Enjoy reading 😘
Hendro terkejut ketika melihat poto yang diperlihatkan oleh Gendis malam itu. Kandang ternaknya sudah terisi kembali, Sakti juga membayar orang untuk menjaga dan merawat hewan-hewan itu. "Ya ampun, Bapak terimakasih sekali, Nak Sakti," ujar Hendro. "Sudah kewajiban saya, Pak. Jadi sekarang Bapak nggak usah mikir apa-apa lagi. Keluar dari rumah sakit Bapak sudah bisa beraktivitas kembali, tapi ... dokter tadi bilang Bapak belum boleh mencari rumput di ladang untuk makan sapi dan kambing." "Lalu gimana hewan-hewan itu makan kalo Bapak nggak nyari rumput," ujar Hendro. "Sudah ada yang mengerjakan, Pak. Bapak hanya memantau saja, nggak usah susah-susah lagi," kata Gendis tersenyum lalu merangkul Wati yang berdiri di sebelahnya. "Aduh, Bapak udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi ini, Bu. Anakmu ini memang selalu penuh kejutan." Mata Hendro berkaca-kaca. "Makasih, Nak Sakti," ucapnya lagi. "Sama-sama, Pak. Selagi masih di sini, rencana saya besok akan kembali ke Jogja. Gendis juga kemba
"Pagi," sapa Gendis pada beberapa teman satu ruangannya. "Pagi, Dis." Bowo berjalann di belakang Gendis. "Eh, Pak Bowo. Maaf," ucap Gendis sambil tersenyum. "Diantar siapa, Dis?" tanya lelaki itu. 'Oh itu—" "Bapak kamu gimana? Sudah baikan?" tanya Bowo lagi. "Sudah, Pak. Sudah sehat." Gendis menarik kursi kerjanya. "Ok, selamat bekerja, semua." Bowo memasuki ruangannya. Gendis menggulir layar gawainya, ada beberapa pesan masuk diantaranya Arya dan Sakti. Pesan dari Arya menanyakan apakah Gendis sudah sampai dan mulai bekerja. Sedangkan pesan masuk dari Sakti, Sakti meminta Gendis untuk menemuinya di kamar hotel saat jam makan siang. "Dasar." Gendis menarik sudut bibirnya, dia membalas pesan itu pada Sakti. Saat jam makan siang, Gendis melintas melewati ruangan Ami. Gendis hanya melihat sekilas ke dalam ruangan gadis itu. Tatapan mereka beradu, Gendis mencoba melemparkan senyum pada Ami. Bukan membalas senyum Gendis, gadis itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Gendis hanya
Matahari pagi bersinar cerah, halaman kecil itu terlihat begitu indah dengan hamparan rumput hijau dan tanaman yang menghiasi. Siraman pagi itu belum juga kering ketika langkah kaki wanita itu memasuki pekarangan rumah. "Pagi." Sapaan Ami membuat Arya menoleh. "Hei, pagi," jawab Arya. Matanya mengedar ke belakang. "Sama siapa?" tanya Arya. "Sendirian. Ini, aku bawain sarapan buat kamu." Ami memberikan bingkisan berwarna putih itu pada Arya. "Motornya masih mogok?" "Oh, nggak. Sudah di servis kemarin di bengkel, sempat mogok saat Gendis pake. Tapi ini udah oke kok." Arya membersihkan tangannya lalu mengambil bingkisan yang Ami berikan. "Kamu repot-repot, masuk yuk." Untuk seorang laki-laki yang tinggal sendiri dan tanpa ada orang lain yang membantu membersihkan rumahnya, rumah ini selalu saja rapi dan bersih. "Sarapan bareng, Mi," seru Arya dari ruang makan. Ami melangkah mendekati Arya yang sedang membuka bungkus lontong sayur itu. "Satu buat kamu, satu buat aku. Kamu mau kopi
"Ma," panggil Sakti. Pelan dia membuka pintu kamar Hanna, wanita yang melahirkannya itu terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. "Ma," ucap Sakti lagi, namun Hanna masih belum menjawab. "Mama sakit sudah dua hari ini." Suara Tari membuat Sakti menoleh. Gadis itu membawakan bubur dan juga teh hangat untuk Hanna. Belakangan ini, Tari memutuskan untuk memanggil Hanna dengan sebutan mama dan bukan ibu lagi. "Sakit apa?" Sakti duduk di sisi tempat tidur. "Mama bilang nggak enak badan. Ma ... bangun yuk, makan dulu." "Papa?" tanya Sakti pada Tari. "Papa seminggu terakhir sibuk mengurus pembatalan penanaman modal di perusahaan— siapa Mas, itu yang kemarin mau di jodohkan sama Mas Sakti." "Oh, ya sudah nanti kita ngobrol lagi. Ma, bangun dulu." Sakti menggerakkan lengan Hanna dan berhasil membuat wanita paruh baya itu membuka matanya. "Kamu udah pulang," lirih Hanna. "Kapan? gimana Jogja?" Hanna pelan menggerakkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di sand
Jakarta dengan kemacetannya pagi itu, membawa Sakti mengarahkan laju mobilnya menuju kantor pusat milik Satyo Anggara. Pembicaraannya dengan Hanna kemarin membuatnya berpikir siapa lagi yang akan berpihak pada Satyo kalau bukan dia. Hanya untuk kepentingan perusahaan, ini juga demi Hanna. Beberapa pasang mata memandangnya dengan tatapan intimidasi, sebagian lagi seperti merasa lega akan kehadiran Sakti. Setidaknya Sakti hadir untuk membantu Satyo dalam melawan Billy yang mengajukan gugatan pencemaran nama baik dan penipuan. "Pagi, Pa." Sakti memasuki ruangan itu. Satyo mengangkat wajahnya, ada semburat senyum menghiasi wajahnya pagi itu. Satyo yakin jika Sakti cepat atau lambat akan menemuinya. "Kapan pulang?" tanya Satyo. "Kemarin lusa," jawab Sakti lalu melangkah dan menempati sofa ruangan itu. "Mama nggak cerita?" "Papa pulang mama kamu sudah tidur, tadi pagi-pagi sekali Papa juga sudah berangkat," ujar Satyo beranjak dari tempat duduknya menghampiri Sakti. "Kemarin mama ceri
Sakti memasuki ruang sidang, sidang itu sudah berjalan setengah jam yang lalu. Dia sedikit telat karena menyelesaikan meeting terlebih dahulu dan tidak bisa dia tinggal. Mendengarkan jaksa penuntut dan para pengacara yang saling adu debat sebenarnya sedikit membuat Sakti pusing. Apalagi Billy yang mengiba menuntut haknya karena sudah merasa di rugikan. Di pojok ruangan, mata Sakti bersitatap dengan wanita yang beberapa waktu lalu memintanya untuk menikahi dengan alasan agar perusahaan mereka semakin berkembang pesat. Maya terduduk diam di sana, dia langsung menunduk saat sadar matanya bersitatap dengan Sakti. Seorang anak perempuan yang menginginkan segala sesuatu yang terbaik bagi keluarganya hingga tanpa sadar melakukan dan mendukung cara yang salah. "Berdasarkan bukti yang kami punya, jelas di sini klien kami tidak dapat mengabulkan permintaan dari saudara penuntut. Bukti tanda tangan serta perjanjian pun belum menorehkan tanda tangan pemegang saham terbesar yaitu istri dari kli
"Sebentar," ujar Gendis menyahuti ketukan pintu kamar kost-nya. "Siapa, sih?" Waktu menunjukkan jam sembilan malam saat itu, siapa tamu yang datang malam-malam begini. Gendis membuka pintu perlahan. "Hai," sapa lelaki tersenyum, dia masih mengenakan pakaian kantor siang tadi. "Sakti? Astaga ... kok nggak bilang kalo mau ke Jogja," ujar Gendis kegirangan. "Surprise," ucapnya. "Sengaja nggak kasih tau kamu, tadi dari sidang kasus papa aku langsung ke bandara. Aku nggak di suruh masuk?" Sakti memasang wajah memelas. "Sudah jam sembilan, enggak enak sama yang lain," ujar Gendis. "Tapi yang lain enak-enak aja sama kamu," kekeh Sakti sambil melirik sepasang kekasih yang baru saja memasuki gerbang kost Gendis. "Sebentar tapi," ujar Gendis. "Hhmm ...." Sakti memasuki kamar yang ukurannya hanya setengah dari kamarnya itu,. "Aku buatin kamu kopi, mau?" tanya Gendis. "Enggak usah. Sini ... pacarnya dateng bukannya di manja," goda Sakti. "Gimana sidangnya?" tanya Gendis, duduk di sisi
Sakti duduk di kursi taman tidak jauh dari kantor Gendis berada. Sudah 15 menit dia berada di sana menunggu Gendis keluar dari kantornya. Tak lama kemudian seperti perkiraan Sakti gadis itu muncul di antara beberapa orang yang juga keluar dari pintu itu. Gendis melambaikan tangan padanya, hingga Sakti melihat sosok lain juga datang menghampiri kekasihnya itu. "Mas Arya," ucap Gendis terkejut melihat kehadiran Arya di sana. Pandangan mata Gendis beralih pada Sakti yabg berjalan menuju tempat dia berdiri. "Aduh," batin Gendis. "Hai, Dis," sapa Arya. Gendis melemparkan senyum tipis pada lelaki itu. "Pulang?" "Iya, Mas. Mas Arya—" "Sayang," panggil Sakti yang berjalan santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Arya ikut menoleh ke asal suara, tak di sangkanya Sakti juga berada di sana. "Sudah siap?" tanya Sakti. "Hei, Arya," sapa Sakti basa basi. "Apa kabar?" "Baik," ucap Arya. "Ada di Jogja?" "Iya, biasalah. Hubungan jarak jauh ini harus sering-sering di tengok.