ketika Randy menyadari ketiadaannya di rumah.

Namun langkah Feyana yang ingin putar balik malah dihentikan oleh seorang pria yang memegang lengannya lembut.

“Biar aku yang lunasi.”

Ucapannya hanya 4 kata tapi itu terdengar sangat kaku dan tegas membuat Feyana tertegun bingung. Pasalnya ia tidak kenal sama sekali dengan pria itu.

Sedetik kemudian pria itu mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan ATM kepada perawat itu dengan sopan. Barulah setelah itu tatapan bingung Feyana berubah panik dan merasa tak enak pada pria asing itu.

“Jangan menolak!”

Seperti terhipnotis, Feyana langsung dibuat diam hanya dengan 2 kata pria itu yang berwajah sangat datar. Pembayaran sudah selesai dan kartu ATM nya dikembalikan.

Feyana menerima kresek obat yang sudah ditebus itu dengan dua tangan dan tak lupa berterima kasih. Ia mengekori pria itu yang tak lagi berkata apapun padanya.

“Apa kita saling kenal? Atau dirimu kenal aku? Lalu bagaimana aku membayar kembali uang yang kau pinjamkan padaku tadi?” ucap Feyana dengan serentetan pertanyaan penuh rasa penasaran.

Namun pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya sehingga membuat Feyana yang berjalan di belakang menubruk punggungnya. Feyana menaikkan kedua alisnya bingung ketika pria itu berbalik hanya untuk menatapnya.

“Ada apa?” tanya Feyana tanpa sadar menelengkan kepalanya sebab pria itu hanya menatapnya seperti tengah mengidentifikasi sesuatu.

“Tidak apa-apa. Ayo, kuantarkan dirimu pulang.”

Pria itu bersikap aneh dan mencurigakan membuat Feyana ragu untuk mengikutinya.

Karena tidak mengikutinya, sang pria pun berbalik lagi. “Tidak perlu takut! Aku hanya ditugaskan mengantarmu pulang dengan selamat.”

Entah kenapa, tetapi Feyana seperti disuntik kepercayaan mendengar ucapan pria itu yang mencoba meyakinkannya. Feyana berpikir bahwa mungkin pria itu adalah suruhan Randy atau mungkin ayah mertuanya yang punya sedikit hati nurani. Feyana akhirnya menurut dan ia diantar menaiki mobil.

Di perjalanan tak ada obrolan sama sekali dan musik atau radio pun tak diputar, membuat keheningan kentara di dalam mobil.

“Namamu siapa? Dan kalau boleh tahu, yang mengirimmu ayah mertua atau suamiku? Biar aku tidak salah tebak berterima kasih pada mereka,” kata Feyana membuka topik bicara.

Pria itu melirik sekilas padanya lewat kaca depan. Feyana hanya mengangkat bahu tak acuh di kursi belakang lalu membuang muka sebab merasa pria itu tak berniat menjawab pertanyaannya.

Mobil pun tiba di samping rumah mewah yang merupakan kediaman keluarga besar suaminya Feyana. Feyana kebingungan ketika pria itu tidak membawa mobilnya langsung masuk ke dalam. Namun Feyana mencoba paham saja bahwa mungkin pria yang diutus itu sedang sibuk dan ingin bergegas ke kantor suami atau mertuanya setelah tugas menjemput dirinya selesai.

Saat Feyana mengucapkan terima kasih ketika sudah keluar mobil, pria itu menurunkan separuh kaca jendelanya untuk kemudian menyahut datar, “Namaku David.” Setelahnya mobil melaju cukup kencang membiarkan Feyana yang masih tercenung di tempatnya.

“WOI, NGAPAIN DI SITU?!” seru Rena saat dirinya akan berangkat kerja namun mendapati sang ipar berdiri seperti patung di depan gerbang bukannya segera masuk.

“Dengar-dengar dirimu di rumah sakit. Kenapa sudah pulang?” sindir Rena sambil membuka kaca mobilnya.

Feyana berlari mendekati mobil dan tersenyum ramah menyambut adik iparnya itu. “Aku tidak ingin berlama-lama di rumah sakit, Ren. Di sana rasanya tidak enak sekali. Dirimu atau yang lain pun juga tak perlu repot harus bolak-balik menjengukku di rumah sakit jika begini.”

Tawa Rena begitu renyah setelah mendengar ucapan iparnya yang terlalu polos itu. “Siapa juga yang sudi menjengukmu? Bahkan tak ada yang sadar atau peduli mau dirimu sakit atau mati.”

Feyana begitu tertohok dengan celaan Rena yang menurutnya keterlaluan. Tak ingin terus mendapat hinaan sang adik ipar, Feyana memilih berjalan masuk ke dalam dengan wajah murungnya. Padahal dirinya tadi sempat dilingkupi rasa senang membayangkan suami atau salah satu dari keluarga suaminya mengirim pria tadi untuk menjemputnya pulang.

Saat di dalam, Feyana melihat ayah mertuanya sedang sarapan sendiri di meja makan. Perlahan-lahan Feyana mendekat dengan senyuman manisnya.

“Terima kasih karena kepedulian ayah padaku sampai rela menyewa orang untuk menjemput aku dari rumah sakit. Aku senang sekali karena ternyata ayah tidak se-acuh itu padaku.”

Ayah mertuanya meletakkan sendok dan garpunya ke piring. Tatapannya tertuju lurus pada Feyana yang kini berdiri di sampingnya.

“Imajinasimu terlalu tinggi. Mana mungkin aku peduli padamu? Sebaliknya—Aku ingin Randy segera menceraikanmu. Kau harus sadar, bahwa menikahimu adalah kebodohan terbesar putraku!”

Bentakan keras ayah mertuanya begitu berdengung di kepala Feyana saat ini. Makiannya membuat hati Feyana seperti teriris sebilah pedang yang tajam.

“Segera minta Randy menceraikanmu! Biarkan masa depan anakku kembali cerah setelah bisa lepas darimu! Karena sungguh, menikahimu membuat hidupnya berantakan. Bahkan mengenalkan dirimu saja pada khalayak membuat keluargaku terhina. Jadi, bebaskan keluargaku dari aib yang terus menghantui ini!”

Lagi dan lagi. Ucapan nyelekit mertuanya membuat nafas Feyana tercekat. Air matanya merembes membasahi kedua pipinya. Feyana hanya diam dan menundukkan kepala. Tak berani menatap ayahnya yang sudah berdiri sangar di hadapannya.

Tak peduli seberapa tajam ucapannya yang ia tuturkan pada Feyana, sang mertua tanpa rasa sesal memilih hengkang dari meja makan. Nafsu makannya hilang ketika melihat wajah Feyana yang menurutnya sangat mengganggu. Ia sangat berharap bahwa Randy segera sadar untuk menceraikan istri tak berguna itu.

Ketika sudah ditinggal pergi ayah mertua, Feyana pergi ke kamarnya. Saat membuka pintu, hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Randy yang tengah tidur nyenyak di kasur. Wajah tampan suaminya itu membuat binar mata Feyana kembali muncul.

“Terima kasih sudah mempertahankanku,” ucap Feyana seraya berhambur memeluk suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status