Enjoy reading 😘
Gendis tergopoh-gopoh turun dari lantai dua mendengar suara bel berbunyi berkali-kali. Bik Sumi, pembantu rumahtangga yang diserahkan tanggung jawab oleh Sakti mengurus rumah ini sedang pergi membeli buah di depan gerbang komplek.Dengan rambut di balut oleh handuk dan menggunakan pakaian seadanya, Gendis membuka pintu rumah."Sakti ada?" tanya Satyo sambil masuk ke ruang tamu rumah itu."Sakti belum pulang, Pa. Biasanya sebentar lagi," jawab Gendis."Tinggal di sini dia?" Satyo duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya."Oh enggak, Pa. Biasanya kalo malam pulang, karena pasti makan malam di rumah."Gendis masih berdiri seperti seorang bawahan yang sedang berhadapan dengan atasannya. Sementara Satyo, sedari tadi mengamati rumah Sakti yang baru kali ini dia kunjungi. Suara mobil di luar membuat Gendis menarik sudut bibirnya. Dalam hati gadis itu dia dapat bernapas lega, Sakti akhirnya datang."Bik Sumi?" Gendis mendapati Bik Sumi datang bersama Sakti."Tadi ketemu di jalan, Mbak," ujar
Sepatu hitam berhak tinggi tujuh sentimeter berbunyi nyaring menuruni anak tangga pagi itu. Rok span berwarna hitam di padukan dengan kemeja baby pink dan tas kerja yang kemarin dibelikan oleh Sakti berada di pundak Gendis. Gadis itu terlihat anggun, pintar dan mandiri. Sakti yang menunggunya di ruang tamu melihat ke arah Gendis, ingin rasanya lelaki itu membawa kembali Gendis ke kamar dan menghabiskan waktu berdua walau hanya sekedar berbincang. Rasanya Sakti tak rela banyak pasang mata yang akan menatap kagum pada tunangannya itu. "Berangkat sekarang?" tanya Gendis menepiskan tangannya pada kemeja Sakti lalu merapikannya kembali. "Enggak jadi aja, gimana?" "Loh, kok nggak jadi? Kemarin kamu yang semangat minta aku kerja di kantor papa." "Aku nggak rela." Sakti meraih tas di pundak Gendis. "Enggak rela?" tanya Gendis bingung. "Nanti kamu banyak yang liatin." "Emang aku barang antik?" Gendis tertawa. "Kamu ada-ada aja. Ayo, nanti telat nggak enak sama papa dan staf yang lain."
Ketukan di pintu ruang kerja Agus membuat Gendis menghentikan pekerjaannya. Agus yang baru saja pergi bersama Satyo mengunjungi proyek terbaru mereka di bidang property meninggalkan Gendis dengan setumpuk pekerjaan di hari pertama dia bekerja. "Masih banyak kerjaannya?" tanya Sakti masuk lalu menutup pintu itu rapat. Sakti tahu betul jika Gendis masih menyimpan marah padanya. Dia menyandarkan bokongnya pada sisi meja kerja Gendis. "Masih," jawab Gendis singkat. "Mau aku bantuin biar cepat selesai?" "Enggak usah, aku bisa kok." Gendis masih pokus dengan pekerjaannya. "Maaf kalo masa lalu aku mengganggu kamu—" "Enggak usah di bahas, aku maklum, aku yang salah," ujar Gendis namun matanya masih menatap layar monitor. "Dari awal aku bilang, aku mau berubah, sampai kita berada di tahap sekarang pun itu karena aku serius," ujar Sakti pelan. "Aku tau ... jadi nggak usah di bahas. Mungkin mood aku yang enggak baik. Risih aja setiap kali ada yang ngomongin masa lalu kamu," ujar Gendis ka
Ami baru saja keluar dari kamar mandi ketika Mbok Sari masuk ke kamarnya. Pengasuhnya sejak kecil itu tersenyum padanya, Ami malah heran melihat wanita tua itu tersenyum sumringah. "Kenapa, Mbok?" tanya Ami sambil mengibaskan rambutnya yang basah dengan handuk. "Niku wonten sing madosi, kadose dereng pernah teng mriki. Ganteng ... Mbok ngantos kesupen, nek Mbok sampun sepuh." (Itu ada yang cari, kayaknya belum pernah datang kesini. Ganteng ... Mbok sampe lupa kalo diri Mbok sudah tua.) Mbok Sari tersenyum malu. "Siapa sih?" Ami penasaran. "Ndak tau, lagi ngobrol sama ayahnya Mbak Ami di teras," ujar Mbok Sari khas dengan logat Jawa nya. Ami cepat-cepat berpakaian, lelaki mana tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa memberi kabar terlebih dahulu, mana lagi sampai bisa ngobrol dengan ayahnya, itu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ami keluar dari kamarnya, melangkah menuju teras rumah. Sayup terdengar tawa sang ayah begitu renyah, gadis itu semakin mengerutkan keningnya. Siapa lelak
Gendis memasuki ruang kerja Satyo, hari ini terhitung sudah tiga hari Gendis bekerja di perusahaan itu. Perusahaan yang tadinya hanya bergerak di bidang batu bara seiring waktu berjalan merambah hingga bidang lainnya. "Ada beberapa kata yang masih harus kamu revisi, selebihnya sudah bagus. Kamu belajr cepat juga ternyata," ujar Satyo sambil memberikan beberapa berkas yang sudah di tanda tangani dan beberapa lagi harus di perbaiki oleh Gendis. "Ini vitaminnya dan ini obatnya, kemarin obatnya tidak Bapak minum. Jadi sekarang saya pastikan Bapak harus meminumnya sebelum saya tinggal pergi." Gendis menyodorkan mangkuk kecil berisi beberapa suplemen, vitamin dan obat jantung serta tekanan darah tinggi yang harus Satyo minum setiap hari. "Sakti tau?" tanya Satyo. "Tidak, Pak. Hanya saya dan Pak Agus yang tau." "Saya minta kamu merahasiakan ini dari keluarga saya." Satyo meneguk satu kapsul terakhir. "Saya nggak mau membuat mereka khawatir, terlebih istri saya." "Baik, Pak." Gendis m
Sakti dan Satyo sedang berbincang di taman samping rumahnya setelah makan malam bersama Gendis, Hanna dan Tari. Obrolan malam itu mengenai undangan Satyo untuk mendatangkan keluarga Gendis ke Jakarta. "Kabari keluarganya, minta datang kemari. Papa nggak mau terlalu lama kalian berpacaran. Nanti malah yang pengennya kamu," ujar Satyo melirik sinis pada Sakti. "Jus nya, Pa." Gendis datang membawa dua gelas berisi jus strawberry yang di minta oleh Satyo tadi. "Makasih," jawab Satyo. "Sayang, kita harus kabari ibu sama bapak untuk datang ke Jakarta. Papa minta kita segera menikah," ujar Sakti tersenyum bahagia. "Secepatnya?" "Iya, kenapa? jangan bilang kalian mau memundurkan jadwalnya." Satyo meletakkan gelas jus ke atas meja di sampingnya. "Oh nggak, Pa. Bukan begitu," kata Gendis kelabakan. "Maksudnya, nanti Gendis minta bapak sama ibu datang." Tangan gadis itu begitu dingin, berbicara dengan Satyo di rumah dengan di kantor menurutnya lebih membuat jantung berdebar jika berbicara
Gendis menarik koper besar milik Wati dari teras hingga masuk ke dalam kamar tamu. Kamar itu sudah dirapikan Bik Sumi dari jauh-jauh hari. "Ibu sama bapak nanti tidurnya di sini, Gendis di atas." Gendis meletakkan koper dekat dengan lerai pakaian. "Kamar mandinya ada di sini," ujar Gendis lagi membuka pintu kamar mandi. "Jadi kamu tinggal di rumahnya Nak Sakti, Dis?" Wati duduk di sisi tempat tidur. "Enggak seperti yang ibu pikirkan. Sakti tinggal di apartemen, kadang kita lebih sering di rumah keluarga Anggara. Jangan mikir yang macem-macem ah." Gendis tersenyum. "Bapakmu itu kalo sudah ketemu Sakti ada aja yang di bahas." Wati memperhatikan Gendis dengan seksama, matanya turun pada lingkaran leher Gendis dengan seuntai kalung yang menghias lehernya. "Oh iya, ini dari Mama Hanna. Dia kasih ke Gendis, Bu. Katanya dengan kalung ini, itu artinya Gendis sudah di terima di keluarga mereka." "Cantik sekali, Dis. Ibu malah nggak ada kasih apa-apa ke kamu," ujar Wati dengan ekspresi waj
Gendis mematut dirinya di depan kaca besar di dalam kamarnya. Tubuhnya kini berbalut kain berwarna hijau dipadukan dengan roncean melati sebagai slayer penutup bagian bahu. Gadis itu sudah menunggu kurang lebih setengah jam dan akhirnya di jemput oleh sang Ibu untuk turun ke bawah melakukan prosesi siraman adat Jawa. Acara adat itu begitu khidmat, padahal dalam bayangan Gendis pernikahannya akan berlangsung sederhana namun Satyo menolak permintaan calon menantunya itu. "Relasi Papa ini banyak, belum lagi relasi Sakti dan keluarga besar Anggara, enggak mungkin kalo kita rayakan hanya secara sederhana," ujar Satyo pada Gendis kala itu dan diiyakan oleh Hendro. "Lagi pula Dis, keluarga di kampung juga pengen liat kamu nikah. Pakde itu kan saudara Bapak satu-satunya, walau bagaimanapun kita tetap harus mengundang dia dan keluarganya kemari apalagi keluarga ibumu itu," ujar Hendro. "Mama juga sudah ada pembicaraan dengan pihak wedding organizer nya, Dis. Untuk semua acara dilakukan di d