Share

Jerat Cinta Suami Posesif
Jerat Cinta Suami Posesif
Penulis: Mama fia

Alasan yang sama

"Sayang ... Sayang ... kamu di mana?"

Suara Mas Andra—suamiku, bergema di seluruh sudut rumah. Jika pulang kerja, dia selalu seperti itu. Padahal dia tahu, aku selalu rebahan di kamar atau duduk di taman belakang. Itu karena dia melarangku pergi ke luar rumah sendirian.

Sesuai dengan arti namanya, Andra Abryal, suamiku adalah pria yang tampan, kuat dan berani. Kuat dalam segala hal.

"Sayang, aku kira kamu pergi diam-diam. Ayo, kita makan. Aku membawakan nasi bebek kesukaanmu."

Mas Andra sudah berada di ambang pintu kamar. Dia tersenyum sangat manis. Dengan malas aku beranjak dari tidurku. Tubuhku masih terasa sangat lelah. Tulang-tulang pun rasanya mau patah.

Bagaimana aku tak lelah? Setiap malam bahkan sampai menjelang pagi aku selalu melayaninya. Itulah salah satu keistimewaan suamiku. Dia begitu kuat saat memberiku nafkah batin.

Mungkin bagi sebagian wanita, mereka akan bahagia. Tapi tidak denganku. Bahkan akhir-akhir ini aku merasa menyesal menjadi istrinya. Astaghfirullah ....

Aku duduk diam di kursi yang ada di ruang makan. Mas Andra yang menyiapkan. Meletakkan piring, sendok dan segelas air putih di hadapanku. Dia juga membukakan bungkusan nasi bebek untukku. Aku benar-benar diperlakukan seperti ratu. Bahkan jika aku mau, Mas Andra akan menyuapiku.

"Mau aku suapi, Sayang?"

Aku menggeleng perlahan sebagai jawaban. Mas Andra pun mengangguk paham.

Kami makan dalam diam. Dia tahu aku sedang tak ingin bicara. Percakapan kami tadi pagi, membuat kami sempat bertengkar.

Setelah selesai makan, Mas Andra yang mencuci piring. Sementara aku kembali ke kamar.

"Sayang, kamu masih marah?" tanyanya.

Mas Andra berjalan mendekat, sepertinya dia baru saja selesai mandi. Dia membelai lembut rambutku. Harum wangi sabun dan sampo menguar ke seluruh ruangan, membuatku ingin memeluknya. Tapi aku gengsi karena sedang kesal.

"Menurut Mas?" tanyaku ketus.

Meskipun aku bicara dengan nada kesal tapi Mas Andra tetap menanggapi ucapanku sambil tersenyum.

"Tolong beri aku waktu, Sayang." Lagi-lagi itu yang dia minta.

"Sampai kapan, Mas? Kita sudah menikah selama dua tahun. Dan itu sudah lama menurutku. Apa Mas nggak ingin punya keturunan?" seruku sembari memukuli dada bidangnya berulang-ulang.

Mas Andra tersenyum lalu mendekapku dengan erat. Tentunya setelah membiarkanku memukulnya sampai puas. Aku pun menangis tersedu dalam dekapannya. Aku kesal, marah, bahkan terkadang ingin berpisah dengannya.

Astaghfirullah ... lagi-lagi aku hanya bisa mengucap istighfar dalam hati. Aku memang istri yang tak tahu diri.

"Kamu tahu 'kan alasanku, Sayang? Tolong, beri aku waktu. Kamu boleh minta apa saja. Tapi untuk yang satu itu, aku belum siap!" Suaranya terdengar tegas tapi tanpa emosi.

Begitulah Mas Andra, dia tidak akan pernah marah padaku. Dia terlihat sangat mencintaiku. Bahkan ketika aku kesal atau marah padanya, dia hanya menanggapi dengan senyuman.

Ya, aku memang sedang marah padanya. Sudah dua tahun menikah tapi Mas Andra tidak mau aku hamil.

Aku sendiri tidak tahu apa alasan sebenarnya dia tidak mau memiliki anak. Mas Andra selalu beralasan tidak siap. Itu saja.

Di saat pria lain mengharapkan buah hati, sampai-sampai selingkuh atau menikah lagi tapi tidak dengan Mas Andra. Suamiku menolak mentah-mentah setiap aku membahas masalah itu.

"Aku wanita normal, Mas. Aku juga ingin melahirkan meskipun kata orang sakit. Aku ingin menjadi seorang ibu. Apa keinginanku berlebihan?" ungkapku dalam dekapannya setelah tangisku reda.

Mas Andra semakin mengeratkan pelukan lalu mengecup puncak kepalaku. Terdengar helaan napas panjangnya sebelum membalas ucapanku.

"Keinginanmu sama sekali tidak berlebihan. Hanya saja, aku memang merasa belum siap. Beri aku waktu, mungkin satu atau dua tahun lagi. Kamu masih muda, kita nikmati dulu masa bulan madu kita."

Selalu itu alasannya. Apa dia memang menikah karena hanya ingin menjadikanku budak nafsu? Bahkan sekarang tangan kekarnya mulai bergerilya, menyentuh daerah sensitifku.

Aku mencoba memberontak tapi tubuh tegap Mas Andra membuatku tak berdaya. Dan akhirnya aku hanya bisa pasrah ....

***

Setelah makan malam dan menjalankan kewajiban empat rakaat, aku segera merebahkan tubuhku yang terasa remuk redam. Mas Andra ijin bekerja sebentar di ruang kerjanya.

Rumah Mas Andra bukanlah rumah berlantai dua tapi cukup luas. Mas Andra sudah memilikinya sebelum kami menikah. Dan yang membuatku terharu, rumah yang kami tempati sudah atas namaku sendiri, bukan nama Mas Andra lagi.

Siapa yang tidak bahagia mendapat perlakuan seperti itu? Sikapnya selalu membuat hatiku meleleh. Dia sabar, lemah lembut dan tak pernah perhitungan. Namun kenyataannya, kenapa semua itu tidak membuatku bahagia? Apakah aku seorang istri yang tidak pandai bersyukur?

Entahlah, yang pasti semua orang akan menyalahkanku jika aku menangisi nasibku. Nasib yang mungkin diinginkan semua wanita yang haus harta.

Terdengar suara pintu terbuka perlahan dari luar. Aku pun pura-pura tidur. Aku masih lelah karena pergumulan panas kami tadi sore. Semoga Mas Andra tidak meminta kembali haknya malam ini.

"Sayang ... aku tahu kamu belum tidur. Aku sudah mentransfer uang bulanan ke rekeningmu. Kalau kamu ingin sesuatu, bilang saja padaku. Aku akan membelikannya untukmu," ucapnya dengan lembut di telingaku.

Deru napas Mas Andra terdengar memburu. Aku bergidik ngeri, membayangkan apa yang akan terjadi.

Ya Allah ... berikanlah aku kekuatan."

Hanya itu do'a yang bisa kupanjatkan, sebelum tangan Mas Andra mulai melepas pakaianku satu per satu.

***

"Mas, apa aku boleh pergi ke rumah Rara? Sebentar saja, please ...."

Pagi itu, sebelum Mas Andra berangkat kerja, aku ijin pergi ke rumah Rara—sahabatku satu-satunya.

Kehidupan Rara berbanding terbalik denganku. Ekonomi pas-pasan tapi memilki banyak anak. Bahkan dia sudah mencoba berbagai macam alat kontrasepsi tapi tetap saja hamil.

Suami Rara—Mas Fahmi bekerja sebagai kuli bangunan. Dengan tiga orang anak yang masih usia TK dan balita, kehidupan mereka sering kekurangan. Itulah kenapa aku selalu membantu dengan mengirim sembako atau sedikit uang.

"Boleh tapi aku antar dan pulang kujemput."

Aku mendesah perlahan, mendengar jawaban yang selalu sama. Mas Andra selalu seperti itu ketika aku minta ijin ke luar rumah.

"Mas 'kan kerja. Apa nggak takut dipecat kalau sering ijin?" tanyaku heran sekaligus geram. Tak bisakah dia membiarkanku pergi sendiri sebentar saja?

"Dipecat juga nggak apa-apa. Aku bisa cari pekerjaan baru lagi. Yang penting istriku baik-baik saja," jawabnya dengan santai.

Ucapan Mas Andra bukanlah candaan. Dia memang seperti itu. Memilih dikeluarkan dari pekerjaannya daripada membiarkanku pergi sendirian.

"Astaghfirullah ... aku bisa naik taksi online, Mas ...."

"Aku antar atau kamu tidak kuijinkan pergi. Bagaimana, Sayang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status