Share

Atasan Diktator

Meski sepanjang jalan Valeria menggerutu karena harus berangkat lebih pagi lagi karena tugas Revan, namun Valeria tetap berjalan menuju kediaman pria itu. Ketika sampai, sejenak ia tertegun melihat penampakan apartemen mewah di hadapannya. Valeria menelan ludah, flat kecil yang ia sewa bahkan tidak ada setengah luasnya dari apartemen ini.

Valeria segera menempelkan kartu akses di sana lalu masuk ke dalamnya. Ia melongokkan wajah, mencari keberadaan Revan. Nafas Valeria tercekat melihat penampakan Revan yang berada di atas ranjang dengan tubuh yang bertelanjang dada. Wajahnya seketika memerah teringat dengan malam panas mereka melihat postur tubuh yang begitu rupawan ini. Valeria seketika menggeleng dengan kuat. Fokus Valeria, ia hanya harus fokus bekerja.

Valeria segera mendekatkan dirinya, ia menyentuh bahu Revan dengan perlahan lalu berkata, "Pak Revan bangun, sebentar lagi Anda harus mengikuti sebuah meeting."

Melihat Revan tidak bergeming, Valeria berdecak. Pantas saja pagi itu Revan sama sekali tidak sadar saat ia pergi, ternyata pria ini sangat sulit untuk dibangunkan. Geram karena Revan sama sekali tidak bergerak, Valeria mengguncang tubuhnya lebih keras.

"Pak bangun Pak!"

Revan akhirnya bergerak, namun bukannya bangkit atau membuka mata, Valeria seketika terhenyak saat Revan tiba-tiba menarik tubuhnya lalu membawanya ke dalam pelukan pria itu. Mata Valeria seketika melebar sempurna, wajahnya kembali memerah merasakan aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria ini. Astaga ia bisa terus mengalami serangan jantung jika seperti ini.

"Pak–"

"Astaga ternyata suara kamu lebih berisik dari Erik."

Valeria tersentak mendengar suara dalam dari pria itu. Jika sudah bangun, kenapa pria itu harus memeluknya dan membuat jantungnya hampir copot?

Saat Revan melepaskan dirinya, Valeria segera bangkit lalu berdeham, mencoba meredakan debar jantungnya menggila di dalam sana, "Meeting dimulai satu jam lagi, Bapak harus bersiap-siap."

"Saya akan mandi terlebih dulu,"

Valeria hanya mengangguk, namun setelah mengambil handuk mandinya, Revan terlihat kembali memanggil, "Nona Valeria?"

"Ah ya?"

"Ini baru hari pertama kamu membangunkan saya, tapi wajah kamu sudah memerah. Kendalikan diri kamu dan bersikaplah profesional."

Valeria seketika terperangah mendengar ucapan pria itu. Dalam hati ia menggerutu kembali. Revan Mahendra ternyata sangat menyebalkan dari yang ia kira.

Setelah mandi, Revan memakai pakaiannya begitu saja di hadapannya. Valeria memalingkan wajahnya dengan cepat, apa pria itu tidak risih selalu memamerkan tubuh di depannya seperti ini?

"Kamu akan tetap berdiri dan melamun di sana?"

Valeria mengerutkan keningnya, sama sekali tidak paham dengan ucapan Revan yang tiba-tiba, "Maksud Bapak?"

"Bantu saya mengatur dasi."

"Eh? Memangnya Anda tidak bisa mengatur dasi sendiri?"

"Erik selalu melakukannya tanpa saya minta sejak dari lama dan ini sudah menjadi bagian dari tugasnya. Kenapa kamu selalu terlihat keberatan dengan semua tugas sekertaris ini?"

Valeria menelan seluruh sumpah serapahnya pada pria ini lalu bangkit. Jantungnya kembali berdetak tidak karuan saat tubuh mereka berdekatan. Aroma maskulin itu membuat dirinya benar-benar gugup.

"Cepatlah, kamu akan membuat saya terlambat dengan gerakan kamu yang lambat seperti ini."

"Baik Pak,"

Mendengar teguran itu, gerakan Valeria menjadi lebih cepat, ia mengatur dasi Revan meski rasa gugup benar-benar menguasainya.

Setelah selesai, Revan segera melangkahkan kakinya sementara Valeria masih tertegun di tempat. Ia menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan, mengatur hatinya yang benar-benar gugup dengan semua tugas aneh ini.

"Nona Valeria, apa kamu benar-benar ingin membuat saya terlambat? Ayo pergi."

"Ah ma-maaf, Pak."

Sekali lagi Valeria menepuk wajahnya lalu berlari menghampiri Revan yang sudah berada di depan pintu. Fokus Valeria, fokus! Ia harus bisa melupakan malam itu agar bisa fokus dalam bekerja.

****

"Ini tugas-tugas kamu hari ini, selesaikan semua tugas ini hari ini juga. Kamu paham?"

Valeria terperangah melihat tumpukan berkas-berkas yang menumpuk di hadapannya. Ia menatap tidak percaya ke arah Revan, apa pria itu hendak menyiksanya? Bagaimana bisa ia menyelesaikan semua tugas-tugas ini dalam satu hari?

"Kenapa? Kamu keberatan? Bukankah kamu yang bilang sendiri bahwa kemarin kamu dapat melakukan apapun agar saya tidak memecat kamu?"

"Tapi Pak, apa ini tidak terlalu banyak? Tangan saya hanya dua." Protes Valeria.

"Kamu yang datang terlambat kemarin, Valeria. Kamu harus menanggung konsekuensinya, saya sungguh sangat benci kepada pegawai yang tidak tepat aturan. Saat ini saya sedang mendisiplinkan kamu agar kamu tidak kembali mengulangi kesalahan fatal kamu kemarin."

Ingin rasanya Valeria memuntahkan segala hal yang terjadi malam itu kepada Revan. Padahal Revan sendiri yang membuatnya terlambat hari itu karena insiden malam itu. Jika ia mengatakannya, apa Revan masih bertindak semenyebalkan ini?

"Tunggu apa lagi? Segera kerjakan."

"Ada beberapa hal yang tidak saya mengerti, apa saya juga bisa bertanya pada Pak Erik?"

"Berusaha dulu sendiri, jangan ganggu Erik."

Menelan seluruh gerutuannya, Valeria akhirnya mengangkat berkas-berkas itu lalu beranjak menuju ruangannya. Ia menyalakan komputernya lalu menggerutu dengan kesal.

Bagaimana bisa pria lembut di malam itu berubah menjadi pemimpin yang begitu diktator kepada karyawannya hanya karena kesalahan kecil?

****

Waktu berlalu hingga jam istirahat. Revan yang memang tidak berniat untuk makan siang memilih meminta Erik untuk membawakan makanan ke ruangannya. Sebenarnya ia bisa saja meminta Valeria melakukannya, namun rasanya tidak benar ia meminta hal seperti itu setelah ia memberikan tugas yang cukup banyak kepada sekertaris barunya itu. Biar saja Valeria menikmati makan siang bersama rekan kerja mereka yang lain.

"Ini makanan Anda, Pak."

Revan yang mendengar kedatangan Erik segera mengalihkan pandangan, "Taruh saja di situ, Erik."

"Ngomong-ngomong apa Bapak sengaja meminta Valeria untuk tidak keluar makan siang hari ini karena kesalahannya kemarin?"

Revan terlihat mengangkat alis, "Aku tidak melakukan itu. Bukankah ia pergi makan siang bersama dengan rekan-rekannya?"

"Sepertinya tidak, saya lihat dia masih menatap komputernya dengan serius."

Mendengar ucapan Erik, Revan segera mengangkat tirai ruangan. Ia cukup terkejut mendapati bahwa perkataan Erik benar, Valeria memang masih duduk di sana berkutat dengan berkas-berkas yang ia berikan.

"Apa Bapak ingin saya memintanya untuk berhenti sejenak?"

"Tidak, tidak perlu. Jika aku melakukan itu, ia akan mengira aku bermurah hati padanya."

"Kalau begitu, baik Pak. Saya permisi."

Meski ia terlihat tidak peduli di depan Erik, Revan kembali mengangkat tirai ruangan lalu menatap ke arah Valeria. Ia berdecak dengan kuat, setengah jam sudah berlalu, namun Valeria belum beranjak dari kursinya. Sejak tadi pagi ia tidak melihat Valeria memasukkan apapun ke dalam mulutnya, Revan mulai gusar mengetahui hal ini.

Maka tanpa berpikir panjang, Revan segera mengabaikan makanan yang dibawa oleh Erik lalu mengambil jas kantornya. Ia mengetuk perlahan bilik ruang kerja Valeria lalu berkata, "Bangunlah, ayo kita makan siang bersama, Valeria."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status