Enjoy reading đ
Ketukan di pintu memaksa tiga orang di ruangan yang beraroma obat-obatan itu harus menoleh ke arah suara. "Selamat pagi," sapa Sakti. "Pagi," jawab Wati. Sementara Bayu berpura-pura tidak melihat lelaki berwajah tampan itu. "Bagaimana keadaan Bapak, Bu?" tanya Sakti yang langsung menundukkan kepalanya hormat pada lelaki paruh baya yang masih terbaring lemah di ranjang itu. "Masih lemas, 15 menit yang lalu Bapak sudah bangun. Minta air putih, ini mau ibu coba suapkan bubur sedikit-sedikit," kata Wati. "Gendis dimana?" "Bersama Arya di ruang tunggu," jawab Sakti. "Apa yang di rasa, Pak?" tanya Sakti mendekat ke sisi tempat tidur. Lelaki berumur kepala lima itu hanya diam, menatap Sakti hanya sekilas. Sakti tahu betul, rasa hati lelaki itu belum sepenuhnya baik mengingat perlakuan Satyo tempo hari. "Biarkan Bapak istirahat dulu, dokter bilang nggak boleh mikir yang berat-berat," ujar Bayu dengan nada sinis. "Baik kalo begitu. Ibu, kita bisa bicara berdua?" pinta Sakti. Seakan me
"Mbak," panggil Bayu. Lelaki yang baru beranjak dewasa itu menemukan Sakti dan Gendis di sudut koridor rumah sakit. "Bayu." "Mbak dicari bapak," ujar Bayu. "Bapak sudah bangun?" "Sudah. Kata bapak, bapak mau ngomong sama Mbak," ujar Bayu melirik Sakti. "Kalo gitu aku masuk dulu, ya," ujar Gendis melepaskan genggaman tangan Sakti dan melangkah cepat. "Bapak," panggil Gendis yang tiba di ambang pintu. Hendro tersenyum ringkih, wajahnya masih nampak lemah. Tubuhnya belum sepenuhnya normal, tapi sebisa mungkin dia tidak ingin membuat Gendis terlalu khawatir. "Kamu jadi nggak kerja," lirih Hendro. "Enggak apa-apa, Gendis sudah izin. Bapak gimana? udah enakan?" "Masih nyeri sedikit," kata Hendro pelan. "Bapak jadi nggak enak, Nak Arya juga jadi libur kerja." Hendro tersenyum pada Arya yang berdiri di ujung tempat tidur. "Bapak nggak usah terlalu banyak berpikir," ujar Arya. Hendro mengangguk, lalu matanya mencari-cari sesuatu. "Bapak cari siapa?" tanya Gendis. "Nak Sakti pula
Wati sudah menunggu di meja makan malam itu. Setengah jam yang lalu Sakti dan Gendis baru saja tiba dari rumah sakit bergantian gan Arya. Arya menepati janjinya untuk menjaga Pak Hendro bersama Bayu. "Dis, ajak Nak Sakti makan dulu," panggil Wati. "Iya, Bu. Sebentar." Gendis muncul dari dalam kamar membawakan beberapa baju dan handuk untuk Sakti yang masih di dalam kamar mandi. "Dia mandi atau berendam sih?" tanya Wati. "Berendam kayaknya, Bu." Gendis tertawa, sudah lebih dari 15 menit Sakti berada di dalam kamar mandi rumah Gendis yang berada di ruang belakang. Jarak kamar mandi dengan rumah itu terpisah sekitar 10 meter lebih. Kamar mandi yang terbagi menjadi dua itu jelas membuat Sakti bingung saat pertama kali melihatnya. "Kenapa kamar mandi nya ada dua? Sebelahan lagi," tanya Sakti bingung. "Yang ini untuk mandi, yang sebelah situ buat buang air besar," jelas Gendis. "Ribet bener tukangnya kasih pembatas ya," kekeh Sakti. "Berisik buruan mandi, biar gantian," ujar Gendis
"Gimana, Man? Beres?" tanya Sakti pada Norman asistennya. "Mereka sudah ok, Pak. Projek ini akan kita mulai minggu depan. Tapi itu artinya staf kita akan memantau di sini selama seminggu ke depan," jawab Norman di seberang sana. "Bagus, kamu urus saja semua keperluannya. Saya kembali ke Jogja kemungkinan lusa, nanti kita sama-sama bertemu lagi dengan mereka. Saya urus dulu masalah pribadi saya dulu di sini." "Baik, Pak." Sakti mengakhiri sambungan telepon itu. Ini adalah hari kedua Sakti berada di Gunung Kidul. Hendro sudah mulai terlihat membaik, hasil pemeriksaan pagi tadi, dokter mengatakan jika tidak ada lagi yang serius lusa Hendro bisa pulang ke rumah. "Sibuk, ya? Harusnya kamu bertemu klien, malahan ikut-ikutan tinggal di sini." Gendis sudah berdiri di belakang tubuh Sakti. "Udah beres kok, kan ada Norman. Urusan perusahaan kalo sudah dia yang handle aku udah tenang, anak itu cepat belajar," ujar Sakti. "Bapak sudah makan?" "Baru selesai, lagi ngobrol sama ibu dan Mas Ar
Hendro terkejut ketika melihat poto yang diperlihatkan oleh Gendis malam itu. Kandang ternaknya sudah terisi kembali, Sakti juga membayar orang untuk menjaga dan merawat hewan-hewan itu. "Ya ampun, Bapak terimakasih sekali, Nak Sakti," ujar Hendro. "Sudah kewajiban saya, Pak. Jadi sekarang Bapak nggak usah mikir apa-apa lagi. Keluar dari rumah sakit Bapak sudah bisa beraktivitas kembali, tapi ... dokter tadi bilang Bapak belum boleh mencari rumput di ladang untuk makan sapi dan kambing." "Lalu gimana hewan-hewan itu makan kalo Bapak nggak nyari rumput," ujar Hendro. "Sudah ada yang mengerjakan, Pak. Bapak hanya memantau saja, nggak usah susah-susah lagi," kata Gendis tersenyum lalu merangkul Wati yang berdiri di sebelahnya. "Aduh, Bapak udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi ini, Bu. Anakmu ini memang selalu penuh kejutan." Mata Hendro berkaca-kaca. "Makasih, Nak Sakti," ucapnya lagi. "Sama-sama, Pak. Selagi masih di sini, rencana saya besok akan kembali ke Jogja. Gendis juga kemba
"Pagi," sapa Gendis pada beberapa teman satu ruangannya. "Pagi, Dis." Bowo berjalann di belakang Gendis. "Eh, Pak Bowo. Maaf," ucap Gendis sambil tersenyum. "Diantar siapa, Dis?" tanya lelaki itu. 'Oh ituâ" "Bapak kamu gimana? Sudah baikan?" tanya Bowo lagi. "Sudah, Pak. Sudah sehat." Gendis menarik kursi kerjanya. "Ok, selamat bekerja, semua." Bowo memasuki ruangannya. Gendis menggulir layar gawainya, ada beberapa pesan masuk diantaranya Arya dan Sakti. Pesan dari Arya menanyakan apakah Gendis sudah sampai dan mulai bekerja. Sedangkan pesan masuk dari Sakti, Sakti meminta Gendis untuk menemuinya di kamar hotel saat jam makan siang. "Dasar." Gendis menarik sudut bibirnya, dia membalas pesan itu pada Sakti. Saat jam makan siang, Gendis melintas melewati ruangan Ami. Gendis hanya melihat sekilas ke dalam ruangan gadis itu. Tatapan mereka beradu, Gendis mencoba melemparkan senyum pada Ami. Bukan membalas senyum Gendis, gadis itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Gendis hanya
Matahari pagi bersinar cerah, halaman kecil itu terlihat begitu indah dengan hamparan rumput hijau dan tanaman yang menghiasi. Siraman pagi itu belum juga kering ketika langkah kaki wanita itu memasuki pekarangan rumah. "Pagi." Sapaan Ami membuat Arya menoleh. "Hei, pagi," jawab Arya. Matanya mengedar ke belakang. "Sama siapa?" tanya Arya. "Sendirian. Ini, aku bawain sarapan buat kamu." Ami memberikan bingkisan berwarna putih itu pada Arya. "Motornya masih mogok?" "Oh, nggak. Sudah di servis kemarin di bengkel, sempat mogok saat Gendis pake. Tapi ini udah oke kok." Arya membersihkan tangannya lalu mengambil bingkisan yang Ami berikan. "Kamu repot-repot, masuk yuk." Untuk seorang laki-laki yang tinggal sendiri dan tanpa ada orang lain yang membantu membersihkan rumahnya, rumah ini selalu saja rapi dan bersih. "Sarapan bareng, Mi," seru Arya dari ruang makan. Ami melangkah mendekati Arya yang sedang membuka bungkus lontong sayur itu. "Satu buat kamu, satu buat aku. Kamu mau kopi
"Ma," panggil Sakti. Pelan dia membuka pintu kamar Hanna, wanita yang melahirkannya itu terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. "Ma," ucap Sakti lagi, namun Hanna masih belum menjawab. "Mama sakit sudah dua hari ini." Suara Tari membuat Sakti menoleh. Gadis itu membawakan bubur dan juga teh hangat untuk Hanna. Belakangan ini, Tari memutuskan untuk memanggil Hanna dengan sebutan mama dan bukan ibu lagi. "Sakit apa?" Sakti duduk di sisi tempat tidur. "Mama bilang nggak enak badan. Ma ... bangun yuk, makan dulu." "Papa?" tanya Sakti pada Tari. "Papa seminggu terakhir sibuk mengurus pembatalan penanaman modal di perusahaanâ siapa Mas, itu yang kemarin mau di jodohkan sama Mas Sakti." "Oh, ya sudah nanti kita ngobrol lagi. Ma, bangun dulu." Sakti menggerakkan lengan Hanna dan berhasil membuat wanita paruh baya itu membuka matanya. "Kamu udah pulang," lirih Hanna. "Kapan? gimana Jogja?" Hanna pelan menggerakkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di sand