Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (19)Aku pulang dengan hati bungah. Hatiku yang gelisah seminggu kemarin lenyap sudah. Setelah berpisah dengan Trisha, aku mampir ke toko kue, membeli donat dengan aneka topping kesukaan Cia, dan beberapa kue lain untuk seluruh orang di rumah. Aku ingin merayakan hari ini.Apakah aku berlebihan? Bukankah perempuan itu, Ibu kandung Cia, bisa datang kapan saja? Aku menggelengkan kepala. Biarlah, biar saja. Aku masih punya waktu mempersiapkan diri, dan terutama, mempersiapkan hati anakku."Mama! Mbak Atik beli susu coklat banyak!"Cia langsung menyambut sambil memberi laporan. Aku merangkul dan mengangkatnya dalam gendongan. Kami saling menatap, menempelkan keningku dengan keningnya yang mungil. Rasanya ingin menangis karena haru, tapi dia akan bertanya lagi kenapa aku menangis."Cia anak Mama, Cia anak Mama!" seruku berulang-ulang sambil menciuminya.Cia tertawa geli, meronta-ronta dalam gendonganku. Ayah dan Ibu yang mendengar, langsung keluar rumah dan men
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (20)Sepanjang perjalanan, aku dan Ayah tak bicara apa-apa. Sunyi, hanya dengung AC dan mesin mobil yang halus terdengar. Ayah bahkan lupa msnyetel musik atau murottal seperti kebiasaannya jika bepergian. Peristiwa hari ini telah membuat hati dan perasaan kami berkecamuk.Tanpa kuminta, semua kenanganku bersamanya hadir di kepala. Aku dan Ivan berkenalan hanya enam bulan sebelum menikah. Aku yang anak rumahan dan tak punya teman lain selain Trisha, Angga dan Elena, tak pernah mencari tahu seperti apa dia. Yang kulihat adalah apa yang dia tampilkan di depanku. Lelaki tampan, mapan dan sopan. Aku langsung jatuh cinta dan menerima lamarannya, merasa yakin bahwa hidupku akan bahagia. Sampai masa bulan madu lewat dan dia mulai sering bepergian keluar kota. Setahun kemudian, beberapa hari sebelum ulang tahun pernikahan kami yang pertama, dia pulang membawakanku kejutan yang tak akan pernah aku lupakan, seorang bayi.Benarkah ini semua salahku? Kepergian Ivan deng
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (21)Aku melompat turun dari mobil, berjalan cepat, menyeruak kerumunan pejalan kaki, para pelayat yang kebanyakan hanya ingin tahu kasus kematian yang menghebohkan itu, dan berharap mendapat secuil berita. Karena kasak kusuk mereka kudengar dengan jelas, bahwa mereka sesungguhnya tak mengenal Ivan. Tapi aku tak peduli. Tujuanku adalah mencari lelaki tadi.Lelaki dengan pakaian serba hitam yang menyelinap diam-diam, keluar dari area pemakaman dan pergi tanpa menoleh.Namun, dia sudah tak ada. Satu persatu pelayat yang membawa kendaraan mulai pergi. Tinggal beberapa saja yang berjalan kaki, yang sepertinya penduduk sekitar makam. Aku menghela napas panjang, mengusap dada, berusaha menentramkan debaran jantung yang memukul-mukul dada. Kenapa aku seperti mengenalnya? Dan kenapa kehadiran sosoknya itu membuat jantungku berdebar kencang."Ada apa?"Ayah sudah ada disisiku. "Aku … aku sepertinya melihat dia yah.""Dia siapa?""Ivan."Ayah mengerutkan keningnya.
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (22)Entah bagaimana mulanya, Banyu langsung saja akrab dengan dua sahabatku. Sejak hari itu, beberapa kali kudengar mereka bertemu di kota, karena ternyata kebetulan, rumah Banyu tak terlalu jauh dari rumah Angga. Pembangunan Vila milik orang tuanya sudah selesai, dan dia hanya datang sesekali untuk liburan saja.Aku sendiri tetap menjaga jarak. Bagaimanapun, aku masih dalam masa iddah. Hari-hari lebih banyak kugunakan untuk menulis. Dalam keadaan hening, dan sedikit tertekan, tulisanku ternyata berpengaruh. Kisah thriller yang sedang kugarap menjadi hidup. Tapi sungguh, aku berharap bahwa di dunia nyata, hidupku jauh dari horor.Sampai hari itu tiba.Trisha datang ke rumah dan langsung menarikku masuk ke ruang kerja, sebuah ruangan kecil dengan pintu penghubung ke kamar pribadiku di lantai atas. Karena aku tak mau Cia terganggu dengan suara keyboard, namun aku ingin dia tahu kalau aku ada di dekatnya saat dia tidur, maka Ayah meminta tukang membuat pintu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (23)PoV IVANDua bulan lebih beberapa hari yang lalu, entahlah, aku lupa tepatnya. Bahkan aku telah nyaris kehilangan orientasi waktu seandainya Mama tak datang disaat yang tepat.Kala itu, aku keluar dari apartment Bu Ristie dengan hati bungah. Uang lima ratus juta ada di rekeningku. Di dalam lift, aku mentransfer kembali uang itu ke rekening Mama, Satu-satunya tempat menyembunyikan uang yang aman, karena aku yakin, Bu Ristie tidak akan membiarkan aku pergi begitu saja membawa uangnya. "Uang apa ini Ivan? Banyak sekali?""Simpan uang itu, Ma. Letakkan ATM-nya di kotak sepatu samping rumah dan jangan ada yang tahu. Bahkan, Diska dan Papa juga tak boleh tahu.""Ivan … Mama takut … "Mamaku, meski kemarin sempat menolakku tinggal di rumahnya, itu karena Gita. Mama tak mau tetangga bergunjing bahwa aku membawa perempuan lain ke rumah tanpa dinikahi. Lagipula, perempuan matre itu, langsung ambil langkah seribu saat tahu aku tak punya apa-apa lagi setelah semu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (24)PoV AYARATiga bulan telah berlalu, dan akhirnya masa iddahku selesai juga. Selama ini, suasana terasa amat tenang. Tak ada gangguan. Tak ada siapapun yang mengusik hidupku dan Cia. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku merasa bahwa suasana yang tenang ini menyimpan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.Kini, kesibukanku selain menulis adalah mengantar dan menjemput Cia ke sekolah taman kanak-kanaknya. Meski ada Mbak Atik di rumah, aku tetap melakukan sendiri segala urusan tentang Cia. Mandi, memakaikannya baju, mengantar dan menjemput sekolah, belajar dan bermain di rumah. Mbak Atik sampai mengeluh dia tak punya kerjaan."Saya pulang ke pantai aja deh. Disini nggak ada kerjaan," keluhnya."Emang kalau disana banyak kerjaan ya, Mbak? Ngintip tetangga sebelah."Mbak Atik tertawa."Tetangga sebelah kan kosong, orangnya disini kok, dikota.""Eh, yang bener?""Tuh kan, Mbak Aya penasaran."Aku mencubit pinggang Mbak Atik. Maksud hati menggodanya, malah ak
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (25)Kabar menyedihkan tentang siapa orangtua kandung Cia, membuat seisi rumah terdiam. Aku mempercayai cerita Jelita karena sempat bertanya langsung ke pihak rumah sakit tentang peristiwa kematian suami istri itu. Dan karena peristiwanya cukup menggemparkan, banyak pegawai rumah sakit yang mengingatnya."Lalu kabarnya, bayi itu dibawa pulang oleh seseorang yang mengaku sebagai kerabat Ayahnya. Bayi malang yang cantik sekali. Saya ingat, ada tanda lahir berbentuk bintang di pergelangan tangannya sebelah dalam."Dan kini, aku menatap anakku yang tertidur pulas, memandangi bintang kecil berwarna kehitaman yang ada di sebelah dalam pergelangan tangan kirinya. Air mataku menetes membayangkan di hari kelahirannya, dia langsung menjadi anak yatim piatu. Namun, sebagian sisi hatiku lega. Dia tak punya hubungan apapun dengan Ivan dan keluarganya.Aku teringat tatapan Mama yang aneh saat melihat bayi itu dulu. Beliau sama sekali tak mau nyentuh, apalagi menggendong
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (26)PoV IVAN"Jangan muncul dihadapan Ayara. Dia curiga kalau kau masih hidup, Ivan!"Suara panik Mama membuatku terkejut."Apa maksud Mama?"Aku meremas kertas pembungkus nasi, dan melemparkannya ke sudut ruangan, bergabung dengan sampah lainnya. Karena hanya beberapa kali diobati ke sangkal putung, kakiku belum pulih benar. Aku tak bisa datang kesana tepat waktu karena takut ada orang yang mengenaliku. Padahal, seluruh dunia hanya boleh tahu bahwa aku sudah mati."Ayara datang ke rumah dan mengatakan pada Mama bahwa tes DNA jenazahmu dengan Cia tidak cocok. Dia pikir, itu bukan kau.""Bagaimana dia melakukan tes DNA?" tanyaku geram. Ayara, adalah salah satu wanita yang paling tak bisa kutebak. Dulu, aku pulang membawa bayi dalam keadaan takut. Kupikir tadinya dia akan menolak dan membuang bayi itu entah kemana, mungkin ke panti asuhan. Tapi ternyata, dia menerima Lucia dengan mudah, menyayanginya sepenuh hati, tapi, mengambil kesempatan pada kata-kata