"Bagus, ya. Jam segini baru pulang!"Baru saja Analea menginjakkan kakinya di teras rumah, Irma berkacak pinggang di depan pintu."Nggak siang, nggak malam, keluyuran terus! Gimana nggak jadi bahan omongan tetangga kalau setiap hari begini?" Sorot mata Irma begitu tajam menatap menantunya. Ada kemarahan dan ketidaksukaan dalam tatapannya."Asalamualaikum, Bu." Meskipun begitu, Analea tetap menghampiri ibu mertua dan mencium tangannya. "Aku bukan keluyuran, Bu. Tapi baru saja pulang kerja.""Halaaah, mau gaya-gayaan kerja kayak orang-orang. Ngaca dulu dong! Penampilan kayak gini kok mau kerja," cemooh Irma. Ia memandang Analea dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan meremehkan. "Sana ke dapur, kerjaan kamu seharian numpuk!""Kerjaan aku?" Analea mengernyit. Ia langsung melangkah ke dapur.Mata wanita itu langsung melebar saat melihat tumpukan piring kotor dan alat bekas masak di wastafel yang tampak sepertinya sengaja dikumpulkan sejak pagi, belum dicuci. Tumpukan pakaian ko
"Ana–”"Aku tetap minta cerai," tandas Analea kemudian sebelum suaminya bisa mengambil tindakan lebih lanjut. Ia mendorong tubuh Hamid."Permisi!"Analea buru-buru masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.Hamid hanya diam terpaku melihat pintu kamar ditutup rapat oleh Analea."Andai saja kamu tidak membohongiku, kita pasti masih merasakan kebahagiaan seperti dulu." Hamid berkata dalam hati. "Apalagi saat ini kita masih dalam masa pengantin baru. Tapi bahkan sekarang pun kamu masih saja keras kepala."Pria itu menghela napas panjang. Ia merasa sangat berat jika harus berpisah dengan Analea. Namun, ia tak ingin mengatakan hal itu pada istrinya. Analea pasti akan merasa besar kepala dan makin bertingkah seenaknya jika Hamid mengatakan hal itu dan mengalah.Akan tetapi, Hamid yakin bahwa Analea yang cantik dan pintar tentu akan mudah mendapatkan pria lain di luar sana.Oleh karena itu, Hamid tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia akan mencari cara agar Analea bisa berhenti kerja. Ia akan menc
"Kamu ngapain ada di sini?"Bukannya menjawab, tatapan Analea kemudian justru beralih pada Nandita yang berdiri dengan angkuh di samping Hamid. Selingkuhan suaminya tersebut balas menatapnya dengan pandangan tidak bersahabat."Eh, malah bengong!" sentak Nandita dengan mata mendelik. "Kalau ditanya itu jawab, dong!"Analea tetap diam saja dan melangkah keluar lift, tidak langsung menjawab. Ia tak mau meladeni perempuan selingkuhan suaminya itu dan beralih menatap Hamid. Namun, ia tidak mau sampai menjadi pusat perhatian orang sekitar."Aku kerja, Mas." Analea akhirnya menjawab dengan dingin. Kemudian, tanpa menoleh lagi, ia melanjutkan langkahnya menuju meja resepsionis."Ck, Ana!" Hamid merasa kesal karena tak dihiraukan oleh Analea."Halaaah! Pegawai rendahan aja sombong!" umpat Nandita. Ia sendiri tidak suka karena diabaikan oleh wanita yang menurutnya bukan siapa-siapa tersebut. "Apa sih kerjanya istri kamu itu, Mid? Paling-paling juga cleaning service atau office girl."Nandita me
Berani-beraninya--"Hamid merasa marah. Tangannya mengepal di bawah meja, tidak terima dengan tingkah Analea yang dinilai genit di matanya padahal wanita itu hanya menjalankan tugasnya.Tatapan Hamid terus tertuju pada Analea yang duduk di depan sejajar dengan Kaisar dan Fabian hingga Nandita harus menyenggolnya agar tidak memelototi dua petinggi perusahaan tersebut.Meskipun merasa marah dan cemburu, Hamid juga terheran-heran melihat Analea bisa berada di sebelah sang CEO."Kenapa dia bisa ada di ruangan ini? Apa jabatan Ana sebenarnya?" tanya Hamid dalam hati. Dadanya kembali bergemuruh ketika melihat Kaisar tersenyum pada Analea yang duduk di sisinya."Sial, CEO itu kenapa harus senyum-senyum bicara dengan istriku?" umpat Hamid dalam hati.Pria itu makin yakin ingin meminta Analea berhenti bekerja. Jangan sampai Analea tergoda oleh pria lain di Eternal Group ini."Dia pasti akan semakin besar kepala dan membangkang jika masih bekerja di sini." Hamid terus menggerutu dalam hatinya.
"Ehm ... siapa yang bikin malu Eternal Group?" Mendengar suara yang begitu berwibawa di belakang mereka, ketiga wanita penggosip itu spontan menoleh ke belakang. "Eh--B-bu Maira?" Ketiga karyawati itu menunduk, menyadari kesalahan mereka yang sedang bergosip di tempat yang tidak semestinya. "Siapa yang sedang kalian bicarakan?" tanya wanita yang memakai hijab segiempat dengan model simple, sembari menatap ketiga karyawati itu satu per satu. "B-bukan siapa-siapa, Bu." Dengan suara gemetar, salah satu dari mereka menjawab. Sebenarnya, Maira bukanlah seorang pimpinan yang arogan atau mudah marah. Wanita itu bahkan terkenal ramah pada semua karyawan. Namun, hal inilah yang justru membuat orang-orang enggan pada Maira. Mereka cenderung lebih menghormati dan segan pada wanita berpenampilan elegan dan berkelas itu dibandingkan takut. Beruntung bagi tiga karyawati tersebut, Maira tidak memperpanjang masalah atau menggali lebih dalam. Wanita paruh baya itu hanya menggelengkan kepalanya da
"Bu Maira!"Analea bergegas mendekat. Ia berjalan tergesa-gesa untuk menghampiri Maira. Napas wanita itu terengah-engah. Jarak Analea dengan tempat Maira dan Kaisar berdiri tinggal beberapa meter lagi."Bu--"Akan tetapi, seketika tubuh Analea lemas saat ia melihat Maira dan Kaisar telah masuk ke dalam BMW hitam yang sejak tadi menunggu mereka. Sekian detik kemudian Analea melihat mobil mewah itu telah melaju kaluar menuju arah jalan raya."Bu Maira ..." Bibir Analea bergetar menyebut wanita yang sangat ingin ia temui itu. Beberapa saat ia mematung, menatap arah perginya mobil yang membawa Maira dan Kaisar. Hingga seseorang menyapanya."Belum pernah lihat mobil seharga miliaran, ya? Sampai sebegitu kagumnya." Salah satu wanita di antara beberapa karyawati bicara pada Analea sambil memandang rendah.Sepertinya para wanita itu baru saja selesai dari makan siangMendengar temannya bicara, wanita lainnya terkekeh dengan pandangan mencemooh pada Analea.Akan tetapi, Analea tidak menghirauk
"Hamid, apa-apaan, kamu!?" Dengan mata melotot Nandita bergegas masuk menghampiri Hamid. "Nandita,--" Hamid terkejut melihat Nandita tiba-tiba sudah berada di rumahnya. Seketika ia teringat bahwa semalam Nandita mengajaknya berangkat bersama ke kantor. "Lepasin, Mas!" Analea berontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Hamid. Namun Hamid seakan berat melepaskan istrinya yang kini terlihat sangat cantik dengan penampilan yang tidak seperti biasanya. Bahkan, di mata Hamid, Nandita kini tidak ada apa-apanya dibanding penampilan Analea yang sangat memukau. Menurutnya, wajah Analea memang sudah dasarnya cantik, jadi akan semakin cantik dengan penampilannya sekarang. Setelah susah payah, akhirnya Analea lega karena bisa terlepas dari lingkaran tangan kekar Hamid yang tadi sempat berada di pinggangnya. Ia buru-buru merapikan pakaiannya yang sempat sedikit kusut. Analea melirik sesaat pada Nandita yang menatap nyalang padanya. Setelahnya, ia kembali tidak menghiraukan kehadiran wanita
"Kenapa Non Ratu memandangku seperti itu?" Analea bertanya dalam hati. "Selamat pagi, Bu Maira, Mbak Ratu!" Risa menyapa keduanya dengan mengangguk, diikuti oleh Analea yang ikut berdiri di sampingnya. "Ana, bagaimana kabarmu?" Langkah Maira terhenti tepat di depan meja Analea. Wanita berpenampilan elegan dan anggun itu tertegun beberapa detik saat menatap Analea. "Baik, Bu. Bagaimana dengan Ibu? Apa masih ada yang sakit?" tanya Analea sambil menatap kagum pada wanita cantik paruh baya itu. "Saya baik-baik saja. Semoga kamu betah ya, bekerja di sini!" ucap Maira lembut. Ia tersenyum puas melihat penampilan Analea pagi ini. Analea merasakan sebuah getaran saat Maira memandangnya dengan tatapan menyejukkan. Analea tidak memahami itu. Namun, ada rasa yang begitu nyaman yang ia rasakan setiap mendengar suara lembut Maira. "Ayo, dong, Ma! Itu Kak Kaisar sudah masuk ke ruangannya." Ratu menarik lengan Maira sambil merengek manja. Wanita itu menunjuk Kaisar yang sudah melangkah lebih d