Laila cukup terkejut dengan ucapan Elang yang terkesan sangat berani. Dia tak menyangka, bahwa pria itu akan berkata demikian. Namun, Laila mengapresiasi sikap jantan sang akuntan muda tersebut. Setidaknya, Elang jauh lebih gentle dalam mengakui perasaan, dibandingkan dengan Pramoedya. “Perisai?” ulang Laila. “Apa saya terlalu lancang?” Elang sadar bahwa dirinya bersikap terlalu berani. “Ah, tidak,” sahut Laila diiringi gelengan pelan. “Terima kasih sebelumnya.” Elang tersenyum lembut, dengan tatapan lekat tertuju pada Laila. Sebagai pria dewasa yang pernah berumah tangga, dia pasti mengetahui bahasa tubuh dari lawan jenisnya. Begitu juga dengan yang Laila tunjukkan. Wanita cantik tersebut tampak gelisah. “Jangan terlalu dipikirkan. Anggap saja ucapan saya tadi hanya sebatas candaan,” ucap Elang yang ikut merasa tak enak. “Tidak apa-apa. Saya justru tersanjung dengan ucapan Pak Elang tadi.” Beberapa saat berlalu. Perbincangan antara Laila dan Elang berakhir, karena sang akuntan
“Ries!” Kartika bermaksud berlari ke arah putranya. Namun, dengan segera Laila meraih lengan wanita paruh baya itu. Dia mencengkram erat pakaian Kartika, sehingga ibunda Aries tersebut kembali mundur. “Ingat yang sudah kukatakan sebelumnya, Bu,” ucap Laila penuh penekanan. “Kalau Ibu ingin Aries dipecat dari pabrik, silakan saja,” gertak wanita muda itu angkuh. Mendengar ucapan mantan menantunya tadi, Kartika langsung diam. Dia berdiri terpaku, dengan wajah menatap deretan paving block yang dirinya pijak. “Bu,” sapa Aries yang sudah berdiri di hadapan mereka. “Ibu sudah siap untuk pulang?” tanyanya dengan raut khawatir. Sebagai anak sulung Kartika, dia bisa merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan ibundanya. “Kenapa, Bu?” tanya Aries penasaran. Namun, Kartika hanya diam. Membuat Aries mengalihkan perhatian kepada Laila. “Ada apa dengan ibuku, La? Kamu apakan dia?” tanyanya penuh selidik. Nada bicara pria berkulit sawo matang
“Apa?” Aries sontak berdiri. Ekspresi terkejut tergambar jelas dari sorot matanya. Begitu juga dengan Kartika. Wanita paruh baya itu langsung menarik lengan Laila, agar menghadap padanya. “Jangan keterlaluan kamu, La! Saya sudah mengalah dengan tetap tinggal di sini! Kenapa kamu masih tetap memecat Aries? Mau makan apa Niar kalau dia sampai jadi pengangguran?” protes ibunda Aries tersebut tegas. Dia yang terbiasa meluapkan amarahnya saat di rumah, sudah tak tahan untuk memaki Laila habis-habisan. Namun, kedudukan Laila yang jauh lebih tinggi, membuat ibu dua anak itu harus menelan kembali kata-kata kotor yang akan dia layangkan. “Ibu pikir saja sendiri,” ucap Laila dengan sisi angkuh dalam dirinya. “Sejak kapan ada seorang karyawan yang berani bersikap kurang ajar terhadap pemilik dari tempatnya bekerja?” Wanita cantik itu tersenyum sinis, sambil mengalihkan perhatian kepada Aries. “Asal kamu tahu, Aries Lesmana. Sebentar lagi aku yang akan memimpin pabrik, tempat di mana kamu meng
Setelah mempertimbangkan saran Widura, keesokan harinya Laila mengunjungi rutan tempat Suratman ditahan. Laila ke sana dengan ditemani oleh Widura. Namun, ternyata Suratman menolak menemui dirinya. Entah apa yang menjadi alasan ayahanda Aries tersebut. Apakah dia malu, tak memiliki keberanian, atau merasa bersalah. Satu yang pasti, Laila dan Widura kembali tanpa bertatap muka lebih dulu dengan pria yang berprofesi sebagai satpam tersebut.“Saya sudah menduga hal ini, Pak,” ucap Laila pelan. Rasa kecewa tergambar jelas di paras cantiknya. Kasih sayang yang dia rasakan untuk sang ayah mertua, harus berakhir dengan perasaan terluka berbalut kebencian penuh dendam.Widura mengembuskan napas pelan. “Mungkin Suratman merasa terkejut. Siapa sangka jika Non Laila akan mengunjunginya di rutan,” ujar orang kepercayaan mendiang Reswara
“Kamu jangan curang, Laila! Jangan mentang-mentang sudah jadi orang kaya, lantas bisa bertindak seenaknya!” Meski telah menerima berbagai intimidasi dari Laila, ternyata Kartika tak pantang menyerah. Dia bukan tipe wanita yang mudah ditindas. “Lalu, apa sebutan untuk orang miskin yang sombong dan sok berkuasa?” Laila belum beranjak dari tempat tidur. Dia juga masih dalam posisi duduk seperti tadi, yaitu bersandar pada tumpukan bantal sambil meluruskan kaki jenjangnya. “Cih! Sok pintar!” gerutu Kartika pelan sambil memalingkan wajah. Meski Laila tak mendengar ucapan Kartika dengan jelas, tapi wanita cantik itu bisa memperkirakan kekesalan yang tengah melanda hati mantan ibu mertuanya. Laila tersenyum sinis. “Kalau Ibu masih berani membantah ucapanku, apalagi sampai berani memaki dan mengumpat seperti itu ….” Laila menjeda sejenak kalimatnya, sehingga membuat Kartika yang tadi memalingkan muka kembali mengarahkan perhatian dengan raut penasaran. Laila tersenyum sinis. “Kenapa? Apa
Aries sadar betul bahwa dirinya telah memantik amarah Laila. Dia juga dapat memperkirakan seperti apa kelanjutan nasibnya. Namun, pria berkulit sawo matang tersebut sedikit heran, karena Laila tak juga merespon apa yang dirinya ucapkan tadi. Hal itu membuat Aries bersikap waspada. Putra sulung pasangan Suratman dan Kartika tersebut yakin, bahwa Laila pasti sedang merencanakan sesuatu.Kecurigaan Aries semakin diperkuat, dengan adanya senyum tipis di bibir Laila. Lengkungan samar yang menyiratkan banyak hal. Entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Tiba-tiba, Aries teringat akan keberadaan sang ibu di kediaman Keluarga Hadyan.Seketika, Aries membeku. Dia telah bertindak bodoh, karena melakukan kekonyolan seperti tadi. Aries berpikir bahwa Laila akan membalasnya dengan satu tamparan disertai caci-maki. Namun, ternyata sikap Laila jauh lebih elega
“Nona Laila?” Elang memberanikan diri menyapa. Mendengar suara yang tak asing tadi, Laila langsung menoleh dan terkesiap. “Pak Elang … sudah datang?” tanyanya salah tingkah. “Bukankah kita sudah janji untuk bertemu sekarang?” Elang tersenyum kecut. Sesekali, ekor matanya melirik Pramoedya yang juga tengah memandang ke arahnya. “Maaf, saya … saya ….” Laila terbata. Dia lalu menunduk dan memperhatikan celananya yang basah. Laila merasa sangat tidak nyaman atas kondisi itu. Terlebih, bagian bawah tubuhnya mulai menimbulkan bau yang tidak sedap. “Apa kita masih lama di sini? Tanganku sudah pegal menutupi pinggulmu,” celetuk Pramoedya enteng, tapi langsung memecah fokus Elang. Penasihat kepercayaan Widura itu menatap tajam Pramoedya. Namun hal itu tak berlangsung lama. Dia kembali mengarahkan pandangannya pada Laila yang bersemu merah karena malu. “Apa ada sesuatu yang terjadi sebelum saya datang?” tanya Elang pelan dan hati-hati. “Ah, iya … ini …. Celana saya basah terkena air waktu
“Aku akan menyuruh sopir mengantarkannya ke rumahmu. Aku sibuk,” jawab Laila ketus. “Bukan seperti itu caranya. Tidak sopan sekali,” sahut Pramoedya enteng. “Lalu?” “Sudah kukatakan tadi. Kamu yang harus mengantarkannya sendiri. Kutunggu sekarang juga,” tegas Pramoedya, seakan tak ingin menerima penolakan. “Apa? Tidak bisa!” Laila tetap menolak tegas. “Apa perlu kuceritakan pada Pak Adnan dan Pak Widura, tentang pertemuan pertama kita?” Pramoedya mulai melancarkan ancamannya. “Astaga.” Laila menggeleng tak percaya. Dia mulai putus asa menghadapi sikap Pramoedya yang teramat menyebalkan. “Dengar ya, Pak Pramoedya Ekawira van Holst! Kalau kamu