Bi Lastri tertawa terpingkal-pingkal, mungkin karena mendengar ucapanku. Memang terus terang saja kalau aku kurang healing, kurang refreshing. Bayangkan saja, dikurung di rumah tanpa boleh pergi ke mana pun, siapa yang akan betah? Bersyukur aku memang tipe orang yang tidak suka keluyuran. Namun meskipun begitu, kadangkala aku juga merasa bosan. Wajar, bukan? “Mbak Arini memang lucu. Pantas saja kalau bapak gemas dan cemburu. Kalau Mbak Arini dibiarkan keluar sendirian tanpa pengawasan, pasti digodain banyak laki-laki, mulai hidung polos sampai hidung belang.”“Sekarang Bibi yang lucu,” balas ku sembari tersenyum lebar. “Sudah, Bi, saya mau ke kamar. Semoga saja pizza itu benar-benar dari Mas Andra,” pamitku untuk yang kedua kalinya. “Semoga saja, Mbak.”Aku melanjutkan langkahku menuju kamar. Baru saja sampai di depan pintu, tampak Mas Andra keluar dari ruang kerjanya lalu berjalan ke arahku. Dia tersenyum manis sekali. “Habis makan ya, Sayang?” tanya Mas Andra setelah berdiri tep
"Sayang ... Sayang ... kamu di mana?"Suara Mas Andra—suamiku, bergema di seluruh sudut rumah. Jika pulang kerja, dia selalu seperti itu. Padahal dia tahu, aku selalu rebahan di kamar atau duduk di taman belakang. Itu karena dia melarangku pergi ke luar rumah sendirian. Sesuai dengan arti namanya, Andra Abryal, suamiku adalah pria yang tampan, kuat dan berani. Kuat dalam segala hal."Sayang, aku kira kamu pergi diam-diam. Ayo, kita makan. Aku membawakan nasi bebek kesukaanmu." Mas Andra sudah berada di ambang pintu kamar. Dia tersenyum sangat manis. Dengan malas aku beranjak dari tidurku. Tubuhku masih terasa sangat lelah. Tulang-tulang pun rasanya mau patah.Bagaimana aku tak lelah? Setiap malam bahkan sampai menjelang pagi aku selalu melayaninya. Itulah salah satu keistimewaan suamiku. Dia begitu kuat saat memberiku nafkah batin.Mungkin bagi sebagian wanita, mereka akan bahagia. Tapi tidak denganku. Bahkan akhir-akhir ini aku merasa menyesal menjadi istrinya. Astaghfirullah ....A
Pertanyaan bernada lembut tapi mengandung ancaman. Bahkan dia sekarang tersenyum manis dengan tangan kanannya mengusap lembut pipiku. Mas Andra memang selalu romantis. Namun entah kenapa, aku terkadang merasa takut padahal ekspresi wajahnya biasa saja. Tidak ada gurat marah sedikit pun."Baiklah, Mas. Aku mau kamu antar. Aku hanya ingin memberikan sembako dan camilan untuk Rara dan anak-anaknya. Boleh 'kan, Mas?""Tentu saja boleh, Sayang. Beri juga uang untuk membayar kontrakan rumahnya." Jawaban Mas Andra tentu saja membuatku bahagia. Kupeluk erat tubuh tegapnya yang sudah terbungkus kemeja biru tua. Dia memang suami yang baik dan juga dermawan. Apalagi dia tahu keadaan Rara yang cenderung kekurangan. "Terima kasih ya, Mas," ucapku dan Mas Andra membalasnya dengan kecupan lembut di bibirku."Sama-sama, Sayang. Ayo, berangkat."Akhirnya aku berangkat ke rumah Rara diantar Mas Andra. Kami berdua duduk berdampingan. Pak Hadi yang mengemudikan mobil sedan mewah kesayangan Mas Andra.
Akhirnya aku diantar pulang oleh Mas Andra sebelum dia berangkat bekerja. Rara dan Mas Fahmi hanya diam karena mereka tahu bagaimana sifat suamiku itu. Percuma Mas Fahmi menjelaskan kalau dia sebentar lagi akan berangkat ke rumah tetangganya, kerena Mas Andra tetap pada pendiriannya. Aku hanya bisa pasrah karena tidak mampu berbuat apa-apa. Protes pun percuma karena suamiku tidak akan goyah meskipun aku menangis darah. Terlihat kejam tapi itulah suamiku. Dia tidak mengijinkanku pergi ke mana pun tanpa dirinya di sampingku. Jika berkunjung ke rumah Rara, harus dipastikan Mas Fahmi sedang tidak berada di rumah. Rara memiliki ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan kirim pesan. Aku yang bodoh karena sebelumnya tidak menghubungi Rara terlebih dahulu. Mungkin karena rasa rinduku pada sahabatku itu, hingga membuatku lupa.Dan di sini aku sekarang, di dalam kamar, hanya bisa berbaring sambil menangisi nasibku. Hingga terdeng
Tadi malam tamu bulananku datang. Pagi harinya, Mas Andra ijin pergi ke luar kota. Dan di saat itulah, aku benar-benar bisa bebas.Eits, tunggu dulu!Yang kumaksud bebas di sini, bukanlah bebas keluar rumah sesuai yang kuinginkan. Bukan!Bebas yang kumaksud adalah bebas kewajiban di atas ranjang. Selain itu, aku juga bisa leluasa memasak, membuat kue, dan mengacak-acak dapur seperti sekarang. Biarlah aku hanya di dalam rumah, yang penting aku bisa melakukan kegiatan yang kusuka. Tak lupa aku juga meminta Rara dan ketiga anaknya datang ke rumah. Mas Andra tetaplah Mas Andra yang posesif. Jika dia ke luar kota, dua bodyguard menjagaku di depan rumah. Bahkan di seluruh sudut rumah kami terpasang CCTV. Sampai bulan lalu saat ke luar kota, Mas Andra masih belum mengijinkanku beraktifitas di dapur. Namun, aku selalu merengek dan merayunya sampai akhirnya dia mengijinkan."Mbak, nanti Bibi saja yang mencuci peralatan masaknya. Mbak Arini jangan terlalu capek. Kalau sakit, nanti bapak mara
Bi Lastri menggandeng tanganku lalu mengajakku duduk di ruang makan. Dia meninggalkanku sebentar lalu kembali dan duduk di sampingku."Itu tadi Bu Melisa yang teriak-teriak, Mbak." Ucapan Bi Lastri sangat mengejutkan."Masak sih, Bi? Memangnya dia mau ngapain lagi ke sini?" tanyaku penasaran. Mas Andra dan Melisa sudah bercerai lebih dari tiga tahun yang lalu. Kenapa mantan istri Mas Andra masih saja mengganggunya? Apa ada yang belum selesai di antara mereka?"Sepertinya dia ingin rujuk. Itu yang sempat saya dengar waktu Bu Melisa bicara berdua sama bapak." Aku hanya bisa mengelus dada berulang kali sambil beristghfar."Astaghfirullah ... sudah ditolak, masih saja nekat. Apa nggak ada laki-laki lain di dunia ini sampai-sampai merendahkan harga dirinya? Apa dia nggak tahu kalau Mas Andra sudah menikah lagi?" "Saya juga nggak tahu, Mbak. Sebaiknya sekarang Mbak istirahat saja di kamar. Kalau Mbak Rara datang, nanti saya panggil." Lagi-lagi itu yang Bi Lastri minta, menyuruhku istiraha
Sepuluh hari berlalu. Mas Andra tadi malam sudah pulang dan langsung menuntut haknya.Setelah sholat subuh, aku kembali terlelap. Kalau sudah seperti itu, Mas Andra tidak akan membangunkanku saat dirinya berangkat kerja. Entah berapa lama aku tidur, hingga terdengar suara Bi Lastri membangunku."Mbak, bangun, Mbak ... makan dulu."Aku menggeliat, rasanya mataku masih ingin terpejam. Badanku pun terasa remuk redam. Namun, aku harus makan agar tidak sakit. Aku harus kuat. Apalagi suami perkasaku sudah di rumah."Jam berapa ini, Bi?" tanyaku sembari beringsut turun dari ranjang, berjalan perlahan lalu duduk di sofa yang ada di dalam kamar.Bi Lastri merapikan meja rias lalu melepaskan sprei yang berantakan, kemudian menggantinya dengan sprei baru yang sudah disiapkan. Aku bahkan seperti anak balita yang dibangunkan ibunya, tanpa harus merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu. Mungkin memang sudah menjadi jalan hidupku yang selalu dimanja, semenjak bayi sampai menikah. "Sudah jam sebe
Aku duduk termenung sambil memikirkan apa yang tadi kutemukan. Sebenarnya itu pil KB atau bukan, sih?! Aku tidak tahu pasti karena aku sama sekali tidak pernah melihatnya secara langsung. Apa selama ini beberapa merk vitamin yang diberikan Mas Andra salah satunya juga pil KB? Tidak! Kalau diperhatikan dengan teliti, aku yakin tidak pernah minum vitamin seperti itu.Atau ... apakah Mas Andra selingkuh dan itu adalah pil KB milik selingkuhannya? Tidak! Mas Andra adalah pria yang taat agama. Aku yakin dia tidak akan selingkuh. Kecuali ... menikah lagi. Itu mungkin saja.Akan tetapi, jika pil KB itu memang milik istri muda atau istri simpanan Mas Andra, aku yakin Mas Andra tidak akan seceroboh itu sampai meletakkannya di lemari pakaian kami."Mbak ....""Astaghfirullah ...."Aku terkejut mendengar suara Bi Lastri memanggilku."Maaf kalau Bibi bikin Mbak Arini kaget. Kata bapak, kalau Mbak Arini sudah makan, ponselnya disuruh aktifkan. Bapak mau nelpon."Aku mengangguk mengiakan. Aku s