" Jadi ini lontar Anarghya itu?" Tanya Maharaja Rakai Garung. "Benar yang Mulia." Jawab Nagarjuna dan Karuna Sankara, bersamaan. " Dan ini adalah kotak berisi kepala Mpu Pugat Liwung, Rakai Walaing." Nagarjuna menyerahkan sebuah kotak lagi. Rakai Garung membukanya disaksikan hampir semua Mahamentri dan pejabat yang hadir. Wiku Wirathu dan Sasodara menunduk sedih. Dan beberapa pejabat wangsa Sanjaya mulai menitikan air mata. Entah esok giliran siapa dan Rakyan yang mana akan menemui nasib yang sama dengan Mpu Pugat Liwung. "Bagus. Jadi tidak ada lagi duri di dalam daging yang bisa merongrong keamanan Medang. Dan untuk mengisi kekosongan pemerintahan Sima Walaing akan dipegang oleh Mahamentri I Halu, dengan catatan dalam waktu dekat harus sudah ada minimal calon pendampingnya. Karena Seorang Rakyan harus memiliki keturunan." Kata Maharaja Rakai Garung. Bagai disambar petir di siang bolong saat mendengar keputusan Maharaja itu. Namun Pangeran Balaputeradewa langsung berlutut mengha
Megarana, Laturana dan Pawana mengendap-endap diantara tembok penjara istana Walaing. Wajah mereka ditutup dengan topeng dari tembaga. "Kau yakin, Gusti Ranuhmaya dan Gusti Mpu Kumbhayoni ditahan di sini?" Tanya Megarana. "Gusti Mpu Kumbhayoni yang ditahan di sini. Tetapi Gusti Ranuhmaya, aku tidak bisa memastikannya. Saat dibawa beliau terluka sangat parah." Jawab Pawana. "Latu, kau bisa melompati tembok yang setinggi itu tidak?"Tanya Megarana "Ah, Mega. Kau kan tahu badanku berat. Mana bisa aku melompati itu. Itu sebabnya aku tidak pernah berhasil menguasai ilmu Brama Muluk."Katanya dengan wajah memelas. "Ah dasar gembul. Tahunya makan saja. Kurangi makan celeng hutan, itu yang membuatmu tidak bisa menguasai ilmu Brama Muluk. Sekarang kau tunggu disini, karena hanya itu yang bisa kau lakukan. Sementara aku dan Megarana akan mencoba membebaskan Mpu Kumbhayoni dan kawan-kawan kita yang lain jika mungkin." Sahut Pawana kesal. "Benar. Kau beri tanda dengan suluk geni jika ada baha
Rukma membawa Gaurika ke sebuah desa kecil di tepi hutan yang jauh dari hiruk pikuk perpolitikan kerajaan. Ia membeli sebuah rumah yang nyaman dan menyamar sebagai saudagar dan istrinya yang sedang sakit. Rukma merawat Gaurika semampunya dan hanya bisa meminta pertolongan tabib desa yang juga kebingungan dengan penyakit Gaurika. "Aku tidak bisa membiarkan kau terus seperti ini Putri Gaurika. Aku akan mencari pertolongan. Lukamu cukup parah dibandingkan luka Putri Ganika karena kau menerima langsung pukulan Kakang Jentra." Kata Rukma "Uuuhhhuuukk.......uuuhhhuuk."Gaurika terbatuk dengan mengeluarkan darah segar dari sudut bibirnya. Rukma mengambil air dan lap bersih. Perlahan ia mengusap dan membersihkan darah di bibir Gaurika. Ia menahan air matanya melihat Putri yang kesakitan itu. "Jangan memanggilku Putri. Aku sudah bukan putri seorang Rakyan lagi. Panggil aku dengan namaku saja Rukma." Kata Gaurika. "Baiklah. Namun kau harus segera mendapatkan pengobatan yang benar, Gaurika.
"Ada apa?" Tanya Wiku Sasodara pada Amasu saat acara perhelatan makan dimulai. Amasu menunjukan surat Rukma. Wiku Sasodara kemudian menarik lengan Amasu dengan cepat untuk mencari tempat yang aman. "Jangan katakan apa-apa. Setelah ini kita temui Rukma."Kata Wiku Sasodara. "Tapi...?" Amasu mencoba mencegah Sang Wiku. "Aku tidak peduli. Aku harus menyelamatkan anak itu. Ia berbeda dengan Jentra. Anak itu lebih memiliki kemurnian hati daripada kau dan Jentra." Kata Wiku Sasodara. "Tapi guru.....Pangeran Balaputeradewa dan Maharaja Samarattungga sudah memutuskan...."Amasu masih mencoba memperingatkan gurunya. "Aku tidak peduli. Pangeran juga tidak peduli bukan dengan perasaanku, mengapa aku harus memikirkannya. Biarlah di rasakan nanti karma perbuatannya. Kita hanya belum tahu apa yang akan dia terima, bukan?" Wiku Sasodara berargumen. "Tadi guru bilang kepada Rakai Panaraban untuk tidak berurusan dengan orang-orang Walaing. Kenapa sekarang guru malah mau menyelamatkan putri yang mu
Sebagai pengantin baru, Jentra memboyong keluarga kecilnya ke rumahnya. Namun dengan beberapa perubahan karena Candrakanti menolak menemukan jejak Sriti di tempat itu. Jentra mengikuti apapun yang dikatakan Candrakanti asal itu membuat hati istri cantiknya itu bahagia. Jentra sebenarnya juga ingin membawa ibu dan paman mertuanya, namun keduanya menolak dengan alasan rumah Candrakanti yang lama harus juga ada yang mengurusnya. "Ayah...ayolah, aku ingin berkuda." Rengek Gyandra putri semata wayang mereka. "Tentu. Sabarlah sedikit. Ibumu sedang membuatkan bekal untuk kita. Sayang bukan kalau tidak dimakan." Kata Jentra dengan sabar. Akhirnya setelah sekian lama, ia benar-benar bisa memeluk putrinya tanpa perasaan takut atau ragu. Ia menarik Gyandra ke pangkuannya. "Kemarilah. Biar ayah mengepang rambutmu. Kau cantik. Mirip dengan ibumu. Kelak aku tidak akan membiarkan para pria itu mendekatimu." Kata Jentra "Lalu, kau akan menjadikannya Bikkuni?" Sahut Candrakanti sambil meletakan k
Jentra merasakan kehangatan pelukan istrinya dan perlahan-lahan kemarahannya mereda. Ia mencium Candrakanti perlahan lalu kembali menangis di pundak istrinya."Mengapa orang jatuh cinta itu selalu bodoh?" Tanya Jentra"Karena cinta itu adalah perasaan paling aneh yang dimiliki manusia, Kakang. Kau tidak bisa menentang Rukma sekarang. Cinta yang begitu besar, kekuatannya melebihi air dan api."Kata Candrakanti"Iya, kau benar. Aku hanya takut kehilangan Rukma. Hanya dia yang menemaniku saat aku kehilangan semuanya. Itu sebabnya aku tidak rela jika melihatnya harus mati di usia semuda itu hanya untuk perempuan yang tidak layak untuknya."Kata Jentra."Layak dan tidak layak hanyalah cara pandang kita saja terhadap sesuatu, Kakang. Seperti diriku? Putri seorang perampok, hidup dihutan, tanpa bekal dan kepandaian apapun. Namun seorang Panglima besar Medang sepertimu toh tetap menjatuhkan pilihannya padaku. Hingga bicara seperti itu di depan wiku Sasodara."Kata Candrakanti"Bicara apa?"Tanya
Rakai Panaraban menerima kedatangan Mpu Kumbhayoni dan beberapa pengikutnya dengan tangan terbuka. Namun beberapa abdinya sendiri mulai berbisik-bisik cemas, mengingat orang-orang ini adalah buronan kerajaan Medang. "Gusti, apa tidak terlalu berbahaya menerima mereka di sini. Pasukan sandi Medang pasti sudah mencium kemana mereka akan pergi." Kata Tumenggung Sudana. "Tapi ke mana mereka bisa pergi, Sudana? Mereka saudara kita. Sesama wangsa Sanjaya."Kata Rakai Panaraban. "Benar dimas Tumenggung Sudana. Kasihan mereka, jika kita bersikap begitu dingin. Apakah kita harus mengusir mereka? Apalagi kangmas Panaraban dan Mpu Kumbhayoni adalah saudara sepupu." Kata Dyah Meitala. "Saya tahu, Gusti ayu. Namun keberadaan mereka membahayakan sima kita. Bagaimana jika kemudian Rakai Garung atau Maharaja Samarattungga kemudian menyalahkan kita dan menghancurkan Sima kita. Padahal tempat ini adalah perlindungan terakhir wangsa Sanjaya yang masih benar-benar melestarikan peninggalan mendiang Mah
Ganika begitu gelisah ketika ia tanpa sengaja mendengar percakapan bahwa ayahnya meninggal di dalam tahanan dan telah diperabukan. Kesedihan mencengkeram begitu dalam sehingga ia tidak menyadari ketika dirinya diperhatikan oleh Mahamentri I Halu. "Gandhali, mengapa kau begitu gelisah? Adakah yang menganggu pikiranmu?"Tanya Pangeran Balaputeradewa. Ganika yang masih belum terbiasa dengan nama baru yang diciptakannya sendiri, meskipun mendengar ia tidak terlalu memperhatikan. Sehingga Pangeran Balaputradewa akhirnya menarik sedikit selendang Ganika dengan sayang. Ganika yang tersendat jalannya tiba-tiba tersadar. "Ohh...!"Teriaknya lirih. "Kau sedang memikirkan siapa? Sampai kupanggil-pun kau tidak mendengarkannya?"Tanya Pangeran Balaputeradewa. ""Aduh....maaf beribu maaf, Gusti. Hamba tidak memperhatikan kedatangan paduka. Saya sedang berpikir untuk kembali ke tempat asal saya, Gusti. Tetapi saya masih berpikir panjang karena setelah dirampok saya tidak punya ongkos untuk pulang."