"ini beneran si Tarman?" tanya Ramli kepada lima orang lainnya yang hadir.
Mereka sudah berkumpul kembali di rumah Pak RT untuk membahas video yang dikirimkan Zuhal saat pencarian itu. Semua mata menatap Zuhal. Dengan berat hati, lelaki itu mengangguk. Rahangnya mengeras, wajahnya begitu tegang. Ada amarah yang melingkupi pria itu, ingin rasanya dia meninju muka Tarman."Iya, ini beneran si Tarman. HP Zuhal kan mahal, kameranya bagus. Mau lihat dari sisi manapun, ini si Tarman." Hendra menyahut.Pak RT mendesah, yang lainnya hanya diam."Biar saya bikin perhitungan sama anak ini, Pak!" kata Zuhal dengan amarah yang memuncak."Jangan, Hal!" balas Pak RT cepat. "Belum tentu dia pelakunya, kita harus menghadapi ini dengan kepala dingin!""Sudah jelas dia pelakunya, ngapain dia ke hutan dan berkelakuan aneh kayak gitu, Pak?""Mungkin dia lagi nangkap burung, atau apa gitu. Kan sering orang ke hutan buat berburu," sahut Pak RDea menghampiri lelakinya dan menyajikan teh hangat. Wanita itu melihat ada sedikit kegelisahan di wajah suaminya. Dea tahu, oleh sebab itu dia membuatkan teh agar suaminya tenang.Zuhal duduk di sofa ruang tamu dan menyeruput teh yang Dea berikan. Sementara itu itu Dea memijit lembut kepala suaminya. Zuhal terpejam, merasakan lembutnya tangan sang istri di setiap sentuhan."Ada apa, Bang?" tanya Dea.Zuhal menengadah dan menatap istrinya yang cantik. "Pusing, banyak pikiran," kata pria itu.Zuhal sebenarnya ingin bercerita tentang kaitan Tarman dan pencarian di lereng bukit itu, tetapi dia teringat pesan Pak RT kalau semua itu harus dirahasiakan dari Dea sampai menemukan titik terang."Dea itu wanita yang jujur dan tidak bisa berbohong, sebaiknya kamu sembunyikan ini agar dia tidak kepikiran." Begitu pesan pak RT kemarin kepada Zuhal.Zuhal tersenyum. "Nggak apa-apa kok, Dek. Kerjaan kantor nggak selesai-selesai. Itu yang bikin
Akhirnya mereka sampai di rumah Tarman. Keluarga yang tinggal di rumah besar itu menyambut mereka. Semua mempersilakan Zuhal dan Dea masuk. Ketiganya pun masuk ke dalam rumah. Tarman membawa tas miliknya dan Farizi ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan, sedangkan Zuhal dan Dea duduk di sofa. Sementara itu, keluarga Tarman berkumpul dan menemani tamu mereka. Para wanita menyediakan air, sedangkan para lelaki ada di ruang tamu. Mereka memperkenalkan diri masing-masing.Seorang pria berusia sebaya dengan Pak Roslan memperkenalkan diri sebagai abang Tarman yang nomor tiga. Dia yang menyalami Zuhal ketika baru menginjak kaki di rumah itu."Saya Sopian, abang Tarman yang nomor 3," katanya.Zuhal mengangguk dan tersenyum. Mereka memang tidak tahu rincian keluarga Tarman secara utuh, siapa dan bagaimananya. Pemuda itu juga tidak pernah memperkenalkan keluarganya pada keluarga Zuhal. Mereka bertemu saat Tarman dan Maya pernikahan dulu. Itu pun hanya sege
Setelah mengantarkan Tarman beberapa hari yang lalu, suasana di rumah Pak Roslan cenderung sepi. Biasanya ada suara tangis Farizi mengisi rumah yang terasa hampa itu. Marini dan Pak Roslan juga tidak semangat lagi ke sawah, mereka berpikir toh untuk apa? Maya sudah meninggal dan cucunya sudah dibawa sang ayah. Zuhal juga sudah punya keluarga sendiri yang suatu saat nanti mereka akan pulang. Kesepian merangkul jiwa kedua orang tua itu sehingga membuat keduanya malas melakukan apa pun.Namun, semua manusia memang harus bertahan atas kondisi apa saja termasuk rindu yang bernanah di jiwa. Marini dan Pak Roslan, dua orang tua malang yang kehilangan anak sekaligus cucu dalam sekali waktu. Akhirnya pun harus melupakan bayang-bayang itu dari pikiran mereka, jika mereka tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Hari ini, Dea dan Zuhal pun akan berpamitan untuk kembali ke kota. Lengkaplah sudah puncak kesepian yang melanda kedua paruh baya itu. Dea sudah mengepak baju-baju
"Sabar, banyak berdoa kepada Allah. Semoga semuanya baik-baik aja," kata Zuhal membesarkan hati lelaki itu."Bapak sudah siapkan mobil kalau misalnya istri kamu butuh dibawa ke rumah sakit," kata Pak RT.Setelah Pak RT berkata begitu, wajah Dirga tiba-tiba muram. Terungkaplah kenapa istrinya memilih melahirkan di desa daripada di kota."Sebenarnya saya mau istri saya melahirkan di kota, Pak. Tapi Ibu saya bilang melahirkan di rumah aja, uangnya nggak ada," sahut Dirga sambil melirik ke pintu. Seperti cemas kalau-kalau ada yang mendengar perkataannya."Ibu kamu mana?" tanya Pak RT."Entah tadi keluar sampai sekarang belum pulang," kata Dirga.Pak RT mendesah, biasalah alasan klasik warga kampung sini apalagi kalau bukan karena keterbatasan uang. Mayoritas mereka hanya petani yang menggarap sawah atau kebun, kebanyakan bukan milik sendiri pula. Beberapa warga memang sangat jarang memegang uang sama sekali, untuk makan sehari-hari m
Dea, Zuhal, dan Pak RT segera ke rumah yang diceritakan oleh pemuda itu. Mereka memacu motornya masing-masing dengan kecepatan penuh. Dinginnya subuh tidak dipedulikan oleh Dea karena setelah melihat pemuda itu, sepertinya benar-benar terjadi kekacauan di rumah tersebut. Di perbatasan Desa Kunti, mereka memasuki desa sebelah yaitu Desa Gareng. Ternyata di sana kediaman pemuda tersebut. Dea dan Zuhal tidak kenal siapa pemuda itu, tetapi sepertinya Pak RT kenal. Tak lama setelah memasuki gerbang Desa Gareng, mereka digiring menuju sebuah rumah kecil beratap rumpia dan berdinding bambu. Hanya lampu suluh kecil yang menerangi pelataran rumah tersebut, tidak ada bohlam. Dalam sekali lihat, Dea menyimpulkan kalau rumah tersebut belum teraliri listrik. Mereka semua turun dari motor dan bergegas masuk."Saya bawa Pak RT sama Kak Dea, Mbah!" seru pemuda itu sesaat setelah masuk ke rumah.Dea benar, rumah tersebut belum ada listriknya. Hanya lampu minyak yang mener
Mbah yang sudah sepuh itu akhirnya mengangguk melihat ketulusan dalam hati Dea. Kemudian dia berkata, "Sing dicoba ya, Nak?"Dea mengangguk. Wanita itu lalu menyuruh pemuda yang tadi untuk mengangkat Ningsih. Dibantu Zuhal, mereka membawa Ningsih ke mobil menggunakan tandu. Sebelum pergi, Dea menyuruh Ningsih meminum air yang telah diberikan. Tak lupa botol itu pun dia bekalkan untuk Ningsih. Di dalam mobil sudah ada anak Pak RT, Mbah Menik, dan juga pemuda tadi. Mereka berangkat begitu semuanya selesai. Rumah gubuk itu terlihat sepi rumah seiring dengan kepergian semua penghuninya. Dea menutup pintu rumah dan bersiap untuk pulang. Pak RT sudah mendahului tadi, katanya mau mengabari RT setempat tentang kepergian warganya ke rumah sakit. Sekaligus mengurus surat keterangan tidak mampu yang diminta oleh Mbah tadi. Dea dan Zuhal pun naik ke motor untuk berangkat pulang. Di perjalanan, mereka mengobrol sedikit."Adek mau bicara sama siapa
Wajah Dea memucat, jantungnya seolah berhenti Dea terkejut saat Mbah dengan kasar menepis tangannya."Mbah, kenapa?" tanya Dea.Mbak Menik menangis, air mata berjatuhan di wajah keriputnya. "Kalau kamu ndak menyarankan ke rumah sakit, pasti Ningsih masih ada sekarang," kata perempuan itu sembari menunjuk muka Dea.Dea gemetaran, sendinya seketika lunglai. Wanita itu tidak menyangka Mbah Menik akan menyalahkan dirinya. Apakah dia memang benar-benar bersalah atas kematian Ningsih? Apa kesalahannya sesungguhnya? Batin Dea. Wanita beranak dua itu bingung ingin merespon masalah ini ini dengan cara apa."Maafkan Dea, Mbah. Sa-saya pikir kalau di rumah sakit, Ningsih akan bisa melahirkan. Lagian Dea bukan dukun bera .....""Pikar, piker! Katanya jenengan itu bisa bantu orang susah beranak. Ngapain ke rumah sakit kalau jenengan bisa. Jangan-jangan ilmu jenengan cuma bualan aja!" maki Mbah Menik.Dea gemetaran, air matanya mulai menggenan
Dea berpikir ada benarnya juga. Namun larangan dari suami Ningsih ditambah gunjingan serta pandangan tuduhan dari warga membuat dia tak berani maju. Zuhal menghampiri istrinya dan mencoba menahan Dea. Bisa jadi masalah jika Dea tidak mengindahkan. Sebagai gantinya, Zuhal meminta Pak RT untuk bermufakat dengan pejabat desa setempat agar membujuk keluarga Ningsih. Keluarga Ningsih dan Prayitno juga terpecah menjadi dua. Ada yang setuju membiarkan Dea menolong, ada yang tidak."Kubur aja, anaknya sudah meninggal. Mungkin itu cuma kebetulan!" seru salah seorang ibu-ibu."Gimana kebetulan, Cu? Coba Cu lihat sendiri, janinnya masih gerak! Lihat!" kata Intan sembari menunjuk ke jenazah Ningsih. "Kalian semua nggak mikirin itu permintaan tolong dari sang bayi! Nggak mikir kalian?" pekik gadis itu. Semua yang ada di sana terdiam. Dea kagum melihat Intan yang masih muda tetapi sangat pemberani. Sejak tadi hanya gadis itu yang memihaknya. Dea pun tidak bisa bicara b