Share

Seperti wanita simpanan

Akhirnya aku diantar pulang oleh Mas Andra sebelum dia berangkat bekerja. Rara dan Mas Fahmi hanya diam karena mereka tahu bagaimana sifat suamiku itu.

Percuma Mas Fahmi menjelaskan kalau dia sebentar lagi akan berangkat ke rumah tetangganya, kerena Mas Andra tetap pada pendiriannya.

Aku hanya bisa pasrah karena tidak mampu berbuat apa-apa. Protes pun percuma karena suamiku tidak akan goyah meskipun aku menangis darah.

Terlihat kejam tapi itulah suamiku. Dia tidak mengijinkanku pergi ke mana pun tanpa dirinya di sampingku. Jika berkunjung ke rumah Rara, harus dipastikan Mas Fahmi sedang tidak berada di rumah.

Rara memiliki ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan kirim pesan. Aku yang bodoh karena sebelumnya tidak menghubungi Rara terlebih dahulu. Mungkin karena rasa rinduku pada sahabatku itu, hingga membuatku lupa.

Dan di sini aku sekarang, di dalam kamar, hanya bisa berbaring sambil menangisi nasibku.

Hingga terdengar ponselku berdering dan kulihat nama Rara terpampang di layarnya. Bahkan kontak di ponselku hanya berisi tiga nama. Mas Andra, Rara, dan Bi Lastri.

"Arini ... kamu baik-baik saja, kan?" tanya Rara setelah aku membalas salamnya.

"Entahlah, Ra. Aku sendiri bingung dengan nasibku. Harus senang atau sedih. Aku manusia biasa, Ra. Aku juga ingin bermain dan ke luar rumah," jawabku dengan isak tangis yang tak mau berhenti. Bahkan air mataku masih mengalir deras.

Rara diam untuk beberapa saat. Terdengar helaan napas panjang sebelum dia bicara. Aku yakin dia pasti ingin memberi nasihat. Dan biasanya nasihat Rara selalu membuatku kembali bersemangat.

"Aku mengerti keadaanmu, Arini. Tapi kalau aku boleh memberi saran, syukuri apa yang sudah kamu dapatkan sekarang. Pak Andra suami yang baik, dermawan, bertanggung jawab dan setia. Setiap manusia ada plus minusnya. Setiap rumah tangga memiliki ujian yang berbeda. Kamu mengerti 'kan maksudku? Maaf, kalau kamu bosan dengan nasihatku."

Aku hanya diam mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Rara. Rasanya aku sudah hapal di luar kepala. Aku tahu, Rara bicara seperti itu karena selain karena ingin menghiburku, dia juga ingin aku membandingkan hidupku dengan kehidupannya.

"Aku tahu kamu pasti bosan mendengar nasihatku. Tapi, Arini, cobalah untuk bersyukur. Kamu tahu 'kan kehidupanku seperti apa? Mungkin kalau bukan kamu yang membantuku setiap bulan, anak-anakku tidak bisa makan. Meskipun rezeki itu datangnya dari Allah. Bukannya aku membela suamimu tapi untuk sementara, syukuri apa yang kamu miliki sekarang. Jangan lupa berdo'a selalu untuk suamimu. Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati hamba-Nya."

Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Apa yang dikatakan Rara memang benar. Masih banyak yang harus kusyukuri daripada yang harus kukeluhkan.

"Terima kasih, Rara. Maafkan aku kalau sudah membuatmu dan Mas Fahmi merasa tak nyaman dengan kejadian tadi."

"Nggak apa-apa. Lain kali kalau mau ke rumah, bilang dulu, ya? Mas Fahmi biar pergi dulu jika dia sedang nggak masuk kerja. Istirahatlah, Arini. Jangan lupa sholat dan do'akan selalu suamimu. Insyaa Allah kami juga akan mendo'akan kalian dari sini. Ingat, jangan berpikir untuk berpisah. Aku yakin, di zaman sekarang, banyak wanita yang ingin di posisimu, sampai-sampai rela merebut suami orang."

"Terima kasih, Ra. Kamu memang sahabat terbaikku. Kamu saudaraku satu-satunya yang kumiliki. Salam buat Mas Fahmi dan anak-anak, ya?"

"Insyaa Allah. Aku tutup teleponnya. Rayhan dan Raysa sudah waktunya pulang sekolah. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Aku beranjak dari tidurku lalu mandi dan berwudhu sebelum melakukan sholat sunnah. Dalam sujudku, aku memohon pada pemilik alam semesta agar Mas Andra bisa berubah. Benar kata Rara, hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Setelah sholat, aku merebahkan tubuhku dengan posisi terlentang. Menatap langit-langit kamar yang berwarna biru muda dengan hiasan sticker lampu berbentuk hati. Suasana di dalam kamarku jika malam hari sangat romantis. Mas Andra selalu memberikan yang terbaik untukku.

Tiga tahun lalu, aku mengenal Mas Andra di sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota. Waktu itu aku bekerja sebagai SPG busana muslimah dan perlengkapan sholat di sebuah butik. Dia sedang mencari mukena, sarung dan sajadah dalam jumlah yang cukup besar. Dan aku yang melayaninya.

Pertemuan kedua kami di sebuah taman bermain. Waktu itu aku jalan-jalan bersama Rara dan kedua anaknya. Rayhan berusia tiga tahun dan Raysa masih satu setengah tahun. Mas Andra sedang duduk di sana sendirian.

Tanpa sengaja, waktu Rayhan menendang bolanya, mengenai kepala Mas Andra. Aku yang meminta maaf dan sebagai konsekuensinya, aku harus mau makan malam dengannya. Mulai kejadian itulah aku dekat dengannya.

Mas Andra adalah seorang duda. Istrinya selingkuh dan meninggalkan dirinya. Hanya itu yang dia ceritakan padaku. Kami berdua sama-sama tinggal seorang diri, tanpa saudara dan keluarga.

Selama Mas Andra mendekatiku, aku hanya melihat kebaikan dan kesetiaannya, bukan materinya. Akhirnya aku menerimanya saat dia melamarku. Apalagi dia juga seorang muslim yang taat.

Jika mengingat semua itu, aku tersenyum sendiri. Aku sangat bahagia memiliki suami yang tampan, mapan, dan bertanggung jawab. Dia juga baik dan setia. Namun jika teringat sifat posesif dan keperkasaannya, aku merasa lelah. Sungguh, aku seperti seorang wanita simpanan.

***

"Maafkan aku ya, Sayang. Tapi aku benar-benar tidak suka jika kamu berdekatan apalagi bicara dengan pria lain. Meskipun itu Fahmi sekalipun."

Setelah mandi dan berganti pakaian, Mas Andra langsung memelukku yang sedang duduk di taman belakang. Dikecupnya puncak kepalaku berulang-ulang.

"Apa selamanya Mas nggak akan mengijinkan aku bertemu dengan Rara?" tanyaku dalam dekapannya.

"Boleh tapi dengan syarat."

Aku melepaskan diri dari dekapannya. Kupandang lekat iris matanya yang hitam pekat.

"Apa Mas syaratnya?" tanyaku penasaran. Semoga bukan syarat yang memberatkan.

"Mulai sekarang biar Rara dan anak-anaknya yang main ke rumah kita!" Aku pun mengangguk setuju.

"Baiklah, terserah Mas saja. Aku juga nggak bisa protes, kan?"

"Kamu memang istri yang penurut. Aku semakin cinta kalau kamu seperti ini. Oh ya, kapan kamu datang bulan?"

Pertanyaan yang sering dia lontarkan saat mendekati tanggal haidku. Mas Andra akan pergi ke luar kota selama satu minggu.

"Insyaa Allah seminggu lagi. Mas mau ke luar kota?"

"Iya, biar aku jadwalkan. Aku ada urusan kerjaan di luar kota. Tapi kali ini mungkin agak lama."

"Kalau aku nggak datang bulan bagaimana? Aku 'kan nggak pernah KB, Mas?"

Seperti biasa, Mas Andra tertawa mendengar pertanyaanku.

"Hahaha ... kamu pasti sudah tahu jawabannya, Sayang."

Bibirku mengerucut mendengar jawabannya.

"Mas, aku kesepian. Kalau aku punya anak, setidaknya aku ada teman."

"Sudah ada Bi Lastri yang bisa kamu ajak ngobrol," ucapnya sembari mengusap lembut pipiku.

"Tentu beda, Mas."

"Bagaimana kalau aku bekerja di rumah saja biar kamu nggak kesepian?"

Oohh tidak!! Aku salah bicara ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status