Laila menatap lekat Pramoedya, yang masih memegang kertas dari dalam brankas. Wanita muda itu mengembuskan napas pelan. Namun, dia tak tahu harus berkata apa. “Pantas saja Adnan dan istrinya begitu berhasrat untuk memiliki brankas ini,” ucap Pramoedya sesaat kemudian. “Apakah jumlahnya memang sangat banyak?” tanya Laila dengan sorot aneh. Pramoedya tidak menjawab. Dia hanya mengangguk yakin. “Seberapa banyak?” tanya Laila lagi. “Di sini tertulis dengan jelas. Kamu mungkin bisa membeli sebuah pulau dengan jumlah ini,” terang Pramoedya, seraya mengalihkan perhatian pada lembaran kertas yang masih dirinya pegang. Namun, sorot mata pria tampan itu tiba-tiba berubah. Wajahnya menjadi sendu, seakan ada sesuatu yang dia sesalkan. “Mendiang Pak Reswara meninggalkan harta yang sangat melimpah untukmu,” ucap Pramoedya pelan, sambil menggulung kembali kertas tadi. “Sebaiknya, kamu bicarakan ini dengan Pak Widura. Beliau pasti lebih paham. Lagi pula, Pak Widura lah yang selama ini mengurus
Widura menghela napas panjang, setelah mendengar ucapan Laila.“Apakah ini ada hubungannya dengan isi brankas yang berhasil Anda buka?” tanya pria paruh baya itu, seraya duduk.Laila mengangguk, meski terlihat ragu. “Apa Anda menyaksikan sendiri, saat ayah saya mengisi brankasnya dengan surat-surat berharga?” tanya Laila penuh selidik.“Tidak, Bu. Pak Reswara mengisi brankas itu, tanpa ada seorang pun yang tahu,” terang Widura. “Waktu itu, beliau meminta saya menghadap, lalu menunjukkan brankas besi yang sudah tersegel. Pak Reswara menyuruh saya untuk menyembunyikan benda tersebut, di tempat yang sekiranya tidak akan terpikir oleh orang lain,” lanjut orang kepercayaan mendiang Reswara tadi.“Mas Pram mengatakan bahwa nominal yang tertera dalam surat berharga itu, setara dengan harga sebuah pulau,” ucap Laila pelan, tapi terdengar sangat serius.Widura langsung terkesiap mendengarny
Laila mengangguk setuju. “Kamu di sini dulu ya, Ra,” ucapnya pada sang asisten pribadi. Setelah itu, Laila beralih pada Widura. Istri Pramoedya tersebut kembali mengangguk. Kali ini, sebagai isyarat agar pria paruh baya tadi ikut dengannya menemui Suratman.Widura langsung beranjak dari duduknya. Dia berpindah ke belakang kursi roda Laila, lalu mendorong mengikuti Niar.Sementara, Dara berdua dengan Aries yang sudah siap berangkat, di ruang tamu. Namun, putra sulung Suratman tersebut merasa tak enak, saat harus meninggalkan gadis itu sendirian di sana. Aries melihat jam dinding. Dia masih memiliki waktu sekitar sepuluh hingga lima belas menit.Aries tersenyum simpul, seraya duduk di salah satu kursi. “Maaf, Ra. Seperti inilah kondisi di rumahku. Semua serba alakadarnya,” ujar pria itu bas
Laila menatap Widura sejenak. Dia tak sempat meminta izin kepada Pramoedya, bahwa dirinya akan pergi menemui Suratman. Lagi pula, ide itu muncul tiba-tiba. Laila membiarkan sesaat telepon genggamnya bergetar, hingga memutuskan menjawab panggilan tadi.“Iya, mas,” sapa Laila lembut.“Apa kamu sedang istirahat, sayang?” tanya Pramoedya merasa tak enak, karena mengira bahwa dirinya telah mengganggu sang istri.“Tidak juga,” jawab Laila, diiringi gumaman pelan. “Aku … aku sedang berada di rumah Pak Suratman. Nanti saja kita bicara lagi saat di rumah.”“Baiklah. Kamu pergi dengan siapa?” tanya Pramoedya, sebelum menutup sambungan telepon.
Marinka tersadar. Dia yang tengah menopang kening, seketika mengangkat wajah. Wanita muda itu menatap Lena, dengan sorot aneh dan tak dapat diartikan. “Ya, kamu benar,” ucapnya memaksakan diri agar terlihat biasa. Marinka tertawa dibuat-buat, kemudian berdiri. “Aku memang agak … kamu tahu sendiri bahwa aku sedang mengalami masalah yang sangat berat. Aku tertekan dan … dan ….” Putri semata wayang Adnan tersebut tak melanjutkan kata-katanya. Si pemilik rambut golden brown tadi tampak memikirkan sesuatu. Sedangkan, Lena menatap aneh pada majikannya. Gadis yang sudah mengabdi pada Marinka sekian lama itu, memicingkan mata. Lena seperti menangkap suatu kejanggalan dari sikap sepupu Laia tersebut. Namun, tentu saja dia tidak berani mengatakan apa pun. Terlebih, melakukan protes. Lena merasa muak, ketika dirinya harus menjadi bulan-bulanan kemarahan sang nona. “Ya sudah. Kamu keluar sana. Aku ingin sendiri,” usir Marinka, dengan nada bicara yang tidak terlalu keras. “Baik, Non.” Lena meng
“Obat?” ulang Pramoedya, tanpa mengubah posisi berdiri, yang sejak tadi menghadap langsung pada wanita dalam keremangan tadi.“Iya. Aku rasa, yang dimaksud pasti bukan obat biasa. Itulah mengapa Marinka sangat khawatir karenanya. Terlebih, dia yang biasa menebus resep dari Dokter Hasan. Kalau begitu, artinya Marinka tidak benar-benar bersih, Mas.”“Ya, kamu benar.” Pramoedya menggumam pelan. “Rasanya pasti menyenangkan, jika bisa menyeret wanita itu ke penjara,” ujar pria tampan dengan T-Shirt biru navy tersebut, sambil memasukkan satu tangan ke saku celana tidur. “Apa sebaiknya kutanyakan langsung kepada Pak Widura saja, ya?” pikirnya, beberapa saat kemudian.“Itu akan jauh lebih baik. Siapa tahu, Pak Widura mengetahui obat-obatan tersebut atau bahkan menyimpannya. Jika masih ada, Bu Laila bisa menjadikan itu sebagai barang bukti baru untuk menjerat Marinka. Harus kuakui, dia sangat menyeba
Malam yang menyebalkan telah berlalu tanpa terasa. Laila yang seharusnya melanjutkan tidur, tak dapat memejamkan mata barang sedetik pun. Terlebih, karena dia tak tahu Pramoedya berada di mana tadi malam.Alarm berbunyi nyaring. Namun, hari ini Laila tak merasa terbantu oleh suara yang selalu membangunkannya setiap pagi itu. Kali ini, alarm tersebut ‘bangun’ lebih terlambat dari dirinya. Laila juga tak memedulikan bunyi yang cukup memusingkan tadi. Dia hanya duduk termenung, sambil bersandar pada kepala tempat tidur.Akan tetapi, lama-kelamaan Laila merasa terganggu. Kesal, wanita itu meraih jam digital dari meja tempat lampu duduk berada. Dilemparkannya benda berisik tersebut ke dekat pintu kamar.Bersamaan dengan itu, Dara masuk. Jam digital tadi jatuh tepat di dekat kaki gadis manis
Pramoedya dan Widura sama-sama tercengang, atas ucapan Laila yang seakan tanpa dipikir terlebih dulu. Kedua pria itu saling pandang hingga beberapa saat, sebelum kembali mengarahkan perhatian kepada wanita yang tengah diliputi amarah. “Jangan bicara sembarangan, Sayang,” tegur Pramoedya pelan, tapi penuh penekanan. “Maaf bila dianggap ikut campur. Saya tidak tahu ada masalah apa antara Anda dengan Pak Pram. Akan tetapi, sebaiknya jangan mengambil keputusan dalam keadaan marah. Bukan tidak mungkin, itu akan menjadi hal yang paling Anda sesali di kemudian hari.” Widura mencoba mengingatkan Laila, agar tidak gegabah. “Saya sudah memikirkannya semalaman. Menurut saya, ini adalah keputusan yang paling tepat,” ujar Laila tetap pada pendiriannya. “Tepat menurutmu, belum tentu tepat bagi pasanganmu!” sergah Pramoedya. Dalam hati, dia sudah tak tahan ingin bertindak lebih tegas kepada Laila. Akan tetapi, Pramoedya berusaha tetap menahan diri.