Share

5. Siapa Peduli?

Yuriko menunduk menatap tubuhnya yang berbalut jas. "Ti-tidak, Pak. Saya akan masuk ke dalam mobil sekarang juga," balas Yuriko bergegas beranjak.

Ia tahu maksud Wolf baik. Di tengah malam begini, tidak aman baginya untuk naik kendaraan umum. Lagi pula, tidak ada kendaraan umum di pukul satu malam. Yang ada hanya berandalan yang akan mengganggunya di jalan.

"Tunggu! Bisakah saya duduk di samping Pak Reza saja?" bisik Yuriko meminta. Ia benar-benar takut jika harus duduk di samping Wolf.

"Tidak bisa, Nona," tolak Reza menggeleng pelan.

"Baiklah," ujar Yuriko pasrah.

Sambil menghembuskan nafas berat, wanita itu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Wolf. Ia tidak bisa terlalu dekat dengan atasannya dan memilih memberingsut ke pintu.

"Cih! Kemarin kau begitu berani meninggalkanku di tengah pembicaraan yang sangat penting," batin Wolf tersenyum menyeringai melihat kaki Yuriko bergetar.

Merasa ada yang memperhatikan, Yuriko melirik dan tatapan matanya bertemu dengan tatapan tajam Wolf. Kemudian, ia kembali menundukkan kepalanya dan memperdalamnya.

"Ya Tuhan ... Kapan aku akan sampai rumah?" bisik Yuriko dalam hati.

Ia tidak bisa berlama-lama di satu ruangan yang sama dengan pria dingin itu. Apalagi di ruangan yang sempit itu. Rasanya sangat sulit sekedar untuk bernafas.

"Astaga, iya! Aku bahkan belum menyebutkan alamat rumahku, tapi kenapa Pak Reza tidak bertanya?"

"Alamat rumah Nona Yuriko di mana? Tadi saya lupa menanyakannya," tanya Reza bertepatan dengan pemikiran Yuriko.

"Turunkan saya di depan Rumah Sakit Internasional Heaven. Rumah saya tidak jauh dari sana," sahut Yuriko tidak berniat menyebutkan alamat rumahnya.

Meskipun tidak menyebutkan alamat rumahnya, Wolf dan Reza sudah tahu karena sebelumnya mereka sudah mengorek informasi pribadi Yuriko. Wanita itu menjual rumahnya untuk biaya pengobatan neneknya dan memilih mengontrak rumah di dekat rumah sakit tempat neneknya dirawat.

"Baik, Nona," kata Reza bergegas menaikkan laju mobil.

Sepanjang jalan, tidak ada yang membuka suara. Wolf duduk santai menatap lurus ke depan. Sedangkan Yuriko, wanita itu berubah menjadi patung. Duduk diam seolah tidak bernafas dan memang ia tidak bisa bernafas berada di dekat Wolf sedekat itu. Apalagi mengingat kejadian kemarin di mana pria itu mengajukan perjanjian kontrak pernikahan.

"Sudah sampai, Nona," celetuk Reza di tengah keheningan.

Entah sudah berlalu berapa lama, tiba-tiba mereka sudah sampai di depan Rumah Sakit Internasional Heaven. Padahal beberapa saat yang lalu Yuriko baru masuk ke dalam mobil. Wolf menghembuskan nafas kasar membuat Reza menatap ke arah cermin.

"Sial! Kenapa cepat sekali?" keluh Wolf dalam hati.

"Iya, Pak Reza." Yuriko merapikan jas yang melekat di tubuhnya, "Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak," kata wanita itu sambil menundukkan kepalanya ke arah Wolf.

Wolf sama sekali tidak menjawab. Ia sama sekali tidak bergerak dan tetap pada posisi semula. Duduk tegap, melipat tangannya di depan, dan melipat kaki. Tatapan matanya lurus ke depan dengan aura dingin yang menyelimuti tubuhnya.

"Kalau begitu, saya permisi. Sekali lagi, terimakasih banyak," pamit Yuriko sebelum akhirnya keluar dari mobil.

"Kenapa kau terburu-buru sekali, Reza?" tanya Wolf dingin.

Ia tidak tahu apa yang ada di kepala sekretarisnya, hingga terburu-buru sekali mengemudikan mobilnya.

"Ma-maaf, Pak." Reza terbata dengan suara yang bergetar ketakutan. Sejak mendengar helaan nafas sang bos, perasaannya sudah berubah tidak enak.

"Maaf-maaf! Seharusnya kau menggunakan kecepatan rendah bukannya malah terburu-buru seperti ini. Memangnya kau pikir kau sedang membawa wanita hamil yang akan segera melahirkan?" omel Wolf panjang lebar.

Seharusnya, Reza melihat situasi dengan menurunkan kecepatan sehingga waktu bergerak lambat. Tidak mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi dan membuat waktu Wolf bersama Yuriko bergerak begitu cepat. Seharusnya pria itu tahu kalau bosnya sedang kasmaran.

"Maaf, Pak. Saya pikir, Nona Yuriko merasa tidak nyaman dalam situasi ini. Jadi, saya menaikkan kecepatan agar cepat sampai," sanggah Reza takut-takut sambil sesekali melirik ke arah spion menatap pantulan wajah bosnya.

"Siapa peduli? Harusnya kau tahu kalau aku menyukai situasi ini," ujar Wolf menggebu.

Alasan apa pun yang Reza berikan tidak akan membuat Wolf mengerti. Ia hanya peduli tentang kebersamaannya dengan Yuriko yang sangat-sangat singkat.

"Sekali lagi, saya minta maaf, Pak. Besok pagi Anda bisa memanggil Nona Yuriko ke ruangan Anda dan membahas perjanjian kontrak pernikahan," balas Reza berusaha memecah kemarahan bosnya. Ia yakin, Wolf akan berhenti marah jika membahas masalah perjanjian itu.

"Baiklah, kali ini aku maafkan dan besok pagi kau bertugas untuk memanggil Yuri ke ruanganku," ujar Wolf dengan api amarah yang kian meredup.

Sejak pertama kali melihat Yuriko di depan lift, Wolf selalu terbayang-bayang wanita itu. Bahkan perasaannya terhadap Theona tiba-tiba musnah begitu saja. Mungkin karena ia sudah benar-benar tidak memiliki harapan. Tentu saja karena wanita itu sudah berkumpul lagi bersama suaminya dan hidup bahagia.

Mengingat soal Theona, sepertinya Wolf tidak ingin menyesal lagi seperti dulu. Ia akan mengutarakan perasaannya pada Yuriko apa pun yang terjadi. Ia tidak akan memendam perasaannya dan menyesal karena Yuriko direbut laki-laki lain, seperti ketika Theona direbut oleh Ikosagon karena ia tidak berani mengutarakan perasaannya.

"Baik, Pak," tegas Reza sambil menghela nafas lega.

"Ikuti Yuri. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk di jalan dia pulang," ujar Wolf memerintah.

"Baik, Pak," tegas Reza lagi. Kemudian, ia mengemudikan mobil secara perlahan mengikuti Yuriko agar tidak ketahuan.

Perlahan, mobil mengikuti Yuriko. Akan tetapi, wanita itu berjalan masuk ke area gang sempit dan sangat tidak mungkin untuk dilewati sebuah mobil. Jadi, Reza menghentikan mobil dan bertanya.

"Saya yang turun dan mengikuti Nona Yuriko atau Anda, Pak?"

"Biar aku saja," sahut Wolf.

Pria itu melepas sabuk pengaman dan bergegas turun. Mengikuti Yuriko karena takut di gang sempit itu ada orang yang ingin berbuat jalan. Sekitar lima sampai tujuh menit berlalu, Yuriko sampai di deretan kontrakan tiga petak. Lalu, ia mengeluarkan kunci dan tas, membuka pintu, dan masuk. Sedangkan Wolf langsung berbalik pergi setelah memastikan Yuriko aman sampai di rumah.

***

Keesokan harinya, Wolf sedang duduk di kursi kerjanya dengan gusar. Ia sudah tidak sabar menunggu Yuriko datang ke ruangannya. Sepersekian detik kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Tiba-tiba, kedua sudut bibir pria itu naik sempurna. Kemudian, ia lekas merapikan ekspresi wajahnya dan menunjukkan ekspresi dingin.

"Masuk!" seru Wolf.

Dalam satu kali kedipan mata, pintu terbuka dan terpampanglah wajah pas-pasan Yuriko. "Anda memanggil saya, Pak?" tanya wanita itu.

"Ya, duduklah!"

Yuriko pun lekas melangkah masuk, menarik kursi, dan duduk sambil menundukkan kepalanya. Ia mengangkat pandangan sekilas sebelum akhirnya kembali menundukkan kepalanya.

"Jadi, kenapa Anda memanggil saya?" tanyanya lagi.

"Nenekmu dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bukan?"

Yuriko cukup terkejut. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Wolf dengan manik mata terbelalak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status