“Ya, Tuhan, Laila ….” Suratman mendesah pelan. Rasa sesal kian bertambah dalam dada “Bagaimana kondisinya sekarang?” Raut wajah Suratman terlihat begitu sedih.“Menurut Pak Pram, kondisi Laila sangat buruk. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit,” jawab Aries lesu.“Jadi, sampai sekarang Laila belum mendapatkan pendonor?” tanya Suratman lagi.“Begitulah katanya. Sulit mendapatkan pendonor yang cocok,” sahut Aries seraya menyugar rambutnya.Suasana hening sejenak. Suratman tampak berpikir keras. Entah apa yang ada dalam benak pria itu. Sesaat kemudian, sorot matanya menatap tajam kepada sang putra. Membuat Aries bertanya-tanya. “Bagaimana jika Bapak dicek? Siapa tahu, Bapak bisa jadi pendonor untuk Laila,” cetusnya tiba-tiba.Aries terkesiap mendengar ucapan sang ayah. “Aku tidak tahu, Pak. Lagi pula, Bapak sudah terlalu tua. Apakah tidak berbahaya untuk kesehatan Bapak sendiri?” ujar Aries ragu.“Tidak ada salahnya mencoba. Tolong cari tahu bagaimana caranya. Bapak benar-benar ingi
Pramoedya tak sabar mendatangi lapas tempat Suratman menjalani sisa masa hukumannya. Pria itu tak peduli, meski Aries sudah memperingatkan bahwa jam berkunjung telah habis. Pramoedya terlalu bahagia, karena ada yang bersedia menjadi pendonor bagi Laila. Walaupun, hasil pemeriksaan lab belum tentu memperoleh kecocokan. Namun, ini seakan menjadi penyemangat baru, bagi pengusaha muda tersebut. Setelah tiba di lembaga pemasyarakatan yang dimaksud, Pramoedya langsung menemui sipir yang bertugas. Dia menunjukkan surat pengantar dari dokter. Tak lupa, dirinya juga telah menghubungi pengacara. Hal itu dimaksdukan agar membantu mempermudah proses masuk, hingga bertemu dengan Suratman.“Maaf, Pak. Berhubung ini sudah di luar jam kunjungan, maka kami mewajibkan Anda menemui Pak Suratman di ruangan sipir,” ujar petugas tadi.“Tak masalah di manapun, selama saya bisa mendapatkan sampel darah har Pak Suratman hari ini,” balas Pramoedya antusias.Petugas sipir tadi berunding sejenak dengan rekannya
“Itu sudah jadi keputusan bapak saya, Pak. Beliau memiliki alasan sendiri, dan pasti sudah mempertimbangkan pula segala risiko yang akan dihadapi. Namun, tentu saja kami sekeluarga tidak mengharapkan hal buruk terjadi padanya. Apakah niat baik seseorang, akan berbalas sesuatu yang buruk? Saya rasa tidak.” Tiba-tiba, Aries menjadi seseorang yang bijaksana. “Kamu benar. Aku juga tidak mengharapkan sesuatu yang buruk. Ini hanya sekadar persiapan. Selain itu, kamu sekeluarga tidak perlu cemas. Aku akan memberikan kehidupan yang layak bagi kalian. Termasuk pengobatan dan lain-lain. Jujur saja, aku berharap bahwa Pak Suratman bisa menjadi penolong bagi Laila.” Pramoedya mengembuskan napas pelan. “Jika bapak saya tidak cocok untuk menjadi pendonor, saya bersedia diperiksa juga,” ucap Aries, seolah tanpa berpikir panjang. “Kamu yakin?” tanya Pramoedya. Dia seperti meragukan pernyataan mantan suami Laila tadi. Aries menjawab pertanyaan Pramoedya dengan anggukan penuh keyakinan. “Tolong sam
Laila yang sudah melewati tahap observasi, langsung dibawa ke kamar rawat. Senyum penuh kelegaan terus terlukis di bibir Pramoedya dan Widura. Kedua pria itu mengucap syukur yang sebesar-besarnya, karena Laila telah berhasil menjalani operasi transplantasi ginjal.Setibanya di dalam kamar, kedua pria tadi mendapati Laila sedang terpejam. Pengaruh obat bius belum sepenuhnya sirna. Pramoedya mempercepat langkah, karena tak sabar ingin segera menggenggam tangan sang istri. Sedangkan, Widura hanya berdiri di dekat ranjang sambil tersenyum.“Sayang.” Suara Pramoedya terdengar begitu dalam. Dia duduk di dekat ranjang, setelah sebelumnya menarik kursi besi yang ada di dekat lemari kabinet. Pria tampan tersebut menggenggam erat jemari Laila, lalu menciumnya penuh kasih.“Sepertinya. Nyony
Kartika masih tenggelam dalam rasa terkejut dan tak percaya. Dia hendak memastikan kebenaran, dari apa yang Widura sampaikan. Namun, kembali terdengar suara ketukan di pintu.Kali ini, Pramoedya masuk bersama dua pria bersetelan rapi. Kartika ingat betul, bahwa mereka merupakan orang-orang yang pernah menemui Suratman di lapas.“Saya sudah menjelaskan semuanya pada keluarga Pak Suratman,” lapor Widura sambil berbisik.“Baik, Pak. Terima kasih,” balas Pramoedya, yang kemudian memberi isyarat pada kedua pria tadi. Salah seorang dari kedua pria itu mengambil foto Suratman. Sedangkan, seorang lagi mencatat sesuatu.“Kenapa Anda memotret suami saya?” Kartika memberanikan diri bertanya.“Untuk keperluan laporan pada pihak lapas dan kejaksaan,” jawab Pramoedya. “Oh.” Kartika mengangguk pelan. Ada sesuatu yang ingin dia katakan. Namun, melihat pembawaan Pramoedya yang sangat berkharisma membuatnya sungkan. “Jangan khawatir, Bu. Saya akan memberikan yang terbaik untuk suami Anda. Ini sebaga
Beberapa hari berlalu. Laila sudah diperbolehkan pulang. Namun, dia tak sempat menemui Suratman, karena mantan mertuanya tersebut lebih dulu bertolak dari rumah sakit.Laila duduk di kursi roda. Wajah cantiknya tak lagi terlihat pucat seperti kemarin-kemarin. Kali ini, dia tampak jauh lebih ceria. “Kita akan pulang, Sayang,” bisik Pramoedya sambil terus mendorong kursi roda, hingga tiba di halaman depan rumah sakit. Dari sana, dia membopong Laila ke dalam mobil. “Aku tidak akan membiarkanmu lelah, hingga kamu benar-benar pulih,” ucap pria itu lembut, seraya memasang sabuk pengaman. “Terima kasih. Kamu sangat baik, Mas,” balas Laila, disertai senyum manis. “Selain itu, kamu adalah pria paling tampan.” Laila mengerling nakal. “Jangan bersikap seperti itu, Sayang.” Pramoedya menggeleng pelan. Dia harus berupaya keras mengendalikan diri agar tidak tergoda. Apalagi, di belakang kemudi ada Damar, yang sudah siap sejak tadi untuk mengantar mereka pulang. Pramoedya segera menutup pintu, la
Marinka langsung berdiri. Putri semata wayang pasangan Adnan dan Mayang tersebut, seketika memasang raut tak suka. “Kalian ini kenapa? Apakah karena papa dan mamaku berbuat jahat, lantas semua yang kulakukan pasti dimaksudkan untuk mencelakaimu, Laila? Keterlaluan!” Marinka menghentakkan kaki, lalu berbalik. Wanita muda berambut golden brown itu melangkah pergi, sambil membawa rasa jengkel luar biasa. Sementara itu, Laila hanya dapat mengembuskan napas panjang. Sebenarnya, dia merasa tak enak. Namun, setelah banyak hal buruk terjadi, Laila patut bersikap waspada. “Biarkan saja, Sayang,” ucap Pramoedya, seraya mendorong pelan kursi roda menuju kamar. “Sikap Marinka yang seperti tadi, sudah menjadi senjata andalannya. Dia kerap berlaku demikian sejak dulu. Aku tak akan tertipu, meski dia mengiba.” “Kamu sangat mengenalnya,” ujar Laila, seakan menyindir Pramoedya. “Di luar dari konteks sindiran yang kamu tujukan padaku … ya, kukatakan bahwa aku cukup mengenal dia. Seperti yang sudah
“Bisakah mendiktekan untukku, Sayang? Biar kucatat rangkaian angkanya." Pramoedya meminta kertas dan alat tulis kepada Widura. "Iya." Laila mengangguk. Dia menunggu sesaat, hingga sang suami siap dengan kertas dan bolpoin di tangan. Setelah itu, barulah Laila menyebut satu per satu deretan angka, yang terukir pada kalungnya hingga selesai. Jumlahnya terdiri dari enam digit.“Bagus. Aku akan mengambilnya sekarang juga, agar kita segera mengetahui apa isi di dalam brankas itu.” Pramoedya melipat kertas tadi, lalu memasukkannya ke saku celana. Dia membelai lembut pipi Laila, dengan tatapan yang tak dapat diartikan.“Kenapa harus terburu-buru, Mas? Ini sudah malam. Apa tidak sebaiknya besok saja?” saran Laila.“Kurasa, makin cepat akan semakin baik. Bukan begitu, Pak Widura?” Pramoedya mengalihkan perhatian kepada Widura, yang berdiri tak jauh dari mereka. Pria paruh baya itu mengangguk setuju. “Apa tidak sebaiknya Nyonya bersitirahat saja?" Widura beralih pada Laila. "Ingat pesan dokt