Laila yang awalnya hendak ke ruang kerja, mengubah tujuan. Dia berjalan hati-hati ke dekat ruangan yang tadi dimasuki oleh Mayang dan Marinka. Laia berdiri di depan pintu. Rasa hati ingin menguping seluruh pembicaraan mereka. Namun, dia tak terbiasa melakukan hal seperti itu.Sesaat kemudian, Laila berjalan sedikit menjauh. Dia mengeluarkan ponsel, lalu mengirim pesan kepada Dara.[Suruh Kartika ke dekat ruang baca]Tak sampai sepuluh menit, mantan ibu mertua Laila itu sudah berada di sana.“Aku punya tugas penting untuk Ibu,” ucap Laila, yang selalu menunjukkan sikap angkuh di depan Kartika.“Tugas apa?” tanya Kartika malas.Laila t
Laila berdiri terpaku, dengan tatapan lekat tertuju langsung ke mata hazel Pramoedya. Wanita cantik itu seakan tengah mencari pembenaran, dalam ucapan putra sulung Naheswari tersebut. Laila berusaha keras menemukan setitik kepercayaan pada diri pria tampan tadi. Namun, terasa begitu sulit baginya. Hanya keraguan lah yang justru datang menutupi mata hati Laila. “Apa maksudmu?” tanya wanita cantik berambut panjang itu. Pramoedya berjalan semakin mendekat ke hadapan Laila. Sehingga aroma parfume yang dipakainya, semakin jelas menguar dan menusuk langsung ke indera penciuman putri mendiang Reswara Hadyan tadi. “Sekali saja, lihat aku dari sisi berbeda,” ucap Pramoedya pelan dan dalam. “Apa yang ingin kamu tunjukkan padaku? Bukankah kebersamaanmu dengan seorang wanita, akan berakhir setelah transaksi selesai?” Laila belum mengalihkan perhatiannya, dari sosok tampan berpostur tegap tadi. “Kamu bahkan menolakku.” Dia masih belum bisa melupakan apa yang Pramoedya lakukan, di akhir pertemuan
Pramoedya menghentikan laju mobil, di halaman luas kediaman mewahnya. Dia tak langsung turun, atau sekadar melepas sabuk pengaman yang melintang di dada. Pria tampan bermata hazel tadi terdiam beberapa saat, dengan tatapan tertuju lurus ke depan. Sementara, kedua tangan berada di atas kemudi. Begitu juga dengan Laila. Wanita cantik tersebut ikut diam, terlarut dalam pikiran yang terasa menarik serta menenggelamkannya begitu dalam. “Bagaimana?” tanya Pramoedya. Ternyata, pria itu menunggu jawaban dari Laila. “Apanya?” Laila balik bertanya. “Itu, yang tadi kukatakan,” sahut Pramoedya. Kali ini, dia melepas sabuk pengaman, kemudian setengah menghadap kepada Laila. “Aku bisa membantumu menghadapi Adnan dan istrinya. Seperti yang kamu ketahui, mereka merencanakan sesuatu yang jahat. Padahal, Adnan adalah adik kandung Pak Reswara. Menurutku, itu sangat keterlaluan.” “Kalian semua keterlaluan,” balas Laila tanpa menoleh kepada pria tampan, yang terus melayangkan tatapan penuh cinta terh
Pramoedya tersenyum puas, mendengar ucapan Naheswari. Pria tampan itu menjadi semakin percaya diri, karena mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya. Pengusaha muda berdarah Belanda tersebut tak peduli, meskipun Laila mendelik tajam sambil menginjak kakinya. Alhasil, sneakers putih yang Pramoedya kenakan terlihat sedikit kotor.“Baiklah. Kita harus segera berangkat ke bandara. Mama tidak mau jika sampai ketinggalan pesawat,” ucap Naheswari lagi seraya beranjak dari duduknya. “Mama akan menyuruh sopir untuk membawakan koper. Kamu juga ikut mengantar ke bandara, kan?” Ibunda Pramoedya tersebut mengarahkan perhatian kepada Laila.“Tentu, Ma,” sahut Pramoedya. “Laila akan ikut mengantar Mama.”“Ah, syukurlah.” Naheswari tersenyum lembut, kemud
“Katakan sekali lagi, apa tujuanmu ingin menikah denganku?” Keraguan yang teramat besar tampak jelas dalam sorot mata Laila, yang ditujukan kepada Pramoedya. “Jika Om Adnan dan Tante Mayang saja bisa berkhianat serta memiliki siasat licik, bukan tidak mungkin bila kamu juga sama seperti mereka. Bukankah kamu ingin akses ke perusahaan tambang milik ayahku?”“Apakah seburuk itu citraku di matamu?” Kali ini, Pramoedya terlihat sangat serius. Raut wajahnya menyiratkan kesungguhan.Laila menggeleng pelan. Dia tampak gelisah. “Aku bingung. Aku tidak tahu siapa saja yang bisa dipercaya dan tidak saat ini. Kedua tanganku sudah menggenggam harta melimpah, yang tak akan habis meski kuhamburkan dalam jangka waktu bertahun-tahun. Semua aset peninggalan ayahku memiliki nilai triliunan. Bayangkan itu, Pram. Siapa yang tid
“Apa lagi, Bu?” tanya Laila dengan bibir bergetar. Terbayang dalam benaknya, saat Pramoedya bercinta dengan Marinka. Apakah sang sepupu juga diperlakukan sama seperti dirinya, oleh pengusaha muda itu saat di tempat tidur? Laila menggeleng samar.“Hanya itu yang bisa kuingat,” jawab Kartika.“Baiklah. Terima kasih.” Laila memaksakan senyum. Dia beranjak dari sofa, lalu berjalan ke dekat tempat tidur. Laila meraih tas tangan yang tergeletak di atas kasur. kemudian mengeluarkan dompet. Wanita cantik itu memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada mantan ibu mertuanya.“Apa tidak salah?” Kartika terbelalak tak percaya. Dia langsung menghitung uang pemberian dari Laila. “Ini ... ini enam ratus ribu?” Wanita paruh baya itu mendekatkan uang tadi ke hidung, lalu mengendusnya. "Ah, masih wangi."“Bawa saja. Jangan lupa kirimi Niar uang jajan," ujar Laila tak acuh. Dia tampak begitu malas. "Pergilah. Jangan lupa tutup rapat pintunya." Laila berkata demikian dalam posisi membelakangi Kar
Sekitar pukul sembilan pagi, Laila sudah bersiap. Seperti biasa, dia tampil cantik dan anggun tanpa riasan yang berlebihan. Setelah kembali ke kediaman Keluarga Hadyan, mantan istri Aries tersebut jadi lebih sering menggerai rambut panjangnya.“Jadi, ada hal penting apa yang yang ingin Anda bahas dengan saya?” tanya Laila, setelah berada di ruang kerja mendiang sang ayah.“Saya hanya ingin menunjukkan laporan dari perusahaan,” jawab Widura seraya mendekat ke meja kerja, di mana Laila berada. Pria itu membawa tiga map dengan warna berbeda. “Ini dari PT. Hadyan Resources Tbk. Ini dari PT. Permata Buana Tbk, dan ini dari First Fish Tuna (F2T). Silakan periksa satu per satu.”Laila mengangguk diiringi senyum kecil. Kali ini, dia sudah tidak terlalu bingung lagi. Lail
Laila terpaku di tempatnya berdiri, ketika Elang sudah benar-benar berada di hadapannya. Tak ada jarak lagi antara mereka, sehingga dia dapat melihat dari dekat rupa menawan sang akuntan muda tersebut. Namun, anehnya Laila tak merasakan debaran apa pun. Tak ada sesuatu yang membuatnya seakan mati lemas, karena tak dapat bernapas.Laila menatap lekat pria tampan di hadapannya. Dia mencoba mencari ketertarikan, yang mungkin bisa membuat dirinya lupa pada sosok Pramoedya. Namun, makin dalam pandangan mereka beradu, Laila justru semakin merindukan si pemilik mata hazel tersebut.Tak ada getaran sedikit pun yang Laila rasakan, ketika Elang menyentuh pipinya. Membelai perlahan dan penuh penghayatan. Begitu juga, ketika sang akuntan tampan itu mengusap permukaan bibir Laila menggunakan ibu jari. Laila justru semakin teringat pada setiap perlakuan Pramoedya