"Kau benar-benar marah?" tanyaku lagi. "Aku jadi takut makan masakan ibumu. Padahal aku sangat lapar." Aku membujuk dengan suara semanja mungkin.Kudengar suara decih dari mulutnya, diikuti dengan tawa kecil. Lalu berbalik ke arahku dengan mata menyipit."Kau semakin handal dalam merayu," sindirnya."Tapi aku benar-benar lapar," rengekku. Dia kembali tertawa."Baiklah, lupakan masalah tadi. Ayo makan!"Aku langsung tersenyum senang. Merasa kalau Ren memang tak bisa berlama-lama marah dan mengabaikanku. Dia membantuku menyusun meja dan kursi untuk memulai jualan, memasang standing banner hingga membantu melayani saat para pelanggan datang membeli.Petanyaan demi pertanyaan tak penting, dia lontarkan demi meluapkan kekesalan perihal masalah tadi. Kenapa aku sampai terlambat dan baru buka jam segini. Belum lagi sarapan yang terlewat karena aku kembali tidur saat dia menelepon tadi pagi.Aku hanya mengucapkan kata maaf, dan maaf saja. Tak mau lagi dia merasa terbantah dan membuatnya kece
Aku menelan ludah saat melihat pria yang tadi membawaku sampai ke sini. Penampilannya begitu berbeda dari biasanya. Terlihat lebih kacau, meski masih tergolong normal.Rambutnya kini dibiarkan terurai, sedikit lebih memanjang. Tak seperti bagaimana penampilannya yang biasa, selalu terlihat rapi dan sempurna."Apa yang kau lakukan di sini, Daryan?" tanyaku membuka percakapan."Kau tak merindukanku?" Sorot matanya bagai hampa."Semua orang mencarimu. Kenapa selalu membuat khawatir semua orang?""Kau mengkhawatirkanku? Kupikir kau tak peduli lagi," ucapnya sinis.Aku hanya berdecak. Tak mau dia salah paham dan berpikir aku menantikannya selama ini."Selama ini kau ke mana saja? Kenapa masih bersikap seperti anak-anak. Dewasalah sedikit. Kau menempatkanku dalam posisi sulit."Matanya memicing. Mencari tahu apa maksud dari ucapanku.Aku tak segan-segan menceritakan tentang kedatangan ibu dan juga kakaknya yang kerap kali menyalahkanku. Menuduhku dalang dibalik kepergiannya."Apa ibuku masi
Kami sampai di kompleks perumahan elite. Aku mengikuti Daryan turun, dengan ponsel yang masih belum dia izinkan untuk kusentuh. Membiarkannya tetap berada di sana, dimana Daryan melemparnya tadi."Ini rumah siapa?" Lagi-lagi aku bertanya.Mengikuti langkahnya untuk menaiki teras. Rumah mewah bergaya modern dengan dua lantai yang membuatku takjub. Dengan hanya menekan beberapa digit angka, Daryan berhasil menekan handel dan membuka pintunya."Masuklah!" Daryan mempersilakan, kemudian mengikuti langkahku setelah merapatkan pintu."Selama ini kau tinggal di sini?" Dia mengagguk. "Sendirian?"Dia tertawa kecil, lalu melangkah melewatiku menuju ruang tamu."Duduklah!" Dia mengempaskan bobot tubuhnya ke atas sofa mewah berwarna cream.Mataku berkeliling menyisir setiap area ruangan. Memikirkan kenapa dia bisa tinggal di rumah mewah ini sendirian tanpa diketahui oleh keluarganya. Rasanya tidak mungkin mereka tidak mengetahui kalau salah satu aset mereka dipakai oleh Daryan.Tidak mungkin jug
Aku kembali menelan ludah mendengar ucapan Daryan. Sedikit merasa bersalah karena apa yang dia tuturkan memang benar adanya. Aku telah berpaling hati pada Ren, bahkan sejak saat aku masih menjadi kekasihnya.Namun apa yang bisa aku lakukan. Ren lebih banyak hadir dalam kesusahanku. Selalu datang di saat yang tepat saat aku membutuhkan. Tak kenal takut untuk membela, meski keselamatannya sendiri dia pertaruhkan."Maafkan aku, Daryan." Aku memberanikan diri berucap. "Maaf kalau hubungan kita harus berakhir seperti ini.""Berakhir?" Dia mengulangi ucapanku. "Kau benar-benar memilih orang itu ketimbang aku?"Dia seolah tak percaya."Kau lihat rumah ini? Ini terasa lebih nyaman ketimbang ruko kecil itu. Aku akan membawamu tinggal di sini. Aku bersedia mengorbankan ibuku demi bisa hidup bersamamu." Dia berucap penuh keyakinan."Apa maksudmu?" Dahiku mengernyit. "Ada apa dengan ibumu?""Kau tak tahu?" Matanya sayu memandangku. "Pria itu, orang yang kau sukai, memiliki rekaman CCTV saat ibuku
"Kenapa? Kau tak lagi menginginkan aku?" bisiknya."Lepaskan aku, Daryan. Kau jangan jadi seperti ini. Kita sudah putus." Aku memekik keras, sambil memukul dadanya. Masih berusaha melepaskan diri."Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Siang malam aku berharap masih bisa memelukmu seperti ini." Dia masih berusaha memaksa.Aku menangis, tahu tak akan bisa lepas jika hanya melawan. Aku memohon agar dia mengurungkan niatnya."Bukankah biasanya kau menikmati setiap sentuhanku, May? Seberapa banyak pria itu melakukan hal yang sama padamu. Aku akan menghapusnya agar kau bisa melupakan semua itu." Dia menyeretku kembali menuju sofa. Melemparku hingga terpental dan hampir terlentang. Lalu menjatuhkan diri ke atasku."Jangan, Daryan!" pekikku, memohon.Wajah itu terus menghujaniku dengan ciuman. Aku meronta hingga bibir itu kini memasuki dan membenam di ceruk leherku. Aku berteriak kuat, hingga gerakannya terhenti saat memandangi sesuatu yang baru saja ditemukannya."Luka apa ini?" Dia men
Aku kembali pulang ke kamar kos sendirian. Setelah Daryan memesankan taksi online untuk kutumpangi. Tak mau lagi kembali diantar pulang meski dia menawarkan diri. Rasa takut masih membayangi. Saat teringat wajah beringasnya sedang berusaha menguasaiku.Aku terperanjat, saat Ren sudah duduk bersandar di tepi dinding, di atas kasurku. Matanya melirik tajam penuh selidik."Kau dari mana saja?" Suara khas itu membuat tenggorokanku merasa tercekat menjawabnya.Tak menyangka akan bertemu dia secepat ini. Aku bahkan belum sempat mengarang cerita untuk kujadikan sebagai alasan."A- aku... ke... rumah... Anyelir," sahutku begitu saja dengan terbata-bata. Tak tahu nama siapa lagi yang bisa kusebut."Anyelir?" Matanya menyipit, seperti tak percaya.Aku mengangguk. Lalu berpikir sejenak. Menit berikutnya aku refleks bercerita bahwa Anyelir tiba-tiba menghubungi karena sedang butuh teman. Kukatakan wanita itu sedang bertengkar dengan ibunya, lalu butuh seseorang untuk mendengarkan segala keluh ke
"Bukan denganmu, Ren. Kau tahu sendiri apa yang terjadi padaku. Aku merasa seperti seorang paranoid yang selalu dihantui oleh orang-orang yang berurusan dengan ayahku.""Termasuk aku?"Tidak, tidak. Dia pasti akan salah paham jika tak kujelaskan. Bukan dengannya aku merasa seperti itu. Justru dialah yang kini membuatku merasa aman. Sesungguhnya, aku benar-benar seorang penakut, dan juga cengeng. Hanya saja karena tak ada yang mampu melindungi, aku jadi bersikap seperti itu. Aku merasa sendirian, hingga harus berlaku kasar hanya agar bisa menyelamatkan diri sendiri.Aku tidak sekuat itu. Sikap kasarku selama ini hanya karena aku tak ingin terlihat lemah di matanya."Aku takut pada orang-orang seperti Jo.""Sekarang kau tidak perlu cemas," ucapnya meyakinkan. "Ada aku yang akan selalu membuatmu merasa aman. Aku akan pastikan, bajingan itu tak akan pernah lagi mengganggumu. Sampai kapan pun."*Hari berlalu sejak kejadian waktu itu. Perlahan bayangan Daryan memudar, kemudian pupus. Hub
Aku menepis jemari Daryan yang kini sedang mengusap bekas lukaku. Merangkak mundur karena tak ingin lagi tangan itu menyentuh bagian apa pun dari tubuhku."Menjauhlah!" geramku, dengan gigi merapat.Matanya memandang sayu melihat sikap kasarku. Begitu merasa bersalah melihat aku yang kini terlihat kacau dengan rambut yang acak-acakan dan pipi yang basah."Maaf," lirihnya, dengan suara parau.Aku mengusap wajah dengan punggung tangan. Mencoba mengeringkan sisa-sisa air mata yang belum juga berhenti mengalir."Kau pasti sangat ketakutan," ujarnya lagi. "Bagaimana hal itu bisa terjadi?""Kau masih peduli?" Aku semakin menggeram."Kapan aku pernah berhenti peduli padamu." Suaranya semakin lirih."Kau ingin tahu?" sinisku. "Baiklah. Agar kau sadar, kekayaanmu tidak ada apa-apanya untukku, dibanding apa yang telah Ren berikan padaku."Aku menceritakan semua yang ingin dia dengar. Tak ada satu pun yang tertinggal. Meski semua sudah terlambat. Aku tak mau tahu apa yang kini dia rasakan. Entah