Share

Keributan di luar pagar

Tadi malam tamu bulananku datang. Pagi harinya, Mas Andra ijin pergi ke luar kota. Dan di saat itulah, aku benar-benar bisa bebas.

Eits, tunggu dulu!

Yang kumaksud bebas di sini, bukanlah bebas keluar rumah sesuai yang kuinginkan. Bukan!

Bebas yang kumaksud adalah bebas kewajiban di atas ranjang. Selain itu, aku juga bisa leluasa memasak, membuat kue, dan mengacak-acak dapur seperti sekarang. Biarlah aku hanya di dalam rumah, yang penting aku bisa melakukan kegiatan yang kusuka. 

Tak lupa aku juga meminta Rara dan ketiga anaknya datang ke rumah. 

Mas Andra tetaplah Mas Andra yang posesif. Jika dia ke luar kota, dua bodyguard menjagaku di depan rumah. Bahkan di seluruh sudut rumah kami terpasang CCTV. 

Sampai bulan lalu saat ke luar kota, Mas Andra masih belum mengijinkanku beraktifitas di dapur. Namun, aku selalu merengek dan merayunya sampai akhirnya dia mengijinkan.

"Mbak, nanti Bibi saja yang mencuci peralatan masaknya. Mbak Arini jangan terlalu capek. Kalau sakit, nanti bapak marah sama saya." Bi Lastri selalu seperti itu karena dia takut aku kenapa-kenapa.

"Bibi tenang saja, kalau saya capek, saya pasti akan bilang sama Bibi," balasku meyakinkannya.

"Beneran ya, Mbak?" 

"Iya, Bi, saya nggak bohong. Bibi sekarang ngerjain yang lain saja. Minta tolong kalau Arini datang, suruh langsung ke ruang keluarga ya, Bi."

"Baik, Mbak."

Aku membuat kue bolu dengan taburan keju di atasnya. Aku bukan wanita yang pandai memasak atau membuat kue tapi aku ingin bisa. Dengan melihat youtube sebentar, aku yakin akan berhasil. 

Sebelum menikah, aku adalah anak petani kaya raya. Aku putri satu-satunya dan sangat dimanja oleh kedua orang tuaku. Bahkan aku sama sekali tidak diajarkan pekerjaan rumah. Semua dilayani. Hingga kedua orang tuaku meninggal dunia karena kecelakaan saat aku lulus SMP. 

Aku tinggal bersama nenek sampai SMA. Sawah dan rumah terpaksa kujual untuk biaya sekolah, makan dan juga pengobatan nenek yang sakit jantung. Namun setelah lulus, nenek meninggal dunia. 

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi bekerja ke kota karena semua harta peninggalan orang tuaku habis tak tersisa, hanya tinggal tabungan beberapa juta. Aku langsung mendapat pekerjaan sebagai SPG dan tinggal di sebuah kos-kosan. Di tempat itulah aku bertemu dengan Rara.

"Mbak, setahu saya kalau bikin kue itu telurnya jangan yang dari kulkas, kadang suka bantet hasilnya. Kalau dari kulkas, dibiarkan dulu sampai nggak dingin." 

Meskipun sudah kuusir, Bi Lastri masih tak mau pergi dari dapur. Bi Lastri selalu memperhatikanku, seperti perintah Mas Andra.

"Kelamaan, Bi. Kalau bantet, besok-besok bikin lagi," balasku.

"Tepung terigunya diayak dulu, Mbak."

"Sama saja, Bi, ini juga baru beli. Nggak usah diayak nggak apa-apa. Pasti jadilah."

Itulah aku, ingin berhasil tapi selalu ngeyel. Alhasil, tentu saja tidak sesuai dengan ekspektasi. 

Aku tertawa melihat hasil kue buatanku, begitu juga dengan Bi Lastri. 

"Mbak Arini dibilangin Bibi nggak percaya. Itu kuenya bantet beneran."

"Nggak apa-apa, Bi. Rasanya tetap enak kok. Cicipin deh, Bi."

Kuberi potongan kue bolu pada Bi Lastri. 

"Iya, Mbak. Meskipun agak keras tapi rasanya tetap enak. Lain kali kalau bikin kue itu harus sabar, Mbak, yang telaten."

"Siap. Bulan depan kita bikin lagi ya, Bi?"

"Besok nggak, Mbak?"

"Nggak ah, Bi. Besok jadwal saya bantuin Bibi masak."

"Mau masak apa, Mbak?"

"Saya ingin lihat Bibi masak ayam panggang."

"Baik, Mbak. Tapi Mbak lihat saja, ya? Saya nggak mau tangan Mbak Arini terluka seperti waktu itu. Saya nggak mau dipecat, Mbak." 

Bi Lastri selalu seperti itu. Aku benar-benar diperlakukan seperti kristal yang harus dijaga dengan hati-hati dan tidak boleh terluka sedikit pun.

"Iya, Bi. Tenang saja."

Aku pun menikmati kue bolu buatanku dengan santai di ruang makan. Bi Lastri membersihkan dapur yang sudah kubuat berantakan.

"Bi, Bibi 'kan sudah lama kerja sama Mas Andra. Mantan istrinya pernah datang ke sini, nggak?" tanyaku penasaran. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin tahu tentang mantan istri Mas Andra.

"Sebenarnya sering, Mbak."

"Hah, sering? Kok saya nggak pernah tahu, Bi."

"Kan langsung diusir sama Pak Dadang. Mbak juga selalu di kamar atau di taman belakang, jadi ya nggak tahu."

Pak Dadang adalah sekuriti yang bertugas menjaga rumah Mas Andra, bergantian dengan Pak Hadi.

"Apa nggak pernah diijinkan masuk sama sekali, Bi?" 

"Pernah satu kali."

"Terus?" Aku benar-benar penasaran. 

"Langsung diusir sama bapak."

"Beneran, Bi?"

"Iya, Mbak. Bapak 'kan begitu, kalau sudah benci, nggak akan mau bertemu sama orang itu. Bibi lihat sendiri, Bu Melisa menyembah-nyembah di kaki bapak tapi bapak langung pergi. Terus Pak Dadang disuruh mengusirnya."

"Oh namanya Melisa." 

Aku bahkan baru tahu sekarang kalau nama mantan istri Mas Andra adalah Melisa.

"Lho, Mbak Arini nggak tahu?" Bi Lastri sepertinya heran. 

"Nggak, Bi. Mas Andra nggak pernah cerita. Tapi kasihan juga ya, Bi."

"Jangan bilang kasihan, Mbak. Kita nggak tahu kesalahan apa yang sudah dibuat Bu Melisa waktu mereka masih tinggal bersama. Pak Andra orangnya baik, Mbak, sangat baik. Saya yakin Bu Melisa pasti sudah melakukan kesalahan besar sampai bapak sebenci itu."

"Saya cuma tahu kalau istrinya dulu selingkuh. Apa dulu Mas Andra juga posesif sama Melisa?"

"Nggak sih, Mbak. Bu Melisa sering pergi ke luar sama teman-temannya. Mbak Arini, maaf kalau Bibi menasihati. Menurut saja sama bapak, insyaa Allah bapak posesif karena sangat mencintai Mbak Arini."

Aku mendesah perlahan, tak berniat membalas ucapan Bi Yati. Rara baru saja mengirim pesan kalau dia datang terlambat karena menunggu kedua anaknya pulang sekolah. 

Aku berjalan meninggalkan dapur menuju ruang tamu. Berdiri sambil memandang ke arah luar jendela, merenungi nasihat yang diberikan Bi Lastri. Sampai akhirnya kudengar suara keributan di luar pagar. 

Aku pun berjalan mendekat. Namun, kedua bodyguard Mas Andra menahanku. 

"Maaf, sebaiknya Nyonya masuk saja."

Bi Lastri pun berjalan menghampiriku dengan raut wajah terlihat cemas.

"Ayo, Mbak, nunggu Mbak Raranya di dalam saja," pinta Bi Lastri sembari memegang lenganku.

"Ada apa itu di luar?" tanyaku tanpa menghiraukan ucapan mereka.

"Silakan Nyonya masuk. Ini perintah dari Tuan Andra. Tolong jangan menghalangi tugas kami, Nyonya." 

Salah satu bodyguard yang entah siapa namanya itu kembali memberi peringatan, membuatku berdecak kesal.

"Saya itu nggak menghalangi tugas kamu. Saya hanya ingin tahu, siapa yang teriak-teriak itu!" bentakku tak terima.

Pagar rumah Mas Andra tinggi dan tertutup, membuatku tak bisa melihat siapa yang sudah membuat keributan.

"Nyonya masuk sendiri atau kami paksa!" ancam bodyguard yang satu lagi. Mereka berdua benar-benar menjengkelkan.

"Ayo masuk, Mbak," pinta Bi Lastri dengan tatapan memohon. 

Akhirnya terpaksa aku mengalah dan berjalan meninggalkan kedua orang bodyguard itu dengan kesal.

"Ish, nggak majikan nggak bodyguardnya, sama saja!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status