Aku menatap Daryan penuh tanya. Lalu kulihat dia menyunggingkan sebuah senyum, seperti sebuah kekecewaan."Aku tidak ingin terus menyakitinya. Seburuk apa pun perangainya, dia tetap ibuku," sahutnya."Berhenti menghukum dirimu sendiri, Daryan. Jangan lagi bertingkah gila. Berhenti menghukum diri sendiri. Semua bukan salahmu."Aku masih terperanjat heran. Hanya bisa diam menyaksikan dua kakak beradik itu saling bersahutan.Ada apa dengan keluarga mereka? Adakah skandal yang terjadi hingga orang luar sepertiku tak boleh tahu? Inikah yang dimaksud Ren dengan keluarga Daryan yang tak wajar itu?Keluarga macam apa ini? ~~~~Jadi seperti itu kehidupan Daryan sebenarnya. Menolak posisi dan jabatan yang diberikan oleh Ayahnya demi menghargai perasaan ibunya. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Terlebih Daryan yang hanya sebagai korban, meski seluruh keluarga bersedia menerima kehadirannya.Aku menangis sendiri di kamar sempit ini setelah Daryan mengantarku pulang dan menceritakan s
"May Boba?" Seorang pemuda tiba-tiba muncul dan menegurku dengan menunjuk standing banner di depan booth container. "Sepertinya kau salah menuliskannya. Harusnya tidak pakai huruf A."Aku tersenyum mendengar kritikan darinya. Pembeli yang satu ini pasti berpikir bahwa kata 'May' yang aku pakai, megandung arti kepemilikan dalam bahasa Inggris."May itu, diambil dari namaku. Ma-ya." Aku seperti guru SD yang sedang mengajari muridnya membaca."Maya? Namamu Maya?" Dia mengulangi ucapanku. Aku mengangguk. Kemudian pria berwajah rupawan itu tersenyum, mengulurkan tangannya. "Aku Daryan." Itulah pertama kali aku dan Daryan bertemu. Pria ramah tamah yang selalu bertanya banyak hal padaku. "Usaha ini milikmu? Aku pikir kau hanya pekerja.""Berapa usiamu? Harusnya kau bekerja dengan gaji tetap saja. Bagaimana jika dalam satu hari tak ada satu pun pembeli.""Kau kuliah jurusan apa? Bagaimana kau bisa tahu untung dan rugi usahamu ini?""Seharian sampai malam kau sendiri yang menjaga. Kenapa
"Kau mendengar semuanya?" Napasku bagai terengah saat bertanya. Dia masih melongo, kemudian mengangguk. Aku memejamkan mata.Oh, shit!Kekesalanku bertambah mana kala Anyelir menagih nomor ponsel yang dia minta. Merasa tidak sabaran ingin berurusan dengan si pria mata keranjang itu."Aku tidak punya," sahutku."Kalau begitu kau bisa berikan alamatnya?"Oh, ya ampun. Andai aku punya alasan untuk tak memberi tahunya. Tak adakah orang-orang di sekitarku yang waras walau hanya sebentar saja?*Aku kembali pulang dengan berjalan kaki. Seperti biasa, kembali merasa seseorang sedang mengikuti. Aku menarik senyum di lengkungan bibir. Merasa tak ada yang perlu kutakutkan lagi. Ren hanya mengantarku pulang saat sedang tak bersama Daryan. Dia pasti mengawasi dari kejauhan. Pasti itulah yang dia lakukan selama ini. Aku sengaja memperlambat langkah, berharap dia datang dan menghampiri. Tapi sepertinya dia tak berniat melakukannya. Aku tetap jalan sendiri hingga sampai ke kamar. Aku kembali mengi
Daryan menatap aku dan Ren secara bergantian. Ada rasa curiga tersirat dalam matanya. Membuat aku merasa bersalah dan juga takut. Bagaimana seandainya dia benar-benar tahu hubunganku bisa sedekat itu dengan Ren, meski tanpa sengaja.Aku tak ingin Daryan terluka. Cukup luka itu karena keluarganya saja."Memangnya apa yang terjadi?" Aku berusaha mengelak. "Kau sudah tahu kalau dia yang selalu menagih hutang padaku."Daryan menatap Ren secara seksama. Mengamati wajah Ren yang selama ini tidak pernah dia lihat dalam jarak sedekat ini sebelumnya. Dengan topi yang berserakan entah kemana.Entah kenapa Ren akhirnya mau menunjukkan diri. Padahal selama ini dia hanya datang saat Daryan sudah pergi."Kau pulanglah!" Aku menoleh ke arah Ren. "Kenapa mencampuri urusan kami? Aku bisa selesaikan sendiri urusanku."Ren sekilas menatapku, masih memegangi bagian tubuhnya yang terasa sakit. Kemudian mengalihkan pandangan, tak mau menatapku lagi.Dia menarik napas kasar. Lalu berjalan begitu saja melewa
"Jangan sampai menyentuh jaketmu!" Aku mengingatkan, melihat tubuhnya yang masih basah akibat siramanku tadi.Dia berdecak, kemudian mengangkatnya tinggi ke atas kepala."Dimana kamarmu?" Dia melenggang begitu saja memasuki rumah. "Itu milik ayahku.""Dimana?"Aku membukakan pintu kamar agar dia leluasa untuk masuk. Tak lama rintik hujan terdengar, Ren bergegas keluar untuk memasukkan kasur lainnya. Sedang aku berlari memasukkan kursi untuk menjemur tadi, dan juga menyeret meja kembali ke teras.Air dari langit kini bagai tercurah. Ren berlari kecil menyorong motornya hingga ke teras agar tak basah."Kau tidak pulang?" tanyaku, yang kini berdiri di depan pintu."Kau tidak lihat di luar hujan?""Tapi kau sudah terlanjur basah.""Kau ini memang tidak punya hati. Pernahkah aku mengusirmu saat kau datang? Bagaimana jika aku demam lagi. Kau akan kembali bertanggung jawab?"Hish!Aku memutar bola mata, tak menjawab. Lalu masuk ke dalam. Dia mengekor tanpa kupersilakan. Aku memasuki kamar
"Bicara apa, kau?" Aku langsung melotot mendengar ucapannya. "Jangan sembarangan memfitnah orang. Untuk apa aku cemburu pada padanya?" "Lalu kenapa kau marah-marah?" Matanya masih terpicing, tak percaya."Itu karena aku tahu siapa kau. Kau hanya pria mata keranjang berotak mesum." Aku kembali memberi alasan."Benarkah? Memang apa yang sudah kulakukan padamu saat kau bermalam di kamarku, ha? Apa aku semesum itu?""Kenapa kau selalu mengungkit-ngungkit tentang malam itu?" Aku langsung teringat saat dia hampir mengatakannya pada Daryan tadi. Seolah hal tersebut selalu saja membekas dan terus berada di pikirannya."Aku hanya membandingkan. Jika aku seperti yang kau tuduhkan, kenapa kau bisa selamat dariku malam itu?""Itu karena kau sedang sakit dan tak punya tenaga. Kau terlihat lemah dan juga cengeng," ejekku. Dia terdiam. Sepertinya tak senang saat aku merendahkannya seperti itu."Benarkah?" Senyum seringai kini tersungging di bibirnya. "Bagaimana kalau sekarang?"Dia maju selangkah m
Dia semakin berani tuk mendekat, degub jantungku kian tak terkendali, hingga akhirnya aku memutuskan untuk berpaling. Kini wajah itu hanya bisa menyentuh indera pendengaranku."Kenapa?" Desah suaranya berbisik tepat di telingaku, bernada kecewa."Aku punya pacar." Jawabku dengan jujur.Tarikan napas kasarnya terdengar jelas. Semakin memburu, seperti menahan sesuatu."Kalau begitu putuskan!" ucapnya tegas.Aku kembali menoleh dan menantang mata tajam itu."Kau gila. Aku tak mungkin melakukannya." "Aku tak mau menjadi yang ke dua. Apalagi hanya sebagai simpananmu. Hubungan kita harus jelas. Kau harus meninggalkannya.""Jangan memaksa, Ren. Tidak semua bisa terjadi sesuai keingananmu. Aku juga tak mau mengkhianatinya.""Kau yang terlalu memaksakan diri. Untuk apa kau bersamanya, kalau kenyataannya kau juga menyukaiku."Mataku membesar mendengar ucapannya. Beginikah caranya mengungkapkan perasaan? "Kau terlalu percaya diri, Ren. Aku bahkan tak yakin dengan perasaanku. Kau jangan mengada
Daryan melajukan mobil ke jalan. Mengenakan masker untuk menutupi separuh wajahnya yang masih membengkak akibat perkelahian.Usai sarapan di rumah tadi, kami langsung menuju ke tempat jualan. Tak ingin membuang-buang waktu kembali ke kamar kos, karena di rumah ayah masih tersisa beberapa pakaian.Sesekali aku memandangi separuh wajah itu. Seperti ikut merasakan kesakitannya."Jangan melihatku terus," protesnya."Kau tak harus menyembunyikanya dariku, Yan. Kau masih terlihat tampan. Dan tentu saja terlihat lebih lelaki." Aku mulai merayu, menyenangkan hatinya."Jangan memancingku, Maya. Aku bisa saja memutar arah dan mencari hotel terdekat di sekitar sini.""Hish!" Aku langsung menepuk pahanya. "Kenapa semua pria berpikiran mesum sepertimu. Bukan lelaki seperti itu yang kumaksud." Terdengar suara tawa dari mulutnya, sembari meraih tanganku yang masih menempel di paha itu, kemudian membawanya dalam genggaman. Aku tersenyum tipis, merasa sudah memantapkan hati.Aku memilihnya.*Sampai