Share

Pulang sekarang!

Pertanyaan bernada lembut tapi mengandung ancaman. Bahkan dia sekarang tersenyum manis dengan tangan kanannya mengusap lembut pipiku.

Mas Andra memang selalu romantis. Namun entah kenapa, aku terkadang merasa takut padahal ekspresi wajahnya biasa saja. Tidak ada gurat marah sedikit pun.

"Baiklah, Mas. Aku mau kamu antar. Aku hanya ingin memberikan sembako dan camilan untuk Rara dan anak-anaknya. Boleh 'kan, Mas?"

"Tentu saja boleh, Sayang. Beri juga uang untuk membayar kontrakan rumahnya." Jawaban Mas Andra tentu saja membuatku bahagia.

Kupeluk erat tubuh tegapnya yang sudah terbungkus kemeja biru tua. Dia memang suami yang baik dan juga dermawan. Apalagi dia tahu keadaan Rara yang cenderung kekurangan.

"Terima kasih ya, Mas," ucapku dan Mas Andra membalasnya dengan kecupan lembut di bibirku.

"Sama-sama, Sayang. Ayo, berangkat."

Akhirnya aku berangkat ke rumah Rara diantar Mas Andra. Kami berdua duduk berdampingan. Pak Hadi yang mengemudikan mobil sedan mewah kesayangan Mas Andra. Bahkan suamiku lebih suka memilih kendaraan roda empat yang hanya muat untuk kami berdua dan Pak Hadi tentunya.

Pak Hadi adalah sopir kepercayaannya. Usianya mungkin sudah hampir 50 tahun tapi masih terlihat sangat sehat. Pak Hadi tinggal di paviliun di belakang rumah kami bersama istrinya—Bi Lastri.

Setiap hari, Bi Lastri yang bertugas membersihkan rumah dan memasak. Sementara mencuci dan setrika pakaian dikerjakan Bi Darmi—asisten rumah tangga kami yang hanya datang pagi dan pulang setelah pekerjaannya selesai.

Aku sama sekali tidak diijinkan Mas Andra untuk beraktifitas apapun. Tugasku hanya melayaninya saja. Bahkan dia selalu menyediakan makanan empat sehat lima sempurna untukku. Jika aku menginginkan sesuatu, Mas Andra langsung membelikannya tanpa banyak bicara.

Tidak lupa Mas Andra selalu memberiku vitamin dari dokter setiap malam. Saat bangun tidur, Mas Andra membuatkanku air madu hangat. Bukankah aku harus bersyukur memiliki suami seperti Mas Andra?

Di saat banyaknya cerita tentang istri yang dijadikan babu oleh suami dan keluarganya, aku justru dijadikan ratu. Bahkan mencuci satu gelas pun, aku tak diijinkan. Enak sekali bukan?

Untuk perawatan wajah dan tubuhku, Mas Andra meminta dua orang pegawai klinik kecantikan datang ke rumah. Sungguh, aku benar-benar tidak diijinkan ke mana-mana meskipun uang di rekeningku melimpah.

Masalah uang? Jangan ditanya. Meskipun Mas Andra bukan seorang CEO tapi dia memberiku uang belanja sepuluh juta per bulan. Sayang sekali, uang itu utuh karena aku tidak diijinkan belanja sendiri. Entahlah, dengan keadaan seperti itu, aku harus bahagia atau sedih.

Aku tidak tahu berapa gaji Mas Andra setiap bulan. Yang pasti, insyaa Allah aku tidak akan pernah kekurangan. Dan yang pernah kudengar, Mas Andra memiliki warisan yang berlimpah dari kedua orang tuanya.

Kendaraan Mas Andra berhenti tepat di tanah kosong di samping gang sempit. Aku harus berjalan kaki menuju rumah Rara. Mas Andra ikut keluar dari mobil lalu menggandeng tanganku.

Pak Hadi berjalan di belakang kami sambil membawa barang-barang untuk Rara. Sebelumnya kami mampir terlebih dahulu di supermarket.

Sesampainya di rumah kontrakan Rara yang kecil tapi bersih, aku pun mengetuk pintu dan mengucap salam. Untung saja rumah Rara tidak jauh dari gang masuk sehingga kami tidak perlu berjalan jauh.

Hanya dalam hitungan detik, terdengar suara Rara membalas salamku. Pintu pun terbuka dan memperlihatkan Rara yang memakai gamis bahan kaos dan jilbab panjang yang sudah lusuh.

"Masyaa Allah ... Arini? Ayo, masuk."

Rara terlihat sangat bahagia dengan kedatanganku. Sudah tiga bulan lebih aku tidak berkunjung ke rumahnya. Hanya sembako dan uang yang biasanya diantarkan oleh Pak Hadi.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Rara setelah kami berpelukan dan cipika-cipiki.

"Alhamdulillah baik," jawabku sambil tersenyum.

"Silakan duduk, Pak Andra. Maaf kalau lesehan."

Rara mengangguk sopan pada Mas Andra. Dia memang memanggil dengan sebutan Pak Andra untuk menghormati suamiku. Rara juga tahu, usia Mas Andra sepuluh tahun lebih tua dari kami berdua. Aku dan Rara memang sepantaran.

Mas Andra hanya mengangguk menanggapi ucapan Rara dan Rara pun sudah hapal dengan sikap Mas Andra. Sementara Pak Hadi sudah kembali ke mobil setelah menaruh oleh-oleh untuk Rara.

"Mas Andra mau berangkat kerja kok. Iya kan, Mas?" Aku mengusap lembut lengan suamiku.

Aku ingin Mas Andra cepat pergi, maksudku cepat berangkat kerja agar tidak terlambat. Aku ingin segera menggendong putrinya Rara yang masih balita dan juga bercerita dengan Rara tentang banyak hal.

"Jam dua belas nanti aku jemput. Rara, tolong jangan biarkan Arini pulang sebelum aku atau Pak Hadi menjemputnya," pinta Mas Andra. Begitulah setiap kali aku main ke rumah Rara.

"Siap, Pak. Saya akan menjaga Arini."

Rara pun membalasnya dengan kalimat yang selalu sama. Itulah kenapa aku diijinkan main ke rumahnya. Selama ini Rara selalu bersikap baik, tidak pernah membawa dampak negatif dan yang paling penting kooperatif.

"Terima kasih," balas Mas Andra dan Rara kembali mengangguk sopan. Bahkan Rara tidak pernah memandang genit suamiku. Dia sahabat terbaik yang kumiliki.

"Hati-hati ya, Mas. Jangan khawatir, aku nggak akan pulang sendiri," ucapku meyakinkannya.

Setelah mengecup keningku, Mas Andra kembali memakai sepatu yang baru saja dilepas saat masuk ke rumah Rara. Aku menunggu sampai Mas Andra pergi.

Akan tetapi, baru saja Mas Andra berjalan beberapa langkah, terdengar suara seorang pria dari dalam rumah. Tampak Mas Fahmi—suami Rara ke luar dari balik korden yang menutupi kamar.

"Arini? Lama sekali kamu nggak ke sini?" tanya Mas Fahmi dengan nada senang.

Aku terkejut dengan kemunculan Mas Fahmi. Begitu pun dengan Rara. Dan sekarang Rara menepuk keningnya sendiri. Mungkin dia lupa memberitahuku kalau suaminya ada di rumah.

"Iya, Mas. Maaf baru sempat ke sini. Mas Fahmi belum berangkat?" tanyaku sembari melirik ke arah Mas Andra.

Suamiku berdiri diam di depan rumah. Sepertinya dia tidak jadi pergi, membuatku yakin kalau sebentar lagi akan ada drama, meskipun wajahnya terlihat sangat tenang dan biasa saja.

"Aku nggak enak badan. Jadi hari ini mau istirahat dulu di rumah. Tapi kamu di sini saja nggak apa-apa. Nanti jam sembilan aku keluar kok, ada tetangga yang minta tolong antar belanja bahan bangunan, mau renovasi rumahnya," jelas Mas Fahmi.

Aku tahu Mas Fahmi pria yang sopan. Dia juga suami yang setia dan bertanggung jawab.

Kulihat Mas Andra berjalan mendekat. Mas Fahmi mengulurkan tangannya mengajak suamiku berjabat tangan. Mas Andra pun membalas uluran tangan Mas Fahmi dan tersenyum.

Namun, senyuman di wajahnya tak berarti apa-apa bagiku. Mas Andra tetaplah Mas Andra, suamiku yang posesif. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ayo, Sayang, kita pulang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status