Share

Ancaman

Bi Lastri menggandeng tanganku lalu mengajakku duduk di ruang makan. Dia meninggalkanku sebentar lalu kembali dan duduk di sampingku.

"Itu tadi Bu Melisa yang teriak-teriak, Mbak." Ucapan Bi Lastri sangat mengejutkan.

"Masak sih, Bi? Memangnya dia mau ngapain lagi ke sini?" tanyaku penasaran.

Mas Andra dan Melisa sudah bercerai lebih dari tiga tahun yang lalu. Kenapa mantan istri Mas Andra masih saja mengganggunya? Apa ada yang belum selesai di antara mereka?

"Sepertinya dia ingin rujuk. Itu yang sempat saya dengar waktu Bu Melisa bicara berdua sama bapak." Aku hanya bisa mengelus dada berulang kali sambil beristghfar.

"Astaghfirullah ... sudah ditolak, masih saja nekat. Apa nggak ada laki-laki lain di dunia ini sampai-sampai merendahkan harga dirinya? Apa dia nggak tahu kalau Mas Andra sudah menikah lagi?"

"Saya juga nggak tahu, Mbak. Sebaiknya sekarang Mbak istirahat saja di kamar. Kalau Mbak Rara datang, nanti saya panggil." Lagi-lagi itu yang Bi Lastri minta, menyuruhku istirahat.

"Bibi ini kok selalu nyuruh saya istirahat terus, sih. Bisa-bisa badan saya ini nggak sehat lho, Bi. Nggak pernah dibuat gerak. Kalau saya gendut bagaimana? Harusnya Bibi bantu saya bilang sama kedua bodyguard Mas Andra, biar saya bisa bicara sama Melisa itu."

Terus terang saja aku juga ingin bertemu dengan wanita yang bernama Melisa itu. Selain penasaran secantik apa wajahnya, aku juga ingin menanyakan apa tujuannya mencari Mas Andra. Atau mungkin aku akan memperkenalkan diri sebagai istrinya Mas Andra.

"Bapak pasti nggak akan pernah membiarkan Melisa bertemu sama Mbak Arini. Dia itu orangnya bar-bar, nggak seperti Mbak Arini yang kalem dan sabar."

Aku tersanjung mendengar Bi Lastri memujiku. Sebagian orang yang pernah kenal denganku selalu menilaiku seperti itu. Cantik, baik, kalem, dan sabar.

"Saya juga bisa bar-bar lho, Bi," balasku sembari terkekeh.

"Yo tambah bahaya itu, Mbak. Kalau kalian cakar-cakaran terus Mbak Arini terluka, bisa-bisa kami semua dipecat sama bapak. Bu Melisanya masuk penjara."

Mendengar ucapan Bi Lastri, aku jadi merinding. Mungkin jika aku terluka karena Melisa, apa yang dikatakan Bi Lastri benar-benar akan terjadi.

"Bibi benar. Ya sudah deh, saya ke kamar dulu, mau sholat. Nanti kalau Rara dan anak-anaknya datang, tolong suruh masuk ya, Bi. Saya takut bodyguardnya Mas Andra nanti mengusir mereka."

"Insyaa Allah mereka pasti sudah diberitahu sama bapak, siapa saja tamu yang boleh menemui Mbak Arini." Bi Lastri memang sangat mengenal Mas Andra.

"Apakah bapak akan selalu seperti ini sama saya, Bi? Saya juga ingin bebas seperti istri-istri orang lain," keluhku.

Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun pada Bi Lastri. Bi Lastri sendiri sudah tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga kami.

"Sabar, Mbak. Suatu saat bapak pasti berubah. Do'akan saja."

Bi Lastri tersenyum lalu mengusap lembut lenganku. Aku pun hanya bisa mengangguk pasrah. Beberapa saat kemudian terdengar suara salam.

"Sepertinya itu Rara, biar saya saja yang buka pintu. Tolong buatkan minuman dingin buat Rara dan anak-anaknya ya, Bi?" pintaku.

"Baik, Mbak."

Akhirnya aku tidak jadi ke kamar. Aku berjalan ke depan membukakan pintu untuk Rara dan ketiga buah hatinya, Rayhan, Raysa, dan Raya.

"Ayo, masuk. Mas Fahmi nggak apa-apa 'kan kalian ke sini?"

"Nggak apa-apa. Insyaa Allah Mas Fahmi paham."

Aku memberikan dua paper bag pada Rayhan dan Raysa.

"Rayhan, Raysa, Tante belikan crayon sama buku mewarnai. Nanti bawa pulang, ya? Buat belajar di rumah."

"Terima kasih, Tante." Rayhan dan Raysa terlihat sangat senang menerima pemberianku.

"Sini, Raya biar aku gendong."

Aku menggendong Raya yang masih berumur satu tahun. Wajahnya imut dan menggemaskan. Kuciumi kedua pipinya berulang-ulang. Dalam hati, aku berdo'a agar Allah segera memberiku buah hati. Aku juga ingin menjadi seorang ibu.

"Aku mungkin sebentar saja ya, Rin. Aku nggak bisa lama-lama. Sudah empat hari ini, aku jualan nasi bakar di depan gang. Alhamdulillah besok ada pesanan 30 bungkus. Aku sadar, kami nggak bisa terus-terusan menerima bantuanmu. Uang dari kamu minggu lalu aku pakai buat modal usaha jualan. Mas Fahmi juga mau bantu. Dia nanti bagian antar pesanan sebelum berangkat kerja sama jagain anak-anak kalau aku masak."

Bi Lastri datang membawa nampan yang berisi es jeruk, camilan, dan kue bolu buatanku.

"Alhamdulillah, semoga jualanmu laris manis dan berkah. Eh, aku tadi bikin bolu. Cicipin, deh. Tapi maaf kalau bantet. Namanya saja percobaan pertama."

Rara memberikan potongan kue bolu pada Rayhan dan Raysa. Dia lalu makan kue buatanku.

"Lumayanlah rasanya. Daripada nggak ada makanan."

Aku terkekeh mendengar ucapan Rara. Mungkin karena di rumah Rara jarang tersedia makanan. Hampir satu jam aku bercanda dan bermain dengan ketiga buah hatinya. Setelah itu Rara pun pamit pulang. Meskipun sebentar, aku sudah terhibur dengan kedatangan mereka.

***

Tepat pukul sembilan malam, Mas Andra meneleponku.

"Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?"

"Alhamdulillah baik, Mas. Mas sudah makan?"

"Sudah, Sayang. Baru saja aku pulang makan malam sama teman."

"Teman laki-laki atau perempuan, Mas?" Mas Andra tertawa mendengar pertanyaanku, selalu seperti itu.

"Tentu saja teman laki-laki, Sayang. Kamu yang tenang di rumah, jangan curiga. Suamimu ini insyaa Allah setia."

"Bukannya curiga tapi ... aku membayangkan Mas di sana sendiri dan nggak begituan sampai seminggu lebih. Apa Mas bisa tahan? Sementara kalau di rumah, Mas selalu minta setiap hari dan berulang kali."

Melihat kebiasaan suamiku, wajar bukan kalau aku curiga?

"Bedalah, Sayang. Kalau dekat sama kamu, entah kenapa aku selalu ingin."

"Mas nggak bohong?"

"Nggak, Sayang. Apa selama ini aku pernah bohong sama kamu? Kamu tahu sendiri, apa alasanku ke luar kota."

Selama ini Mas Andra memang tidak pernah berkata bohong padaku. Ke luar kota juga memang urusan pekerjaan. Bahkan dia menunjukkan padaku surat perintah dari atasannya.

"Iya, Mas."

"Tadi Rara sama anak-anaknya datang, kan?"

Aku berdecih lirih mendengar pertanyaannya.

"Mas pasti sudah tahu, nggak perlu aku jawab. Mas bisa lihat sendiri dari CCTV dan juga dari kedua bodyguard Mas yang menyebalkan itu."

"Maaf ya, Sayang. Aku hanya ingin yang terbaik buatmu."

"Mas, kenapa Mas nggak pernah cerita kalau selama ini mantan istri Mas sering datang ke sini?" protesku.

"Belum saatnya kamu tahu. Apa Bi Lastri yang cerita?"

"Iya, Mas. Tapi Mas jangan nyalahin Bi Lastri, ya? Bi Lastri satu-satunya teman yang bisa kuajak bicara di rumah ini, Mas."

"Jangan khawatir. Aku sudah mengijinkan Bi Lastri cerita tentang dia padamu."

"Terima kasih, Mas."

"Istirahatlah, aku mau melanjutkan pekerjaanku biar bisa pulang tepat waktu."

"Iya, Mas."

"I love you ...."

"I love you too ...."

Mas Andra memang suami yang romantis.

"Sayang, tolong jangan sekali-sekali kamu mendekati Melisa kalau dia datang. Kalau kamu nekat, Bi Lastri dan Pak Hadi akan kupecat!"

Baru saja hatiku berbunga-bunga karena kata cintanya, sekarang bunga-bunga itu langsung layu sebelum berkembang sempurna.

Kamu memang menyebalkan, Mas!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status