Share

Pil KB siapa?

Sepuluh hari berlalu. Mas Andra tadi malam sudah pulang dan langsung menuntut haknya.

Setelah sholat subuh, aku kembali terlelap. Kalau sudah seperti itu, Mas Andra tidak akan membangunkanku saat dirinya berangkat kerja. 

Entah berapa lama aku tidur, hingga terdengar suara Bi Lastri membangunku.

"Mbak, bangun, Mbak ... makan dulu."

Aku menggeliat, rasanya mataku masih ingin terpejam. Badanku pun terasa remuk redam. Namun, aku harus makan agar tidak sakit. Aku harus kuat. Apalagi suami perkasaku sudah di rumah.

"Jam berapa ini, Bi?" tanyaku sembari beringsut turun dari ranjang, berjalan perlahan lalu duduk di sofa yang ada di dalam kamar.

Bi Lastri merapikan meja rias lalu melepaskan sprei yang berantakan, kemudian menggantinya dengan sprei baru yang sudah disiapkan. 

Aku bahkan seperti anak balita yang dibangunkan ibunya, tanpa harus merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu. Mungkin memang sudah menjadi jalan hidupku yang selalu dimanja, semenjak bayi sampai menikah. 

"Sudah jam sebelas, Mbak. Bapak dari tadi telepon terus. Maaf kalau saya terpaksa membangunkan Mbak Arini. Mbak harus makan, saya nggak ingin Mbak sakit," jawab Bi Lastri dengan nada cemas. 

"Saya makan di kamar saja ya, Bi."

"Baik, Mbak. Biar Bibi ambilkan."

"Maaf lho, Bi. Badan saya rasanya capek banget." Aku benar-benar capek dan rasanya malas keluar kamar.

"Iya, Mbak. Sudah tugas saya. Mbak Arini jangan sungkan. Tapi saya selesaikan ini dulu ya, Mbak." 

Aku mengangguk mengiakan. Bi Lastri masih merapikan tempat tidurku. 

"Iya, Bi, santai saja. Sebenarnya saya belum lapar, kok. Tapi memang harus dipaksakan untuk makan. Saya juga nggak mau sakit, Bi. Mas Andra pasti akan menjaga saya lebih ketat lagi."

Ya, itulah yang akan terjadi kalau aku sakit. Mas Andra akan mengajukan cuti dan menjagaku selama 24 jam. Setelah aku sembuh, dia tidak akan mengijinkanku pergi ke mana pun. 

Semua kebutuhanku harus diantar ke kamar. Padahal kalau dipikir, aku sakit juga karena dirinya, yang setiap malam mengajakku gulat sampai kelelahan. 

Menyebalkan memang tapi kalau Mas Andra ke luar kota, aku merindukannya. 

Bi Lastri meletakkan nampan yang di atasnya piring dan segelas air putih di hadapanku. Aku pun segera menikmati makan pagi sekaligus makan siangku.

"Mbak, kata bapak jangan lupa diminum vitaminnya." Aku meminta Bi Lastri menemaniku makan di kamar. 

"Iya, Bi. Nanti pasti saya minum. Bibi juga jangan lupa makan siang. Kalau capek, langsung saja istirahat. Rumah ini sudah bersih, Bi. Saya dan Mas Andra bukanlah majikan yang cerewet."

"Itulah yang saya suka bekerja di sini. Bapak dan Mbak Arini orang baik dan nggak pernah marah kalau masalah rumah. Bapak itu marahnya kalau Mbak Arini terluka atau belum makan. Mbak Arini juga tetap sopan sama saya. Meskipun nggak pernah diijinkan mengerjakan satu pekerjaan pun sama bapak, Mbak Arini nggak pernah teriak kalau menyuruh saya. Pokoknya Mbak Arini dan bapak itu pasangan yang serasi."

Bi Lastri selalu memberi pujian pada kami. Kuperhatikan sorot mata Bi Lastri saat bicara juga terlihat tulus. 

Aku sangat bersyukur Mas Andra memiliki asisten rumah tangga seperti Bi Lastri, yang kuanggap seperti ibuku sendiri.

"Bibi berlebihan. Banyak majikan yang seperti kami di dunia ini," balasku.

"Mbak Arini selalu merendah. Pasti orang tua Mbak Arini dulu orangnya baik dan sabar."

Aku tersenyum mendengar Bi Lastri menyebut kedua orang tuaku. Aku jadi rindu pada bapak dan ibuku.

"Bapak dan ibu saya seperti Mas Andra, Bi. Mereka nggak pernah mengijinkan saya melakukan pekerjaan apa pun di rumah. Semua dilayani. Makanya saya sebesar ini nggak bisa masak," jelasku sembari terkekeh.

"Nggak apa-apa, Mbak. Meskipun Mbak bisa masak juga percuma. Bapak nggak mengijinkan Mbak Arini di dapur." Benar juga apa yang dikatakan Bi Lastri. 

"Kalau Bibi jadi saya, bagaimana?" 

Aku penasaran bagaimana pendapat Bi Lastri. Apakah sama dengan nasihat Rara?"

"Bibi ya senang banget kalau jadi Mbak Arini. Nggak perlu repot-repot kerja. Makan tinggal makan, nggak bingung mikirin uang belanja. Semua kebutuhan dipenuhi, mau apa-apa tinggal telepon, mau nyalon aja datang sendiri pegawainya."

"Meskipun nggak boleh ke mana-mana, Bibi tetap senang?"

"Ya nggak apa-apa, Mbak. Wanita itu memang seharusnya lebih banyak di rumah. Dalam Islam, sebaik-baiknya tempat bagi seorang istri atau wanita adalah rumah."

"Kalau Mas Andra nggak mau punya anak selamanya bagaimana, Bi?" tanyaku, tak mau kalah.

"Insyaa Allah rezeki itu kalau sudah jatahnya pasti akan datang. Begitu juga dengan rezeki anak, Mbak. Meskipun bapak bilang nggak mau punya anak, kalau Allah berkehendak lain, bapak nggak akan bisa mencegahnya."

Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban Bi Lastri yang bijaksana.

"Benar juga ...."

"Sekarang kalau menurut Bibi, pergunakan waktu luang Mbak Arini sebaik-baiknya. Tanpa anak, Mbak bisa fokus ibadah dengan khusuk dan tenang. Semua wanita pasti ingin berada di posisi Mbak Arini. Maaf ya, Mbak, Bibi nggak bermaksud menggurui. Bibi sayang sama Mbak Arini." 

Aku tersenyum lalu menggenggam erat jemari tangan Bi Lastri yang duduk di sampingku.

"Terima kasih nasihatnya, Bi. Saya juga sayang sama Bibi," ucapku sambil tersenyum.

Suara ketukan pintu membuat kami menoleh. Ternyata Bi Darmi yang datang sambil membawa tumpukan pakaian yang sudah disetrika.

"Permisi, Mbak. Mau mengantar baju." 

Bi Darmi juga wanita yang sopan, sama seperti Bi Lastri. Orangnya sedikit pendiam tapi sangat cekatan dan rapi.

Setelah Bi Darmi keluar kamar, Bi Lastri beranjak menuju tumpukan pakaian yang diletakkan Bi Darmi di atas tempat tidur.

"Bi, biar saya saja yang masukin baju-bajunya Mas Andra ke lemari," pintaku.

"Jangan, Mbak. Nanti kalau bapak tahu, saya dimarahin." 

Bahkan merapikan pakaianku dan suamiku sendiri saja selama ini dilakukan Bi Lastri. Aku benar-benar dianggap boneka hidup.

"Astaghfirullah ... saya juga bisa kok, Bi. Lagian cuma masukin baju ke lemari saja nggak akan bikin saya capek." Bi Lastri pun akhirnya mengangguk setuju.

"Ya sudah kalau begitu saya tinggal ke dapur, Mbak."

Aku bergegas membuka lemari lalu memasukkan pakaianku terlebih dahulu. Setelah itu, baru pakaian Mas Andra kumasukkan satu per satu dengan hati-hati.

Setelah selesai semuanya, aku berniat menutup pintu lemari. Namun, kulihat bungkusan plastik transparan, tersembul di balik tumpukan baju paling bawah. Aku pun mengambilnya karena penasaran.

"Seperti pil KB, tapi ... punya siapa? Kok ada di lemari bajunya Mas Andra?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status