Enjoy reading 😘
'Aku kangen," bisik Sakti lembut. Hembusan napas lelaki itu begitu lembut menerpa wajah Gendis. Mata yang bersitatap seakan mencari ruang rindu yang sudah lama tak saling mengunjungi. Sakti mengusap pipi itu dengan begitu lembut, bahkan jari jemarinya dia biarkan menyentuh bibir yang sudah lama tak dia sesap itu. Gendis menunduk, dia menolak saat Sakti hampir mendekati wajahnya. "Sebaiknya kamu pulang, ini sudah terlalu malam untuk lelaki berkunjung ke kost-an," kata Gendis menyingkirkan tangan Sakti dari lengannya. "Kalo gitu kita pulang ke hotel," ujar Sakti. "Masih banyak yang harus kita bicarakan, Gendis." "Sudah nggak ada yang harus kita bicarakan, semua sudah selesai," ujar Gendis membelakangi Sakti. "Selesai? bahkan kita belum memulainya," ujar Sakti. "Pulanglah," ujar Gendis. "Aku nggak akan pulang." Kali ini Sakti berbaring di tempat tidur berukuran single itu. "Aku tetap di sini, sampai kamu bilang kenapa kita selesai," ujarnya melipat kedua tangannya. "Tolong ngerti
"Kangen, ya?" "Banget," jawab Gendis menangis rindu. "Siapa suruh kabur," kekeh Sakti. "Nyebelin," cebik Gendis merajuk. "Aku lebih kangen kamu, Gendis. Setiap menit waktuku habis untuk mencari dan memikirkan kamu." Sakti merapikan rambut-rambut halus Gendis, menyematkan helaian rambut kekasihnya itu dibalik telinga lalu mencium pipi Gendis, rahang Gendis, lalu turun menyusuri leher jenjang kekasihnya itu. Gendis menutup matanya menikmati setiap sentuhan Gendis melenguh saat tangan Sakti meremas lembut dadanya. Gadis itu membuka matanya memandangi wajah Sakti dengan segala pesonanya. Gendis menyusuri wajah itu dengan jemari tangannya, mengusap bibir Sakti lalu jemarinya berhenti tepat di tengah-tengah bibir itu. Sakti mengecupi setiap jari jemari Gendis, merasai sentuhan gadis yang benar-benar dia cintai. Sorot mata yang sudah terlihat sendu turun tertuju pada tangan yang meremas lembut dada Gendis, membuka satu demi satu kancing kemeja Gendis. Dan saat kemeja itu mulai tersib
Daun pintu berwarna putih itu perlahan terbuka, Arya berdiri membelakanginya. "Mas Arya," sapa Gendis. Lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu pun membalikkan tubuhnya. "Kamu udah siap? tadi aku di hubungi Bayu, kita harus—" "Kita berangkat sekarang," ujar Sakti keluar dari kamar membawa ransel milik Gendis. Arya tercekat, matanya menatap bergantian antara Gendis dan Sakti. Lelaki yang selama ini menjadi saingannya mendapatkan hari Gendis berada tepat di depannya. "Gendis," ucap Sakti sambil meraih tangan Gendis. "Kita berangkat sekarang, Pak Slamet sebentar lagi sampai," kata Sakti lagi. "Gendis biar pulang sama aku," kata Arya. "Bayu meminta aku yang menjemput Gendis," ujar Arya tak mau kalah. "Tidak usah berdebat, Gendis harus segera tiba di sana. Kalo kamu mau, kita bisa pakai satu mobil," ujar Sakti semakin mengeratkan genggamannya. "Sebaiknya kita sama-sama kesana, Mas. Ini juga sudah malam dan hujan," ujar Gendis. Arya terdiam, suasana hatinya sudah tidak lagi b
Gendis tertidur di pangkuan Sakti, sepasang kekasih ini semalaman menunggu di ruang tunggu pasien. Pemandangan seperti ini tak luput dari perhatian Arya, meski hatinya perih namun dia mencoba untuk menghadapi kenyataan. "Sakti." Arya membangunkan Sakti perlahan. Lelaki berjambang itu perlahan membuka matanya. Masih dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Sakti memicingkan matanya. "Jam berapa ini?" tanya Sakti pada Arya, lalu dia mengusap lembut kening Gendis yang masih tertidur di pangkuannya. "Setengah tujuh," ujar Arya. "Kopi." Arya menyodorkan satu cangkir plastik berisi kopi hitam. "Makasih," ucap Sakti. "Bapak sudah sadar?" "Belum, sepertinya masih dalam pengaruh obat," kata Arya yang mengambil posisi duduk di samping Sakti. "Oh, semoga secepatnya kembali pulih," ujar Sakti diikuti anggukan kepala Arya. "Capek banget kayaknya," ujar Arya menatap Gendis yang masih terpejam. "Iya, karena kemarin sore juga Gendis dorong motor karena mogok." Sakti tersenyum kecil
Ketukan di pintu memaksa tiga orang di ruangan yang beraroma obat-obatan itu harus menoleh ke arah suara. "Selamat pagi," sapa Sakti. "Pagi," jawab Wati. Sementara Bayu berpura-pura tidak melihat lelaki berwajah tampan itu. "Bagaimana keadaan Bapak, Bu?" tanya Sakti yang langsung menundukkan kepalanya hormat pada lelaki paruh baya yang masih terbaring lemah di ranjang itu. "Masih lemas, 15 menit yang lalu Bapak sudah bangun. Minta air putih, ini mau ibu coba suapkan bubur sedikit-sedikit," kata Wati. "Gendis dimana?" "Bersama Arya di ruang tunggu," jawab Sakti. "Apa yang di rasa, Pak?" tanya Sakti mendekat ke sisi tempat tidur. Lelaki berumur kepala lima itu hanya diam, menatap Sakti hanya sekilas. Sakti tahu betul, rasa hati lelaki itu belum sepenuhnya baik mengingat perlakuan Satyo tempo hari. "Biarkan Bapak istirahat dulu, dokter bilang nggak boleh mikir yang berat-berat," ujar Bayu dengan nada sinis. "Baik kalo begitu. Ibu, kita bisa bicara berdua?" pinta Sakti. Seakan me
"Mbak," panggil Bayu. Lelaki yang baru beranjak dewasa itu menemukan Sakti dan Gendis di sudut koridor rumah sakit. "Bayu." "Mbak dicari bapak," ujar Bayu. "Bapak sudah bangun?" "Sudah. Kata bapak, bapak mau ngomong sama Mbak," ujar Bayu melirik Sakti. "Kalo gitu aku masuk dulu, ya," ujar Gendis melepaskan genggaman tangan Sakti dan melangkah cepat. "Bapak," panggil Gendis yang tiba di ambang pintu. Hendro tersenyum ringkih, wajahnya masih nampak lemah. Tubuhnya belum sepenuhnya normal, tapi sebisa mungkin dia tidak ingin membuat Gendis terlalu khawatir. "Kamu jadi nggak kerja," lirih Hendro. "Enggak apa-apa, Gendis sudah izin. Bapak gimana? udah enakan?" "Masih nyeri sedikit," kata Hendro pelan. "Bapak jadi nggak enak, Nak Arya juga jadi libur kerja." Hendro tersenyum pada Arya yang berdiri di ujung tempat tidur. "Bapak nggak usah terlalu banyak berpikir," ujar Arya. Hendro mengangguk, lalu matanya mencari-cari sesuatu. "Bapak cari siapa?" tanya Gendis. "Nak Sakti pula
Wati sudah menunggu di meja makan malam itu. Setengah jam yang lalu Sakti dan Gendis baru saja tiba dari rumah sakit bergantian gan Arya. Arya menepati janjinya untuk menjaga Pak Hendro bersama Bayu. "Dis, ajak Nak Sakti makan dulu," panggil Wati. "Iya, Bu. Sebentar." Gendis muncul dari dalam kamar membawakan beberapa baju dan handuk untuk Sakti yang masih di dalam kamar mandi. "Dia mandi atau berendam sih?" tanya Wati. "Berendam kayaknya, Bu." Gendis tertawa, sudah lebih dari 15 menit Sakti berada di dalam kamar mandi rumah Gendis yang berada di ruang belakang. Jarak kamar mandi dengan rumah itu terpisah sekitar 10 meter lebih. Kamar mandi yang terbagi menjadi dua itu jelas membuat Sakti bingung saat pertama kali melihatnya. "Kenapa kamar mandi nya ada dua? Sebelahan lagi," tanya Sakti bingung. "Yang ini untuk mandi, yang sebelah situ buat buang air besar," jelas Gendis. "Ribet bener tukangnya kasih pembatas ya," kekeh Sakti. "Berisik buruan mandi, biar gantian," ujar Gendis
"Gimana, Man? Beres?" tanya Sakti pada Norman asistennya. "Mereka sudah ok, Pak. Projek ini akan kita mulai minggu depan. Tapi itu artinya staf kita akan memantau di sini selama seminggu ke depan," jawab Norman di seberang sana. "Bagus, kamu urus saja semua keperluannya. Saya kembali ke Jogja kemungkinan lusa, nanti kita sama-sama bertemu lagi dengan mereka. Saya urus dulu masalah pribadi saya dulu di sini." "Baik, Pak." Sakti mengakhiri sambungan telepon itu. Ini adalah hari kedua Sakti berada di Gunung Kidul. Hendro sudah mulai terlihat membaik, hasil pemeriksaan pagi tadi, dokter mengatakan jika tidak ada lagi yang serius lusa Hendro bisa pulang ke rumah. "Sibuk, ya? Harusnya kamu bertemu klien, malahan ikut-ikutan tinggal di sini." Gendis sudah berdiri di belakang tubuh Sakti. "Udah beres kok, kan ada Norman. Urusan perusahaan kalo sudah dia yang handle aku udah tenang, anak itu cepat belajar," ujar Sakti. "Bapak sudah makan?" "Baru selesai, lagi ngobrol sama ibu dan Mas Ar