"Apa maksudmu?" Aku mengernyit.Daryan kembali menatap Ren dengan nyalang. Seolah tak sabar ingin segera mencabik-cabiknya untuk membalas rasa sakit yang dirasakannya."Aku akan membuat laporan tindakan penganiayaan. Dua kali kau menyerangku. Dan aku sudah punya bukti foto dan juga visum," ucapnya penuh percaya diri. "Lepaskan Maya, atau kau akan berurusan dengan hukum!"Deg!Jantungku hampir berhenti seketika. Membuat tungkai kakiku kini gemetaran. Aku sedikit mendongak memandang wajah Ren. Membayangkan kalau kekasihku ini akan meninggalkanku, karena tak ingin masuk penjara."Jangan lakukan itu, Yan. Kau tahu Ren hanya ingin membelaku. Kau jangan berlebihan!" Aku berucap penuh penekanan."Kenapa kau terkejut? Preman seperti dia pasti sudah sering keluar masuk penjara." Daryan tampak penuh percaya diri. Merasa menang.Ren masih diam terpaku. Tak bereaksi. Membuatku semakin frustasi. Apa kini dia merasa terpojok? Atau takut? "Ren, minta maaflah!" perintahku. "Katakan kalau kau hanya
Percuma saja aku menghujani Ren dengan ciuman liar malam itu, nyatanya dia tetap bungkam tentang apa yang dia ucapkan pada Daryan. "Itu urusan lelaki," bisiknya di sela-sela napas yang memburu."Tahu begitu, kubiarkan saja kau pulang lebih cepat." Aku kembali merengut."Sudah terlambat. Terima saja hukumanmu."*Hampir seminggu sudah sejak kejadian itu. Daryan memang tak berani lagi untuk datang menemuiku. Atau mungkin memang sudah menyerah, dan melupakanku.Aku tersenyum getir. Tak menyangka hubungan kami yang singkat, harus berakhir dengan cara seperti ini. Entah aku harus menyalahkan diri sendiri, atau mungkin memang takdir yang berkehendak. Ditambah lagi status sosial yang mau tak mau akan memisahkan kami seperti yang selalu diucapkan oleh ibunya.Namun tak bisa dipungkiri, banyak hal baik dan menyenangkan yang selalu kuingat saat bersamanya. Dia pun pernah membuatku bahagia dan begitu menggilainya. Tapi lagi-lagi ini yang terbaik. Aku dan dia tak lagi saling berhubungan. Yang
Hari beranjak sore. Aku kembali duduk di singgasana kebesaranku. Meski hanya sebuah kursi plastik tempatku bersandar. Tak ingin larut dalam pikiran tentang Daryan. Dia baik-baik saja bersama keluarga ayahnya. Mungkin pun merasa sangat bahagia, hingga lupa pada ibunya, dan juga aku dulu saat masih menjadi kekasihnya.Dalam kesendirian, kulihat seseorang berpakaian rapi dengan setelan jas datang menghampiri. Berdiri sambil memperhatikan standing bannerku. Wajah itu tampak tak asing. Hanya saja aku lupa pernah melihatnya dimana."Pesan apa?" Aku menjulurkan daftar menu padanya.Dia melirik benda itu, lalu mengalihkan pandangan padaku."Kau yang bernama Maya?" Aku terkejut mendengar pertanyaannya. "Kau siapa?" "Aku Bara. Kakaknya Daryan."Bara? Aku langsung berjalan keluar, menghampirinya.Benar sekali. Pantas saja wajah itu seperti pernah kulihat. Aku menandai sesosok itu saat dia menjadi pengantin di pesta mewah itu. Mau apa dia kemari?"Mana Daryan? Apa sekarang kalian tinggal ber
Ren kembali mengantarku pulang dengan berjalan kaki, setelah sebelumnya memindahkan motor ke ruko yang tak berapa jauh dari tempatku berjualan. Dia bilang terasa lebih romantis. Tak perlu teriak-teriak jika ingin bicara, seperti saat berboncengan di atas motor. Lagi pula perjalanan terasa lebih jauh, jadi bisa lebih lama menggenggam tanganku."Awas saja kalau ada kasur ataupun kipas angin yang kau sebutkan kemarin, ya. Aku akan melemparnya keluar saat ini juga. Kau mengerti?" Aku memberi ancaman.Dia hanya berdehem, mengiyakan.Bukan apa-apa, kamar kos yang aku tempati sekarang sudah memiliki fasilitas kasur dan juga lemari kecil dengan dua pintu. Rasanya tak mungkin lagi aku memasukkan barang-barang seperti itu dengan luas wilayah kamar yang hanya tiga kali tiga saja.Belum lagi token listrik yang harus aku bayar di luar sewa bulanan. Membuatku berpikir berkali-kali jika ingin membeli barang elektronik, meski hanya sebuah hairdryer. Bisa menghidupkan dispenser dan setrikaan saja sud
"Memangnya ada apa denganmu? Kau pikir orang tuaku sama dengan keluarga mantanmu itu, ha?"Aku kembali tertunduk malu. Ada saja jawabannya yang membuatku merasa... dihargai.*Pagi-pagi sekali aku membangunkannya yang masih tertidur di atas sofa, saat mengajakku bermalam di kamarnya. "Ayo sarapan!"Sepotong roti bakar dan segelas susu coklat sudah kubuatkan dari dapur di lantai bawah, saat Beni masih tertidur pulas di kursi pengunjung.Dia mengagguk."Aku benci pria berbulu," ucapku. Dia tertawa kecil, sambil memandangi wajahku yang kini begitu dekat saat mencukur rambut halus yang mulai tumbuh memenuhi rahang kokohnya."Bukannya aku seperti Logan di film X-man?" ucapnya bangga."Siapa yang bilang? Mantan pacarmu?" sindirku."Jangan suka memancing. Kau tampak mengerikan saat cemburu.""Tapi kau lebih terlihat mirip Sun Go Kong si kera sakti." Aku tergelak."Kau semakin berani saja mengejekku, ya!" Dia menarik pinggangku agar semakin mendekat."Hati-hati, Ren. Wajahmu bisa terluka."
Ren benar-benar terlihat marah saat aku tak mengatakan yang sebenarnya tentang kedatangan Bara dan juga ibunya Daryan. Dia tetap meradang, meski sudah kujelaskan bahwa aku tak ambil pusing dengan urusan keluarga mereka.Aku kembali bertanya, mungkin apa yang dia ucapkan malam itu ada hubungannya dengan semua ini. Tapi lagi-lagi dia membantah. Dia hanya membalikkan fakta, bahwa Daryan yang lebih dulu melakukan ancaman. Hingga mau tak mau dia juga menggunakan cara yang sama.Hanya saja, Daryan lebih merasa ketakutan, tak seperti Ren yang selalu tampak bersikap tenang mengatasi semua masalah yang dihadapi. Seolah preman seperti dia kebal dan tak akan tersentuh oleh hukum."Jangan berhubungan dengan dia ataupun keluarganya lagi. Sudah ada aku yang selalu bersamamu, kau tahu?" ucapnya seperti takut kehilangan."Kau tidak perlu khawatir, Ren. Aku sudah memilihmu. Kau tak percaya padaku?"Suara panggilan whatsapp kembali berdering dari nomor yang sama, tuk yang ke sekian kalinya. Ren membua
Aku benar-benar frustasi saat Bara meminta hal yang bukan-bukan. Seenaknya saja memberi perintah dengan dalih akan mengganti seluruh penjualanku hari ini agar bisa ikut dengannya.Andai dulu hutangku masih banyak, aku pasti akan melompat untuk ikut tanpa perlu berpikir panjang. Sayang sekali, aku bukan lagi gadis murahan yang rela melakukan apa saja demi uang."Aku tidak mau!" jawabku tegas."Jangan sok jual mahal. Aku bukan Daryan yang punya banyak waktu untuk membujukmu," balasnya tak mau kalah."Lalu kau pikir aku akan termakan dengan bujukan suami orang?" "Kau...." Dia berdecih."Pergilah! Daryan tak akan pulang hanya karena aku bertemu dengan kalian."Kulihat dia menoleh ke arah kiri dan kanan. Seperti sedang mengamati siuasi sekitar. Beberapa pengguna jalan dan pengunjung apotik di ruko yang aku sewa halamannya, tampak berlalu lalang.Lalu senyum itu menyeringai."Bagaimana jika aku menyeret tubuh kurusmu itu secara paksa, ha?" Alisnya terangkat seperti menggoda."Kau itu bica
Ren masih menatap dengan ekspresi datarnya. Sementara Bara tampak kalut, menunggu jawaban.Tanganku masih setia merangkul lengan Ren. Andai rantang dari calon mertuaku ini tak berada di salah satu tanganku, aku pasti akan mendekap tubuhnya erat agar tak bisa bergerak.Meja dan kursi belum lagi ada untuk meletakkan benda berharga ibunya Ren. Bahkan booth container belum sempat terbuka. Lalu kemana harus kuletakkan makan siangku ini agar bisa bergerak lebih leluasa?Lagi-lagi aku belum sepenuhnya percaya pada janji Ren. Tangan besar itu bisa saja langsung menarik kerah kemeja Bara dengan kasar. Atau kaki jenjangnya langsung mendarat di perut pria yang tadi katanya sibuk, tapi sampai sekarang masih berada bersama kami.Pria barbar di sampingku ini tak henti-hentinya membuatku jantungan. Menyelidiki keluarga Daryan dengan begitu detil, hanya karena ingin menunjukkan bahwa keluarga itu tak baik untukku."Kau tidak perlu tahu siapa aku," ucap Ren datar. "Menjauh dari kehidupan gadis-ku, ma