Yuriko menunduk menatap tubuhnya yang berbalut jas. "Ti-tidak, Pak. Saya akan masuk ke dalam mobil sekarang juga," balas Yuriko bergegas beranjak.
Ia tahu maksud Wolf baik. Di tengah malam begini, tidak aman baginya untuk naik kendaraan umum. Lagi pula, tidak ada kendaraan umum di pukul satu malam. Yang ada hanya berandalan yang akan mengganggunya di jalan."Tunggu! Bisakah saya duduk di samping Pak Reza saja?" bisik Yuriko meminta. Ia benar-benar takut jika harus duduk di samping Wolf."Tidak bisa, Nona," tolak Reza menggeleng pelan."Baiklah," ujar Yuriko pasrah.Sambil menghembuskan nafas berat, wanita itu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Wolf. Ia tidak bisa terlalu dekat dengan atasannya dan memilih memberingsut ke pintu."Cih! Kemarin kau begitu berani meninggalkanku di tengah pembicaraan yang sangat penting," batin Wolf tersenyum menyeringai melihat kaki Yuriko bergetar.Merasa ada yang memperhatikan, Yuriko melirik dan tatapan matanya bertemu dengan tatapan tajam Wolf. Kemudian, ia kembali menundukkan kepalanya dan memperdalamnya."Ya Tuhan ... Kapan aku akan sampai rumah?" bisik Yuriko dalam hati.Ia tidak bisa berlama-lama di satu ruangan yang sama dengan pria dingin itu. Apalagi di ruangan yang sempit itu. Rasanya sangat sulit sekedar untuk bernafas."Astaga, iya! Aku bahkan belum menyebutkan alamat rumahku, tapi kenapa Pak Reza tidak bertanya?""Alamat rumah Nona Yuriko di mana? Tadi saya lupa menanyakannya," tanya Reza bertepatan dengan pemikiran Yuriko."Turunkan saya di depan Rumah Sakit Internasional Heaven. Rumah saya tidak jauh dari sana," sahut Yuriko tidak berniat menyebutkan alamat rumahnya.Meskipun tidak menyebutkan alamat rumahnya, Wolf dan Reza sudah tahu karena sebelumnya mereka sudah mengorek informasi pribadi Yuriko. Wanita itu menjual rumahnya untuk biaya pengobatan neneknya dan memilih mengontrak rumah di dekat rumah sakit tempat neneknya dirawat."Baik, Nona," kata Reza bergegas menaikkan laju mobil.Sepanjang jalan, tidak ada yang membuka suara. Wolf duduk santai menatap lurus ke depan. Sedangkan Yuriko, wanita itu berubah menjadi patung. Duduk diam seolah tidak bernafas dan memang ia tidak bisa bernafas berada di dekat Wolf sedekat itu. Apalagi mengingat kejadian kemarin di mana pria itu mengajukan perjanjian kontrak pernikahan."Sudah sampai, Nona," celetuk Reza di tengah keheningan.Entah sudah berlalu berapa lama, tiba-tiba mereka sudah sampai di depan Rumah Sakit Internasional Heaven. Padahal beberapa saat yang lalu Yuriko baru masuk ke dalam mobil. Wolf menghembuskan nafas kasar membuat Reza menatap ke arah cermin."Sial! Kenapa cepat sekali?" keluh Wolf dalam hati."Iya, Pak Reza." Yuriko merapikan jas yang melekat di tubuhnya, "Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak," kata wanita itu sambil menundukkan kepalanya ke arah Wolf.Wolf sama sekali tidak menjawab. Ia sama sekali tidak bergerak dan tetap pada posisi semula. Duduk tegap, melipat tangannya di depan, dan melipat kaki. Tatapan matanya lurus ke depan dengan aura dingin yang menyelimuti tubuhnya."Kalau begitu, saya permisi. Sekali lagi, terimakasih banyak," pamit Yuriko sebelum akhirnya keluar dari mobil."Kenapa kau terburu-buru sekali, Reza?" tanya Wolf dingin.Ia tidak tahu apa yang ada di kepala sekretarisnya, hingga terburu-buru sekali mengemudikan mobilnya."Ma-maaf, Pak." Reza terbata dengan suara yang bergetar ketakutan. Sejak mendengar helaan nafas sang bos, perasaannya sudah berubah tidak enak."Maaf-maaf! Seharusnya kau menggunakan kecepatan rendah bukannya malah terburu-buru seperti ini. Memangnya kau pikir kau sedang membawa wanita hamil yang akan segera melahirkan?" omel Wolf panjang lebar.Seharusnya, Reza melihat situasi dengan menurunkan kecepatan sehingga waktu bergerak lambat. Tidak mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi dan membuat waktu Wolf bersama Yuriko bergerak begitu cepat. Seharusnya pria itu tahu kalau bosnya sedang kasmaran."Maaf, Pak. Saya pikir, Nona Yuriko merasa tidak nyaman dalam situasi ini. Jadi, saya menaikkan kecepatan agar cepat sampai," sanggah Reza takut-takut sambil sesekali melirik ke arah spion menatap pantulan wajah bosnya."Siapa peduli? Harusnya kau tahu kalau aku menyukai situasi ini," ujar Wolf menggebu.Alasan apa pun yang Reza berikan tidak akan membuat Wolf mengerti. Ia hanya peduli tentang kebersamaannya dengan Yuriko yang sangat-sangat singkat."Sekali lagi, saya minta maaf, Pak. Besok pagi Anda bisa memanggil Nona Yuriko ke ruangan Anda dan membahas perjanjian kontrak pernikahan," balas Reza berusaha memecah kemarahan bosnya. Ia yakin, Wolf akan berhenti marah jika membahas masalah perjanjian itu."Baiklah, kali ini aku maafkan dan besok pagi kau bertugas untuk memanggil Yuri ke ruanganku," ujar Wolf dengan api amarah yang kian meredup.Sejak pertama kali melihat Yuriko di depan lift, Wolf selalu terbayang-bayang wanita itu. Bahkan perasaannya terhadap Theona tiba-tiba musnah begitu saja. Mungkin karena ia sudah benar-benar tidak memiliki harapan. Tentu saja karena wanita itu sudah berkumpul lagi bersama suaminya dan hidup bahagia.Mengingat soal Theona, sepertinya Wolf tidak ingin menyesal lagi seperti dulu. Ia akan mengutarakan perasaannya pada Yuriko apa pun yang terjadi. Ia tidak akan memendam perasaannya dan menyesal karena Yuriko direbut laki-laki lain, seperti ketika Theona direbut oleh Ikosagon karena ia tidak berani mengutarakan perasaannya."Baik, Pak," tegas Reza sambil menghela nafas lega."Ikuti Yuri. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk di jalan dia pulang," ujar Wolf memerintah."Baik, Pak," tegas Reza lagi. Kemudian, ia mengemudikan mobil secara perlahan mengikuti Yuriko agar tidak ketahuan.Perlahan, mobil mengikuti Yuriko. Akan tetapi, wanita itu berjalan masuk ke area gang sempit dan sangat tidak mungkin untuk dilewati sebuah mobil. Jadi, Reza menghentikan mobil dan bertanya."Saya yang turun dan mengikuti Nona Yuriko atau Anda, Pak?""Biar aku saja," sahut Wolf.Pria itu melepas sabuk pengaman dan bergegas turun. Mengikuti Yuriko karena takut di gang sempit itu ada orang yang ingin berbuat jalan. Sekitar lima sampai tujuh menit berlalu, Yuriko sampai di deretan kontrakan tiga petak. Lalu, ia mengeluarkan kunci dan tas, membuka pintu, dan masuk. Sedangkan Wolf langsung berbalik pergi setelah memastikan Yuriko aman sampai di rumah.***Keesokan harinya, Wolf sedang duduk di kursi kerjanya dengan gusar. Ia sudah tidak sabar menunggu Yuriko datang ke ruangannya. Sepersekian detik kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Tiba-tiba, kedua sudut bibir pria itu naik sempurna. Kemudian, ia lekas merapikan ekspresi wajahnya dan menunjukkan ekspresi dingin."Masuk!" seru Wolf.Dalam satu kali kedipan mata, pintu terbuka dan terpampanglah wajah pas-pasan Yuriko. "Anda memanggil saya, Pak?" tanya wanita itu."Ya, duduklah!"Yuriko pun lekas melangkah masuk, menarik kursi, dan duduk sambil menundukkan kepalanya. Ia mengangkat pandangan sekilas sebelum akhirnya kembali menundukkan kepalanya."Jadi, kenapa Anda memanggil saya?" tanyanya lagi."Nenekmu dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bukan?"Yuriko cukup terkejut. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Wolf dengan manik mata terbelalak."Alasan kenapa kau bekerja paruh waktu di bar karena kau butuh uang untuk biaya rumah sakit. Benar bukan?" Wolf beranjak berdiri dan berjalan memutari meja mendekat ke arah Yuriko, "Aku akan menanggung seluruh biaya rumah sakit sampai nenekmu sembuh, asalkan kau mau menandatangani perjanjian kontrak pernikahan denganku. Bukankah sekali mendayung dua pulau langsung terlampaui?"Maksud dari ucapan Wolf adalah Yuriko bisa mengabulkan permintaan neneknya dengan menikahi Wolf dan ia juga bisa membiayai proses penyembuhan neneknya di rumah sakit.Mendengar ucapan Wolf, Yuriko mengangkat kepalanya menatap tajam manik mata pria itu. Lalu, ia beranjak berdiri dengan terburu-buru. Bukankah pria itu terlalu ikut campur urusan pribadinya? Apalagi sampai mengorek informasi pribadinya sampai sejauh itu."Saya memang butuh banyak uang untuk membiayai pengobatan nenek saya di rumah sakit, tapi sampai kapan pun saya tidak akan pernah menandatangani perjanjian kontrak pernikahan ini," balas Yuriko nyal
Dunia Yuriko seolah runtuh detik itu juga. Tulang-tulang di seluruh tubuhnya seakan berubah menjadi jelly. Meluruh begitu saja dan terduduk di lantai. Air matanya sudah menganak sungai membanjiri wajahnya.["Datanglah ke rumah sakit dan dokter yang akan menjelaskannya."Dengan tubuh yang terasa sangat berat, Yuriko beranjak berdiri. Meraih tasnya dan melangkah dengan langkah terseok-seok keluar dari ruangannya. Menyapu pipinya yang basah akan air mata. Masuk ke dalam lift dan keluar berpapasan dengan Wolf. Bahkan ia kembali menabrak pria itu. Bedanya, ia sama sekali tidak meminta maaf dan menimbulkan banyak pertanyaan di kepala Wolf."Yuri kenapa? Kok, dia menangis," bisik Wolf dalam hati."Nona Yuriko kenapa ya, Pak? Menabrak Anda, tetapi tidak meminta maaf. Matanya merah dan wajahnya juga basah seperti sedang menangis," tanya Reza sambil menatap punggung Yuriko yang kian menjauh."Ikuti Yuri, Za!" ujar Wolf memerintah. Entah mengapa perasaannya berubah tidak enak. Dan, janjinya unt
Sementara Wolf terus bertanya-tanya, kakinya terus melangkah mengikuti Yuriko. Ia tidak mempedulikan para karyawan berlalu-lalang mulai kembali ke ruangannya masing-masing. Ia bahkan mengabaikan sapaan bawahannya dan terus menatap punggung Yuriko yang kian menjauh."Sepertinya rencanaku mengubah beberapa poin di surat perjanjian nikah kontrak memang benar," bisik Wolf sambil menahan senyumnya.Tidak jauh dari lift, Yuriko nampak ragu-ragu. Wanita itu ingin langsung pergi ke ruangan Wolf, tetapi tidak tahu harus mengatakan apa nantinya. Akhirnya, ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka tiga puluh satu."Aku harus sampai ruanganku lebih dulu," bisik Wolf lekas berlari setelah melihat lift yang Yuriko naiki menuju ke lantai tiga puluh satu di mana ruangannya berada.Pria itu masuk ke dalam lift khusus direktur. Memencet tombol dengan tidak sabaran. Berjalan ke sana kemari memikirkan Yuriko keluar lift lebih dulu. Benar saja apa yang ia pikirkan. Ketika lift terbuka, ia melihat Yu
Wolf menghentikan langkahnya dan menatap tangannya juga Yuriko bergantian. Baru menikmati sentuhan tangan itu sudah harus dilepaskan. Akan tetapi, ia tidak boleh menuruti egonya dan membuat Yuriko membatalkan perjanjian nikah kontrak. Yah, meskipun perjanjian itu tidak akan mudah dibatalkan karena wanita itu sudah terlanjur menandatangani. Namun, tetap saja ia tidak ingin menghambat proses menjadi lebih dekat dengan Yuriko."Menurutmu, apa kita harus pergi ke kantor catatan sipil dulu?" tanya Wolf setelah berpikir sejenak."Untuk apa ke kantor catatan sipil?" Yuriko balas bertanya sambil mengerutkan keningnya."Tentu saja untuk mendaftarkan pernikahan kita," sahut Wolf malas."Astaga, Pak Wolf! Masalah itu bisa kita urus nanti. Yang paling penting sekarang urusan nenek saya. Sekarang kita harus pergi ke rumah sakit untuk menyelesaikan administrasi agar nenek saya bisa segera dioperasi," ujar Yuriko frustasi. Ia tidak tahu dengan cara berpikir pria itu. Hal yang mendesak seperti opera
"Ya, sangat. Saya sangat mencintai Yuri dan itulah alasan saya melamarnya. Oleh karena itu, restui saya menjadi suami Yuri," sahut Wolf mantap.Sejak dulu, Wolf tidak pernah main-main dengan cinta. Satu kali pria itu jatuh cinta, maka ia akan selalu mencintai wanita itu dengan sepenuh hati. Dan untuk Yuriko, seharusnya ia merasa bersyukur karena Wolf pria original. Belum pernah tersentuh oleh wanita mana pun karena ia belum pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun."Ya, ya, ya, nenek merestuimu. Semoga rencana yang kau susun untuk merebut hati Yuri berhasil. Hanya satu pesan nenek, jangan pernah sakiti hati Yuri dan yang paling penting jangan pernah menduakannya karena hal itu yang paling Yuri benci," ujar Nenek Yuana mengingatkan."Baik, Nek. Saya berjanji tidak akan pernah menyakiti hati Yuri dan tidak akan pernah menduakannya. Saya akan selalu mencintai Yuri sampai ajak menjemput," balas Wolf berjanji.Pembicaraan antara nenek dan calon cucu mantu berakhir. Yuriko kembali ma
"Pak? Pak Wolf, kenapa diam saja?" panggil Yuriko sambil mengayun tangannya di depan wajah Wolf."Kau tahu Theo, mantan asisten pribadiku?" Wolf balik bertanya setelah menoleh sekilas."Tentu saja. Siapa yang tidak kenal Bu Theo? Bahkan seluruh karyawan di perusahaan sering sekali membicarakannya," sanggah Yuriko seolah ia tahu segalanya tentang Theona.Sejak pertama kali Theona menjabat sebagai asisten pribadi Wolf. Terlebih, dengan seorang anak yang selalu dibawa ke kantor. Kehadirannya mampu mengguncang isi perusahaan. Banyak sekali yang berpikir bahwa Theona adalah istri Wolf dan anaknya juga anak Wolf. Banyak juga yang berkata bahwa Theona kekasih rahasia Wolf sampai memiliki seorang anak. Apalagi, mereka melihat sangat jelas bagaimana sikap Wolf terhadap wanita itu dan anaknya."Benarkah? Apa yang mereka bicarakan tentang Theo?" tanya Wolf penasaran."Bukan itu yang harus kita bahas, Pak Wolf. Yang seharusnya kita bahas adalah alasan, Pak Wolf, menikah kontrak dengan saya," sang
Pihak pertama boleh melakukan apa saja terhadap pihak kedua. Pihak kedua tidak boleh menolak apa pun keinginan pihak pertama. Pihak kedua akan tinggal di rumah pihak pertama. Pihak kedua harus menyiapkan sarapan dan makan malam di setiap harinya. Selain beberapa poin itu, masih banyak poin lain yang merugikan Yuriko."Maksud Pak Wolf apa? Kenapa tidak ada satu poin pun yang menguntungkan buat saya?" tanya Yuriko terkejut."Ini bukan salahku, Yuri. Kau sudah menandatangani perjanjian itu dan kau harus mematuhinya. Karena kalau tidak, kau harus mengganti sepuluh kali lipat dari jumlah uang yang sudah aku keluarkan," sanggah Wolf sambil menunjukkan seringaian tipisnya."A-apa? Sepuluh kali lipat?" terkejut Yuriko.Nyaris saja bola mata Yuriko melompat keluar karena terlalu terkejut. Jangankan sepuluh kali lipat, tanpa dilipat gandakan pun ia tidak akan pernah bisa membayarnya. Mungkin gajinya di perusahaan selama sepuluh tahun tetap tidak akan cukup."Ya, sepuluh kali lipat. Kalau kau ti
"Bahkan hal konyol seperti ini sekalipun?" tanya Yuriko tidak percaya."Tentu saja," balas Wolf santai."Astaga, Tuhan!" ujar Yuriko frustasi. Ia benar-benar tidak menyangka dengan sikap Wolf. Badan tinggi kekar, tetapi sifatnya benar-benar kekanakan."Sudah sana cepat keluar. Aku harus kembali dan menemani Nenek," usir Wolf merasa sudah cukup mengejutkan Yuriko.Meski masih tidak bisa percaya, tetapi Yuriko tidak bisa menolak. Ia harus membiarkan nama itu tersimpan di ponselnya. Mengingat neneknya sendirian di rumah sakit, wanita itu lekas turun dan membiarkan Wolf pergi."Ya ampun! Kenapa Yuri menggemaskan sekali?" Wolf memukul-mukul setir membayangkan wajah terkejut Yuriko yang sangat menggemaskan, "Bagaimana aku bisa tahan nanti kalau Yuri sudah tinggal di rumahku?" sambung pria itu gemas.Memikirkan akan segera tinggal bersama membuat Wolf tidak sabar. Akankah ia meminta Yuriko untuk tidur di ruangan yang sama dengannya atau berbeda? Haruskah ia menjadikan poin dua sebagai pegang