Enjoy reading đ
Matahari pagi bersinar cerah, halaman kecil itu terlihat begitu indah dengan hamparan rumput hijau dan tanaman yang menghiasi. Siraman pagi itu belum juga kering ketika langkah kaki wanita itu memasuki pekarangan rumah. "Pagi." Sapaan Ami membuat Arya menoleh. "Hei, pagi," jawab Arya. Matanya mengedar ke belakang. "Sama siapa?" tanya Arya. "Sendirian. Ini, aku bawain sarapan buat kamu." Ami memberikan bingkisan berwarna putih itu pada Arya. "Motornya masih mogok?" "Oh, nggak. Sudah di servis kemarin di bengkel, sempat mogok saat Gendis pake. Tapi ini udah oke kok." Arya membersihkan tangannya lalu mengambil bingkisan yang Ami berikan. "Kamu repot-repot, masuk yuk." Untuk seorang laki-laki yang tinggal sendiri dan tanpa ada orang lain yang membantu membersihkan rumahnya, rumah ini selalu saja rapi dan bersih. "Sarapan bareng, Mi," seru Arya dari ruang makan. Ami melangkah mendekati Arya yang sedang membuka bungkus lontong sayur itu. "Satu buat kamu, satu buat aku. Kamu mau kopi
"Ma," panggil Sakti. Pelan dia membuka pintu kamar Hanna, wanita yang melahirkannya itu terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. "Ma," ucap Sakti lagi, namun Hanna masih belum menjawab. "Mama sakit sudah dua hari ini." Suara Tari membuat Sakti menoleh. Gadis itu membawakan bubur dan juga teh hangat untuk Hanna. Belakangan ini, Tari memutuskan untuk memanggil Hanna dengan sebutan mama dan bukan ibu lagi. "Sakit apa?" Sakti duduk di sisi tempat tidur. "Mama bilang nggak enak badan. Ma ... bangun yuk, makan dulu." "Papa?" tanya Sakti pada Tari. "Papa seminggu terakhir sibuk mengurus pembatalan penanaman modal di perusahaanâ siapa Mas, itu yang kemarin mau di jodohkan sama Mas Sakti." "Oh, ya sudah nanti kita ngobrol lagi. Ma, bangun dulu." Sakti menggerakkan lengan Hanna dan berhasil membuat wanita paruh baya itu membuka matanya. "Kamu udah pulang," lirih Hanna. "Kapan? gimana Jogja?" Hanna pelan menggerakkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di sand
Jakarta dengan kemacetannya pagi itu, membawa Sakti mengarahkan laju mobilnya menuju kantor pusat milik Satyo Anggara. Pembicaraannya dengan Hanna kemarin membuatnya berpikir siapa lagi yang akan berpihak pada Satyo kalau bukan dia. Hanya untuk kepentingan perusahaan, ini juga demi Hanna. Beberapa pasang mata memandangnya dengan tatapan intimidasi, sebagian lagi seperti merasa lega akan kehadiran Sakti. Setidaknya Sakti hadir untuk membantu Satyo dalam melawan Billy yang mengajukan gugatan pencemaran nama baik dan penipuan. "Pagi, Pa." Sakti memasuki ruangan itu. Satyo mengangkat wajahnya, ada semburat senyum menghiasi wajahnya pagi itu. Satyo yakin jika Sakti cepat atau lambat akan menemuinya. "Kapan pulang?" tanya Satyo. "Kemarin lusa," jawab Sakti lalu melangkah dan menempati sofa ruangan itu. "Mama nggak cerita?" "Papa pulang mama kamu sudah tidur, tadi pagi-pagi sekali Papa juga sudah berangkat," ujar Satyo beranjak dari tempat duduknya menghampiri Sakti. "Kemarin mama ceri
Sakti memasuki ruang sidang, sidang itu sudah berjalan setengah jam yang lalu. Dia sedikit telat karena menyelesaikan meeting terlebih dahulu dan tidak bisa dia tinggal. Mendengarkan jaksa penuntut dan para pengacara yang saling adu debat sebenarnya sedikit membuat Sakti pusing. Apalagi Billy yang mengiba menuntut haknya karena sudah merasa di rugikan. Di pojok ruangan, mata Sakti bersitatap dengan wanita yang beberapa waktu lalu memintanya untuk menikahi dengan alasan agar perusahaan mereka semakin berkembang pesat. Maya terduduk diam di sana, dia langsung menunduk saat sadar matanya bersitatap dengan Sakti. Seorang anak perempuan yang menginginkan segala sesuatu yang terbaik bagi keluarganya hingga tanpa sadar melakukan dan mendukung cara yang salah. "Berdasarkan bukti yang kami punya, jelas di sini klien kami tidak dapat mengabulkan permintaan dari saudara penuntut. Bukti tanda tangan serta perjanjian pun belum menorehkan tanda tangan pemegang saham terbesar yaitu istri dari kli
"Sebentar," ujar Gendis menyahuti ketukan pintu kamar kost-nya. "Siapa, sih?" Waktu menunjukkan jam sembilan malam saat itu, siapa tamu yang datang malam-malam begini. Gendis membuka pintu perlahan. "Hai," sapa lelaki tersenyum, dia masih mengenakan pakaian kantor siang tadi. "Sakti? Astaga ... kok nggak bilang kalo mau ke Jogja," ujar Gendis kegirangan. "Surprise," ucapnya. "Sengaja nggak kasih tau kamu, tadi dari sidang kasus papa aku langsung ke bandara. Aku nggak di suruh masuk?" Sakti memasang wajah memelas. "Sudah jam sembilan, enggak enak sama yang lain," ujar Gendis. "Tapi yang lain enak-enak aja sama kamu," kekeh Sakti sambil melirik sepasang kekasih yang baru saja memasuki gerbang kost Gendis. "Sebentar tapi," ujar Gendis. "Hhmm ...." Sakti memasuki kamar yang ukurannya hanya setengah dari kamarnya itu,. "Aku buatin kamu kopi, mau?" tanya Gendis. "Enggak usah. Sini ... pacarnya dateng bukannya di manja," goda Sakti. "Gimana sidangnya?" tanya Gendis, duduk di sisi
Sakti duduk di kursi taman tidak jauh dari kantor Gendis berada. Sudah 15 menit dia berada di sana menunggu Gendis keluar dari kantornya. Tak lama kemudian seperti perkiraan Sakti gadis itu muncul di antara beberapa orang yang juga keluar dari pintu itu. Gendis melambaikan tangan padanya, hingga Sakti melihat sosok lain juga datang menghampiri kekasihnya itu. "Mas Arya," ucap Gendis terkejut melihat kehadiran Arya di sana. Pandangan mata Gendis beralih pada Sakti yabg berjalan menuju tempat dia berdiri. "Aduh," batin Gendis. "Hai, Dis," sapa Arya. Gendis melemparkan senyum tipis pada lelaki itu. "Pulang?" "Iya, Mas. Mas Aryaâ" "Sayang," panggil Sakti yang berjalan santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Arya ikut menoleh ke asal suara, tak di sangkanya Sakti juga berada di sana. "Sudah siap?" tanya Sakti. "Hei, Arya," sapa Sakti basa basi. "Apa kabar?" "Baik," ucap Arya. "Ada di Jogja?" "Iya, biasalah. Hubungan jarak jauh ini harus sering-sering di tengok.
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kayu. Di luar sana sudah terdengar suara Bapak dan Sakti sedang berbincang. Hari ini rencananya Sakti meminta izin kepada orang tua Gendis untuk membawa Gendis ke Jakarta beberapa hari. "Jadi gabah ini atau bulir padi ini sebelum di giling yan harus di jemur dulu," ujar Hendro. "Oh gitu. Saya kira Gunung Kidul itu daerah yang gersang, Pak. Selain di kelilingi pantai kata supir saya di sini rawan air." "Iya dulunya, air bersih susah sekali di sini. Sampai sekarang pun meski mengalir setiap hari tapi tetap harus di endapkan karena mengandung banyak kapur,"ujar Hendro sambil menebar gabah memenuhi terpal untuk di jemur. "Kalo sawah, kebetulan ada yang masih bisa di garap." "Bapak senang banget tinggal di sini, ya." "Iya, tapi masa saat merantau di Jakarta itu masa paling yang tidak bisa Bapak lupakan. Bertemu dengan berbagai macam orang dan watak. Melihat dunia ternyata tidak itu-itu saja. Kalo di desa seperti ini kan
Sakti mengendap-endap ke ruang tengah dimana kamar tamu berada. Saat itu pukul satu malam, ini hari kedua Gendis menginap di kediaman Anggara dan selama dua hari pula Gendis hanya milik Hanna dan Tari. Kemanapun ibunya pergi Gendis selalu diminta untuk ikut, ada baiknya juga karena Hanna kembali seperti sediakala. Hanya saja, hati Sakti yang tak menentu menahan rindu meski saling bertemu. Beberapa kali ketukan di pintu akhirnya menyadarkan Gendis. Meski berat membuka matanya, gadis yang mengenakan piyama di tas lutut itu pun melangkah menuju pintu kamar. "Sayang," sapa Sakti sambil tersenyum. "Eh, ngapain?" tanya Gendis menahan tubuh Sakti yang akan masuk ke dalam kamarnya. "Mau tidur sama kamu," ujar Sakti melepaskan tangan Gendis. "Sakti, jangan gila! Kalo mama kamu liat gimana?"Gendis buru-buru menutup pintu kamarnya. "Kalo liat berarti bakal cepet di nikahin," kata Sakti menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. "Sini," ujarnya menepuk sisi tempat tidur. "Udah sini, aku ng