Enjoy reading 😘
Sakti memasuki ruang sidang, sidang itu sudah berjalan setengah jam yang lalu. Dia sedikit telat karena menyelesaikan meeting terlebih dahulu dan tidak bisa dia tinggal. Mendengarkan jaksa penuntut dan para pengacara yang saling adu debat sebenarnya sedikit membuat Sakti pusing. Apalagi Billy yang mengiba menuntut haknya karena sudah merasa di rugikan. Di pojok ruangan, mata Sakti bersitatap dengan wanita yang beberapa waktu lalu memintanya untuk menikahi dengan alasan agar perusahaan mereka semakin berkembang pesat. Maya terduduk diam di sana, dia langsung menunduk saat sadar matanya bersitatap dengan Sakti. Seorang anak perempuan yang menginginkan segala sesuatu yang terbaik bagi keluarganya hingga tanpa sadar melakukan dan mendukung cara yang salah. "Berdasarkan bukti yang kami punya, jelas di sini klien kami tidak dapat mengabulkan permintaan dari saudara penuntut. Bukti tanda tangan serta perjanjian pun belum menorehkan tanda tangan pemegang saham terbesar yaitu istri dari kli
"Sebentar," ujar Gendis menyahuti ketukan pintu kamar kost-nya. "Siapa, sih?" Waktu menunjukkan jam sembilan malam saat itu, siapa tamu yang datang malam-malam begini. Gendis membuka pintu perlahan. "Hai," sapa lelaki tersenyum, dia masih mengenakan pakaian kantor siang tadi. "Sakti? Astaga ... kok nggak bilang kalo mau ke Jogja," ujar Gendis kegirangan. "Surprise," ucapnya. "Sengaja nggak kasih tau kamu, tadi dari sidang kasus papa aku langsung ke bandara. Aku nggak di suruh masuk?" Sakti memasang wajah memelas. "Sudah jam sembilan, enggak enak sama yang lain," ujar Gendis. "Tapi yang lain enak-enak aja sama kamu," kekeh Sakti sambil melirik sepasang kekasih yang baru saja memasuki gerbang kost Gendis. "Sebentar tapi," ujar Gendis. "Hhmm ...." Sakti memasuki kamar yang ukurannya hanya setengah dari kamarnya itu,. "Aku buatin kamu kopi, mau?" tanya Gendis. "Enggak usah. Sini ... pacarnya dateng bukannya di manja," goda Sakti. "Gimana sidangnya?" tanya Gendis, duduk di sisi
Sakti duduk di kursi taman tidak jauh dari kantor Gendis berada. Sudah 15 menit dia berada di sana menunggu Gendis keluar dari kantornya. Tak lama kemudian seperti perkiraan Sakti gadis itu muncul di antara beberapa orang yang juga keluar dari pintu itu. Gendis melambaikan tangan padanya, hingga Sakti melihat sosok lain juga datang menghampiri kekasihnya itu. "Mas Arya," ucap Gendis terkejut melihat kehadiran Arya di sana. Pandangan mata Gendis beralih pada Sakti yabg berjalan menuju tempat dia berdiri. "Aduh," batin Gendis. "Hai, Dis," sapa Arya. Gendis melemparkan senyum tipis pada lelaki itu. "Pulang?" "Iya, Mas. Mas Arya—" "Sayang," panggil Sakti yang berjalan santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Arya ikut menoleh ke asal suara, tak di sangkanya Sakti juga berada di sana. "Sudah siap?" tanya Sakti. "Hei, Arya," sapa Sakti basa basi. "Apa kabar?" "Baik," ucap Arya. "Ada di Jogja?" "Iya, biasalah. Hubungan jarak jauh ini harus sering-sering di tengok.
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kayu. Di luar sana sudah terdengar suara Bapak dan Sakti sedang berbincang. Hari ini rencananya Sakti meminta izin kepada orang tua Gendis untuk membawa Gendis ke Jakarta beberapa hari. "Jadi gabah ini atau bulir padi ini sebelum di giling yan harus di jemur dulu," ujar Hendro. "Oh gitu. Saya kira Gunung Kidul itu daerah yang gersang, Pak. Selain di kelilingi pantai kata supir saya di sini rawan air." "Iya dulunya, air bersih susah sekali di sini. Sampai sekarang pun meski mengalir setiap hari tapi tetap harus di endapkan karena mengandung banyak kapur,"ujar Hendro sambil menebar gabah memenuhi terpal untuk di jemur. "Kalo sawah, kebetulan ada yang masih bisa di garap." "Bapak senang banget tinggal di sini, ya." "Iya, tapi masa saat merantau di Jakarta itu masa paling yang tidak bisa Bapak lupakan. Bertemu dengan berbagai macam orang dan watak. Melihat dunia ternyata tidak itu-itu saja. Kalo di desa seperti ini kan
Sakti mengendap-endap ke ruang tengah dimana kamar tamu berada. Saat itu pukul satu malam, ini hari kedua Gendis menginap di kediaman Anggara dan selama dua hari pula Gendis hanya milik Hanna dan Tari. Kemanapun ibunya pergi Gendis selalu diminta untuk ikut, ada baiknya juga karena Hanna kembali seperti sediakala. Hanya saja, hati Sakti yang tak menentu menahan rindu meski saling bertemu. Beberapa kali ketukan di pintu akhirnya menyadarkan Gendis. Meski berat membuka matanya, gadis yang mengenakan piyama di tas lutut itu pun melangkah menuju pintu kamar. "Sayang," sapa Sakti sambil tersenyum. "Eh, ngapain?" tanya Gendis menahan tubuh Sakti yang akan masuk ke dalam kamarnya. "Mau tidur sama kamu," ujar Sakti melepaskan tangan Gendis. "Sakti, jangan gila! Kalo mama kamu liat gimana?"Gendis buru-buru menutup pintu kamarnya. "Kalo liat berarti bakal cepet di nikahin," kata Sakti menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. "Sini," ujarnya menepuk sisi tempat tidur. "Udah sini, aku ng
"Pulang sekarang?" tanya Arya pada Ami. Mereka semakin dekat setelah rencana konyol yang tiba-tiba Ami utarakan saat itu pada Gendis dan Sakti untuk makan malam bersama satu minggu yang lalu. "Makasih udah nyempetin jemput aku," ucap Ami. "Enggak masalah, lagian hujan kamu juga nggak bawa mobil. Jadi nggak ada salahnya aku jemput." Arya menoleh sebentar pada lawan bicaranya. "Banyak banget kerjaan sampe harus lembur?" tanya Arya yang melihat wajah kelelahan Ami. "Biasalah ada beberapa kontrak baru dengan perusahaan outsourcing yang menaungi sebagian karyawan yang belum diangkat sebagai permanen staf." "Meeting?" "Iya, lama belum lagi pembahasan dengan owner hotel," ujar Ami sambil memijat keningnya. "Gendis ada?" tanya Arya tanpa sadar membuat ekspresi wajah Ami berubah. "Maksud aku Gendis juga ikut meeting?" "Hanya level manager ke atas," jawab Ami kali ini datar. "Oh." Arya semakin merasa bersalah, dia merasa tak enak hati pada gadis itu karena masih sering menanyakan Gendi
Sakti dan Hanna duduk di kursi panjang ruangan itu, sementara Satyo duduk di antara tim pengacaranya. Mereka menunggu ketuk palu Hakim untuk memberikan keputusan atas perkara yang di tuntutkan oelh Billy pada Satyo. "Maka dengan ini, Saudara Satyo Anggara dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan penipuan maupun pencemaran nama baik. Bukti-bukti yang dijadikan acuan tuntutan Saudara penuntut tidak dapat menjerat Saudara Satyo Anggara di mata hukum. Dengan ini sidang saya nyatakan di tutup." Ketukan palu sebanyak tiga kali itupun akhirnya mampu membuat Satyo Anggara bernapas lega. Setelah menjalani persidangan sebanyak tiga kali dan di akhiri dengan gebrakan dari pengacara muda yang tidak pernah dia sangka-sangka. "Selamat, Pak Satyo," ujar Windu menjabat tangan Satyo. "Sama-sama, terimakasih atas kerjasamanya," jawab Satyo. "Untuk kasus ini apa kita akan menuntut balik?" tanya Windu. "Tidak usah, kalaupun mereka ingin mengajukan banding. Entah apalagi yang ak
Acara hari ini berjalan sesuai dengan harapan Sakti dan Gendis, meski senyum sangat jarang menghiasi wajah Satyo. Lelaki itu memang belum sepenuhnya menerima Gendis namun karena harus menepati janjinya pada Sakti, mau tak mau dia harus melakukannya. "Jadi, rencana setelah ini apa?" tanya Hanna pada Gendis sebelum mereka pulang ke Jogja. "Sakti bilang, aku harus ikut dia ke Jakarta, Tante," jawab Gendis. "Bolehkan, Bu?" tanya Gendis pada ibunya. "Tapi memang seharusnya gitu Mbak Wati, biar nggak ada celah yang aneh-aneh," kata Hanna. "Kalo saya ini sebenarnya terserah aja, Mbak Hanna. Asal Gendis merasa nyaman, di sana nanti kerja lagi, Dis?" "Iya, Bu. Rencananya di perusahaan Sakti yang baru di kembangkan." Gendis malu-malu menatap Hanna. "Nah itu lebih baik, Mama setuju," ucap Hanna. "Tari panggil Mas-mu kemari," titah Hanna pada Tari. Sakti yang duduk bersama Hendro dan Satyo di teras depan akhirnya ikut masuk ketika Tari memintanya untuk masuk ke dalam. "Kenapa?" tanya Sakti