Perasaan ku tiba-tiba jadi enggak enak karena Teh Lina berkata begitu. Kulihat Aa Hadi yang tampak asyik ngobrol dengan Mang Nakim. Dulu itu, mereka sering mancing bersama Bapak."Jangan ngomong begitu ah, Teh ... Kalau mengungkit masa lalu, Jani nggak enak sama Teteh!" ungkapku pada Teh Lina "Teteh mah santuy Neng! Malah kepikiran buat jadiin kamu istri keduanya Papi!"GlekkYa ampun Teh, ceplas-ceplos sih nggak apa-apa, tapi nggak langsung ke point begitu juga kali!"Ish Teteh, ngomong apa, sih? Jani masih punya pikiran kali Teh! Nggak mungkin Jani berpikir sampai ke sana!" sungutku kesal.Menikah dengan Aa Hadi? Jadi istri kedua? Mau sih mau Teh, tapi kalau istri pertamanya Teteh, Jani nggak sanggup!Teteh itu terlalu baik di mata Jani."Tapi Teteh udah mikir ke sana lho, Neng! Lagipula, Teteh lihat si Aa masih perhatian kan, sama kamu?""Teteh jangan ngomongin itu ah. Jani aja belum resmi bercerai dari Mas Pras. Lagi pula, nggak mungkin Jani nyakitin hati Teteh!""Kalau Teteh yan
Apa dia benar-benar Sarah keponakan Teh Lina? Tapi ... untuk apa dia datang ke sini?Aku sangat yakin dia adalah Sarah, keponakan Teh Lina yang pernah memergoki aku dengan Aa Hadi, juga yang telah menceritakan semuanya pada Teh Lina.Setelah membuka pintu, kupersilahkan dia untuk masuk dan duduk. "Maaf, pasti Teh Jani kaget ya ...." Sarah bicara dengan lembut dan sopan. Beda sekali waktu dia memergoki aku dengan Aa Hadi. Sangar kayak singa. Wajar juga sih, kan Bibinya dikhianatin sama mamangnya!"Iya, memang kaget. Tunggu sebentar ya, Teteh bikin minum dulu!"Tanpa meminta persetujuannya, aku ke dapur untuk membuatkan Sarah minum.Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku. Ada apa Sarah sampai jauh-jauh datang ke sini?Setelah membuatkan segelas Teh hangat, dia memintaku untuk bicara dengan serius.Padahal dari tadi kurang serius apa ini coba?"Apa Bibi sudah bilang sama Teh Jani, kalau dia minta Teteh nikah sama Mamang Hadi?" tanya Sarah sambil meneguk teh manis hangat buatanku. "Uhu
"Bu, bagaimana ini? Apa kita harus menginap atau bagaimana?" Samar-samar kudengar suara Bapak saat aku mulai sadar. Kenapa aku harus pingsan lagi? Padahal aku ingin mengantarkan Teh Lina sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku yakin saat ini dia sudah dikebumikan. "Nanti tanya Anjani dulu Pak, kasihan dia pingsan berkali-kali ...," jawab Ibu. "Bu ...," panggilku pada Ibu. "Teteh udah sadar? Sebentar Ibu bikinin Teh manis, biar kuat ...." Ibu berlari ke dapur meninggalkan aku dan Bapak di sini. "Anak-anak di mana Pak?" "Diajak main sama Dini dan Anjeli. Tadi ... Dini nggak berhenti nangis, tapi setelah main dengan anak kamu, dia bisa melupakan sejenak kesedihannya." Ya, Dini pasti sangat terpukul dengan kepergian maminya. Selain bungsu, selama ini dia sangat bergantung pada Teh Lina. "Bagaimana Teh, kita pulang kapan? Jujur aja, Ibu nggak enak karena banyak saudara mereka di sini. Dari tadi nanya sama Ibu. Ibu 'kan jadi bingung, Teh, mau bilang mantan pacar apa manta
Lalu, ke mana Bapak?Apa Ibu sengaja berbohong agar aku menemui Aa Hadi di sini?Baru saja aku hendak berbalik, Aa Hadi memanggilku."Jani!""Heumm ...."Aku berhenti dan diam sejenak."Aa mau ngomong.""Ngomong aja atuh, A, itu juga lagi ngomong kan?" sahutku ketus."Duduk dulu!" pintanya.Kuturuti permintaan dia untuk duduk dan bersiap mendengarkannya"Kenapa?" Aku penasaran juga."Nikah, yuk!" jawabnya santai."Ish, ngajakin nikah kaya ngajakin main. Nikah itu 'kan bukan buat mainan!" seruku kesal."Terus maunya gimana, yang romantis? Aa kan nanya dulu, takut ditolak!""Belum usaha udah takut duluan, gimana sih?"Mendengar ucapanku, Aa Hadi diam. Mungkin dia kesal mendengarnya."Aa nggak usah usaha macem-macem, Jani cuma bercanda kok!" Aku mencoba meredam suasana. Kasihan mukanya melas begitu gara-gara kesal."Jadi Aa diterima?"Ish, kenapa matanya jadi membulat dan tampak bersinar-sinar begitu?"Nggak!" Mataku spontan meliriknya dan wajahnya kembali melas, mungkin dia bingung.
"Kenapa sih, Teteh enggak terima saja lamaran si Aa? Kan, Teteh nggak perlu capek-capek kerja dan ninggalin anak-anak?"Duh Ibu, kenapa juga harus membahas ini lagi?"Jani belum bisa Bu ... Ibu mengerti kan?" Ibu mengangguk mengerti. Sementara Bapak yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan kami, malah meledekku dengan menyanyikan sebaris lagu."Pikir-pikir daripada, kumelamar kerja, lebih baik aku dilamar lagi!" Bapak sampai terkekeh menyanyikan lagu yang liriknya telah diubah itu.Besoknya, pagi-pagi sekali aku sudah sampai di Jakarta dan langsung menuju pabrik.Setelah interview selesai, aku pun dinyatakan diterima. Dan katanya, aku sudah bisa berkerja mulai besok.Karena sudah dipastikan diterima, aku langsung mencari kontrakan yang bisa di tempati.Tadinya sih, maunya dekat sama Rini. Tapi menurutnya, di kontrakan tempat dia tinggal sudah penuh semua. Setelah itu, aku mencoba menelepon Ina. Dia pun menyarankan, agar aku pergi mencari kontrakan milik Babe Hans, tidak jauh d
Aa Hadi???Ngapain dia nongol dan ikutan tinggal di sini juga?Ya Allah ... Jani mimpi atau nggak sih?Di dalam hati aku mengomel tak hentinya. Menatap kesal Aa Hadi yang berdiri dengan senyum penuh kemenangan, di belakang Babe Hans."Ini Neng Jani A, dia juga baru pindah di sini kemarin. Neng, ini Aa Hadi, udah sendiri juga kaya Neng Jani. Akur-akur ya, kali aja jodoh!" kata Babe Hans memperkenalkan.Duh Beh, ini mah nggak usah dikenalin, Jani udah hapal betul sama kelakuannya!Tapi apa kata Babe tadi? Jodoh? Ini mah maksa namanya atuh! Udah pergi jauh-jauh malah disamperin!Aku memilih diam dan tidak menjawab ucapan Babe Hans. Rasa sakit yang tadi menjalar di kaki, langsung pindah ke otak. Mumet rasanya!Kenapa bisa sih, dia ikut pindah ke sini?Maksa banget gitu, sampai jauh-jauh ke Jakarta.Terus kerjanya dia gimana?Anak-anaknya juga, apa mereka ditinggal tanpa pengawasan?Ish, dasar semprul, sudah tua masih juga egois. Bisanya cuma mikirin diri sendiri!Lagi pula, kenapa juga di
Ini adalah pertanyaan yang paling menggangguku sejak tadi. Rasanya egois aja gitu, kalau dia sampai tinggalin anak-anaknya."Anak-anak milih tinggal sama neneknya di kampung. Kasihan kalau sama Aa nggak ada yang ngerawat. Tapi kalau Jani mau jadi Ibunya, mereka pasti balik lagi kok!"Ish, mulai lagi! Tapi kok aku malah sedih ya dengernya? Terbayang wajah Ranti, Rasyid dan Dini. Apalagi si bungsu Dini yang masih suka manja sama maminya dulu."Terus Aa ngapain pindah ke sini, emang nggak kerja?""Kerjalah ... kan Aa bisa berangkat lebih pagi dari sini.""Duh A, Jakarta Bogor itu lumayan jauh loh! Lagipula, Jani itu bukan anak kecil. Jani itu—"TutTutTutPanggilan telepon terputus. Mungkin dia kesal mendengar ocehanku. Ish, kebiasaan! baru di ceramahin sebentar aja udah nyerah! Gimana kalau udah jadi suami???[Aa tidur dulu ya, ngantuk. Kalau masih kangen, besok aja lanjutin!]Dih, kegeeran! Siapa juga yang kangen mantan semprul begitu?***Gara-gara semalaman nggak bisa tidur nahan ka
"Mama!""Mama!"Teriakan Nindy dan Hamdi bergantian memanggilku. Tapi wajah si bungsu langsung berubah murung, lalu menangis setelah menyadari wajahku yang ada di layar ponsel Anjeli.Maafkan Mama Nak! Tidak tega rasanya melihat mereka."Hamdi nggak boleh nangis, hari Sabtu Mama pulang ya sayang!" bujukku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Aku menyesal karena sudah menghubungi mereka dan malah membuat keduanya menangis melihatku."Enggak usah VC Bu, Jani nggak kuat!"Aku melambaikan tangan. Rasanya lebih dari uji nyali ini mah!Kumatikan panggilan video dan menggantinya dengan panggilan suara."Ibu kenapa kasih tau Aa Hadi, kalau Jani pindah ke sini?" tanyaku pada Ibu, masih dengan suara terisak. Kudengar, suara Hamdi juga masih menangis memangggilku."Maaf Teh, dia ke sini waktu Teteh lagi ngelamar kerja. Ibu nggak bisa bohong," jelas Ibu."Apa Ibu tau kalau Aa Hadi ikut pindah ke sini?""Ah, masa si Teh?"Dari suaranya, aku yakin, Ibu pura-pura tidak tahu."Bener Bu, Jani aja—""Ya u