Enjoy reading 😘
"Pulang sekarang?" tanya Arya pada Ami. Mereka semakin dekat setelah rencana konyol yang tiba-tiba Ami utarakan saat itu pada Gendis dan Sakti untuk makan malam bersama satu minggu yang lalu. "Makasih udah nyempetin jemput aku," ucap Ami. "Enggak masalah, lagian hujan kamu juga nggak bawa mobil. Jadi nggak ada salahnya aku jemput." Arya menoleh sebentar pada lawan bicaranya. "Banyak banget kerjaan sampe harus lembur?" tanya Arya yang melihat wajah kelelahan Ami. "Biasalah ada beberapa kontrak baru dengan perusahaan outsourcing yang menaungi sebagian karyawan yang belum diangkat sebagai permanen staf." "Meeting?" "Iya, lama belum lagi pembahasan dengan owner hotel," ujar Ami sambil memijat keningnya. "Gendis ada?" tanya Arya tanpa sadar membuat ekspresi wajah Ami berubah. "Maksud aku Gendis juga ikut meeting?" "Hanya level manager ke atas," jawab Ami kali ini datar. "Oh." Arya semakin merasa bersalah, dia merasa tak enak hati pada gadis itu karena masih sering menanyakan Gendi
Sakti dan Hanna duduk di kursi panjang ruangan itu, sementara Satyo duduk di antara tim pengacaranya. Mereka menunggu ketuk palu Hakim untuk memberikan keputusan atas perkara yang di tuntutkan oelh Billy pada Satyo. "Maka dengan ini, Saudara Satyo Anggara dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan penipuan maupun pencemaran nama baik. Bukti-bukti yang dijadikan acuan tuntutan Saudara penuntut tidak dapat menjerat Saudara Satyo Anggara di mata hukum. Dengan ini sidang saya nyatakan di tutup." Ketukan palu sebanyak tiga kali itupun akhirnya mampu membuat Satyo Anggara bernapas lega. Setelah menjalani persidangan sebanyak tiga kali dan di akhiri dengan gebrakan dari pengacara muda yang tidak pernah dia sangka-sangka. "Selamat, Pak Satyo," ujar Windu menjabat tangan Satyo. "Sama-sama, terimakasih atas kerjasamanya," jawab Satyo. "Untuk kasus ini apa kita akan menuntut balik?" tanya Windu. "Tidak usah, kalaupun mereka ingin mengajukan banding. Entah apalagi yang ak
Acara hari ini berjalan sesuai dengan harapan Sakti dan Gendis, meski senyum sangat jarang menghiasi wajah Satyo. Lelaki itu memang belum sepenuhnya menerima Gendis namun karena harus menepati janjinya pada Sakti, mau tak mau dia harus melakukannya. "Jadi, rencana setelah ini apa?" tanya Hanna pada Gendis sebelum mereka pulang ke Jogja. "Sakti bilang, aku harus ikut dia ke Jakarta, Tante," jawab Gendis. "Bolehkan, Bu?" tanya Gendis pada ibunya. "Tapi memang seharusnya gitu Mbak Wati, biar nggak ada celah yang aneh-aneh," kata Hanna. "Kalo saya ini sebenarnya terserah aja, Mbak Hanna. Asal Gendis merasa nyaman, di sana nanti kerja lagi, Dis?" "Iya, Bu. Rencananya di perusahaan Sakti yang baru di kembangkan." Gendis malu-malu menatap Hanna. "Nah itu lebih baik, Mama setuju," ucap Hanna. "Tari panggil Mas-mu kemari," titah Hanna pada Tari. Sakti yang duduk bersama Hendro dan Satyo di teras depan akhirnya ikut masuk ketika Tari memintanya untuk masuk ke dalam. "Kenapa?" tanya Sakti
Gendis melenggang masuk ke kantor pagi itu, masih sama dengan hari-hari sebelumnya dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Hari ini adalah hari terakhir Gendis bekerja, entah mengapa lebih dari hampir enam bulan dia bekerja di hotel ini rasanya begitu nyaman. "Pak Bowo," ucap Gendis di depan pintu ruangan atasannya. "Hei Gendis, masuk," ujar Bowo lelaki feminim itu. "Duduk." Bowo mempersilahkan Gendis untuk duduk. "Gimana? Apa yang bisa aku bantu?" "Mm ... mengenai surat pengunduran diri saya. Pak Bowo sudah terima dan ini hari terakhir saya bekerja di hotel ini," kata Gendis. " Pekerjaan-pekerjaan saya sudah saya selesaikan. Terimakasih atas bimbingan Bapak selama saya bekerja di sini sudah sangat membantu sekali." "Sama-sama Gendis, semoga kamu semakin sukses, lancar acaranya. Tapi serius, saya kaget saat tau kalo ternyata kamu calon mantu salah satu orang terkaya di Indonesia." "Bapak bisa aja." Gendis tersenyum. "Saya jadi inget sama salah satu pepatah, jodoh itu emang ngg
Gendis bersusah payah menggeret koper berukuran besar keluar dari area kedatangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sementara Sakti menunggunya di luar dengan kedua tangan berada di saku celananya sambil tersenyum geli. "Bantuin," kata Gendis tanpa suara, Sakti hanya menggeleng. "Ish, jahat." Wajah Gendis berubah kesal. Tiba saat Gendis berada di hadapan Sakti, gadis itu mengusap peluh. "Capek ya?" tanya Sakti tanpa dosa. "Sini, aku bawa in," katanya sambil tertawa kecil. "Enggak usah, aku masih mampu," sungut gadis itu. "Nyesel aku," gerutunya. "Hah? Gimana?" Sakti mengambil alih koper Gendis. "Nyesel?" "Iya, nyebelin. Kesel!" umpat Gendis. Dengan cepat Sakti merengkuh pinggang Gendis. "Gita aja ngambek, aku kan cuma bercanda tadi." "Enggak lucu," ujar Gendis. "Sini," katanya sambil menarik pegangan koper besar itu. "Gitu, ngambek. Tambah cantik kalo ngambek," goda Sakti menjawil ujung hidung Gendis. "Kita kesana yuk. Nunggu mobil," ajak Sakti menggandeng tangan Gendis
Gendis tergopoh-gopoh turun dari lantai dua mendengar suara bel berbunyi berkali-kali. Bik Sumi, pembantu rumahtangga yang diserahkan tanggung jawab oleh Sakti mengurus rumah ini sedang pergi membeli buah di depan gerbang komplek.Dengan rambut di balut oleh handuk dan menggunakan pakaian seadanya, Gendis membuka pintu rumah."Sakti ada?" tanya Satyo sambil masuk ke ruang tamu rumah itu."Sakti belum pulang, Pa. Biasanya sebentar lagi," jawab Gendis."Tinggal di sini dia?" Satyo duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya."Oh enggak, Pa. Biasanya kalo malam pulang, karena pasti makan malam di rumah."Gendis masih berdiri seperti seorang bawahan yang sedang berhadapan dengan atasannya. Sementara Satyo, sedari tadi mengamati rumah Sakti yang baru kali ini dia kunjungi. Suara mobil di luar membuat Gendis menarik sudut bibirnya. Dalam hati gadis itu dia dapat bernapas lega, Sakti akhirnya datang."Bik Sumi?" Gendis mendapati Bik Sumi datang bersama Sakti."Tadi ketemu di jalan, Mbak," ujar
Sepatu hitam berhak tinggi tujuh sentimeter berbunyi nyaring menuruni anak tangga pagi itu. Rok span berwarna hitam di padukan dengan kemeja baby pink dan tas kerja yang kemarin dibelikan oleh Sakti berada di pundak Gendis. Gadis itu terlihat anggun, pintar dan mandiri. Sakti yang menunggunya di ruang tamu melihat ke arah Gendis, ingin rasanya lelaki itu membawa kembali Gendis ke kamar dan menghabiskan waktu berdua walau hanya sekedar berbincang. Rasanya Sakti tak rela banyak pasang mata yang akan menatap kagum pada tunangannya itu. "Berangkat sekarang?" tanya Gendis menepiskan tangannya pada kemeja Sakti lalu merapikannya kembali. "Enggak jadi aja, gimana?" "Loh, kok nggak jadi? Kemarin kamu yang semangat minta aku kerja di kantor papa." "Aku nggak rela." Sakti meraih tas di pundak Gendis. "Enggak rela?" tanya Gendis bingung. "Nanti kamu banyak yang liatin." "Emang aku barang antik?" Gendis tertawa. "Kamu ada-ada aja. Ayo, nanti telat nggak enak sama papa dan staf yang lain."
Ketukan di pintu ruang kerja Agus membuat Gendis menghentikan pekerjaannya. Agus yang baru saja pergi bersama Satyo mengunjungi proyek terbaru mereka di bidang property meninggalkan Gendis dengan setumpuk pekerjaan di hari pertama dia bekerja. "Masih banyak kerjaannya?" tanya Sakti masuk lalu menutup pintu itu rapat. Sakti tahu betul jika Gendis masih menyimpan marah padanya. Dia menyandarkan bokongnya pada sisi meja kerja Gendis. "Masih," jawab Gendis singkat. "Mau aku bantuin biar cepat selesai?" "Enggak usah, aku bisa kok." Gendis masih pokus dengan pekerjaannya. "Maaf kalo masa lalu aku mengganggu kamu—" "Enggak usah di bahas, aku maklum, aku yang salah," ujar Gendis namun matanya masih menatap layar monitor. "Dari awal aku bilang, aku mau berubah, sampai kita berada di tahap sekarang pun itu karena aku serius," ujar Sakti pelan. "Aku tau ... jadi nggak usah di bahas. Mungkin mood aku yang enggak baik. Risih aja setiap kali ada yang ngomongin masa lalu kamu," ujar Gendis ka