🌸🌸🌸"Dasar anak durhaka! Anak tidak tahu diri! Kamu pikir kamu hebat! Kalau bukan karena anakku sudah pasti kamu tidak ada di dunia ini! Menyesal aku punya cucu sepertimu!”Aku yang sedang fokus dengan buku diari Nindi kaget sekaligus syok saat oma menangis histeris disertai caci maki. Padahal tadi Oma sedang bergembira karena jalan berdua dengan opa. Mengenang masa muda, begitu katanya. Cucu siapakah yang oma maksud?Der! Der! Der!Pintu kamarku digedor-gedor oma.“Keluar kamu s*tan cilik! Keluar!” teriak oma.“Ada apa, Mbak?” Itu suara nenek.Gegas kubuka pintu.Brug!Tubuhku terpelanting ke lantai begitu pintu terbuka.Sepertinya oma benar-benar telah kerasukan. Tenaganya kuat sekali. Badanku sakit, ngilu!“Istighfar, Mbak!” Nenek mencoba menyadarkan oma. Tante Eni menolongku berdiri.“Gara-gara anak durhaka ini. Anakku meninggal! Puas kamu! Bahkan permintaan terakhirnya tidak kamu penuhi! Dasar ibl*s!” umpatan sekaligus kabar yang dibawa nenek membuatku limbung.Opa membawa oma
Kupanjatkan doa untuk ayah. Khusuk. Hingga tidak terdengar suara ratapan dan tangisan oma. Seolah aku berdiskusi langsung dengan Tuhanku.Aku berdoa untuk ayah. Memohonkan ampun untuk ayah. Mungkin di detik terakhir ayah sempat bertaubat. Aku sudah memaafkan ayah biarlah Tuhan yang membalas segala buruk perbuatan ayah. Kewajibanku sebagai anak telah gugur. Sungguh kini aku telah memaafkan ayah.“Alya! Al!” Sentuhan kasar dari oma menyudahi konsentrasiku.“Jangan kau sentuh anakku! Pergi! Kamu anak durhaka!” umpat oma.“Lihatlah ibu-ibu, anak durhaka ini bahkan tidak menangis sama sekali atas kepergian ayahnya!” tunjuk oma padaku. Para tetangganya yang sudah hadir bertakziah fokus memperhatikanku, tapi tidak berani berkomentar.Oma dibawa masuk ke kamar oleh om Ardi. Meski berontak, tenaga oma tetap kalah.Kuusap wajahku dengan ke dua telapak tanganku. Aku sadar aku tidak menangis. Entah kenapa.“Kalau tidak kuat Tante antar ke kamar, yuk!” Tante Eni menyentuh bahuku.“Tidak, Tan. Aku
“Saudara nyonya oma. Datang semalam jam 1 malam. Bibi tahu karena semalam bibi yang membantu membawakan barang-barang mereka, Non.”“Oh, saudara ayah, pantas mirip. Bibi enggak usah buatkan mereka sarapan. Kan, sudah banyak makanan. Bibi temani aku aja ke kamar.”Bik Siti terlihat bingung, tapi kemudian menurut saja. Oma ini aneh sekali sedang dalam keadaan berduka saja makan milih-milih. Di meja makan sudah banyak sekali lauk pauk. Tinggal makan yang ada kok, ngerepotin orang lain. Para tetangga saja sejak selepas subuh tadi sudah banyak yang berdoa dan mengaji Yasin di dekat jenazah ayah. Ini oma sibuk milih-milih makan.“Istirahatlah barang sebentar Bik, pasti Bibi lelah sekali. Ini masih jam 6 pagi, nanti Bibi aku bangunin jam 7.” Meski terlihat bingung, tapi senyum bik Siti mengembangkan. Hitungan menit bik Siti sudah tertidur pulas.Kukunci kamar. Aku tidak mau ada yang mengganggu. Tante Eni ada di kamar nenek. Tadi selepas subuh, calon suaminya datang. Aku gegas mandi, dan bers
🌸🌸🌸“Jangan buat keributan di sini!” gertak Om Ardi. Suaranya terdengar berat giginya bergemeletuk. Mungkin oma takut. Beliau dengan kesal dan tatapan sinis pergi menjauh.Terdengar kasak-kusuk di belakang bilik pemandian ayah. Ustaz dan beberapa warga yang memandikan jenazah ayah terus saja beristighfar.Hatiku teriris melihat kenyataan ini. Mungkin ini hukuman yang setimpal untuk ayah. Hukuman yang meringankan sedikit dosa-dosanya. Wallahu’alam.Selesai dimandikan dengan sigap mereka mengkafani ayah. Yang aku dengar dari ustaz jangan sampai apa yang mereka lihat sewaktu memandikan ayah dikabarkan ke pada banyak orang. Itu menjadi rahasia mereka.Kupandangi sekali wajah ayah sebelum tertutup kain mori dan kapas. Aku ditugaskan untuk menaburkan bubuk wewangian pada seluruh tubuh ayah. Pak ustaz pun menyuruhku untuk mencium ayah untuk terakhir kalinya.Meski ragu aku tetap melakukannya. Aku mendapat giliran terakhir. Oma, opa, Tante Devi terlebih dahulu.Inilah saat terakhir aku men
Ruang keluarga sepi bak kuburan. Di ruang tengah bukan tidak ada orang, ada keluarga besar oma, tapi mereka tidak ada yang bersuara. Mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Dari kamar tamu terdengar repetan Oma terus menerus. Apa Oma tidak capek? Merepet dan juga mengumpat tidak akan mengembalikan ayah. Ting! Pesan masuk dari Lusi. [Sepupumu baik-baik saja, Al. Tadi dia telepon kamu bermaksud mengucapkannya bela sungkawa. Tadi kami sampai sini sudah ada gengnya dan seorang om-om. Beneran deh, Al. Mereka ini kayaknya sugar baby.] Kubaca ulang pesan yang lumayan panjang dari Lusi. Sugar baby, tapi diari itu? Ah, aku akan bertanya langsung pada Nindi. Sekarang bukan waktu yang tepat. [Lus, yang benar deh! Mungkin itu saudaranya Putri? Jangan asal tuduh takutnya mereka tersinggung. Nanti kamu dalam bahaya.] [Beneran Al, kalau itu saudaranya enggak mungkin juga selengket itu. Mana ada sama suadara ngelendot-ngelendot manja.] [Memang mereka enggak malu sama teman-teman yang lai
Azan Maghrib berkumandang bersamaan dengan tangisan Tante Anin. Ya Allah itu istri dari mana kenapa bisa tidak tahu kalau suaminya meninggal dunia. Padahal dari pihak kepolisian sudah berkali menghubungkan nomornya.Lucunya aku pun baru ingat kalau Tante Anin itu istri ayah. Seolah terhipnotis aku benar-benar lupa tentang Tante Anin.Plak!Tante Anin memegangi pipinya. Tamparan kuat dari oma mendarat cantik di pipi mulus Tante Anin. Oma kasar sekali. Siapa pun kena marah tidak pandang bulu ataupun malu. Berbuat sesuka hati.“Istri tidak tahu diri! Dari mana saja kamu! Apa kamu baru selesai ngelont* hah!” bentak oma.“A—ku ....” Tante Anin menjatuhkan dirinya ke lantai. Menangis histeris. Tangisannya seolah bersahutan dengan azan dan iqomah di Masjid.Di luar sana orang sibuk beribadah, di rumahku orang sibuk bertengkar.“Lihat saja penampilanmu itu Anin. Orang juga sudah bisa menilai kamu dari mana. Menyesal aku menikahkan Hendra denganmu!” kata oma lagi.Benar yang dikatakan oma. Pe
Assalamualaikum ... Bantu follow akunku, yuk! bagi yang sudah follow aku ucapkan terima kasih banyak 😘🙏🌸🌸🌸“Nah, benar ‘tuh yang dibilang Paman. Aku Juga yakin sekali kalau Mas Hendra semasa hidupnya sudah banayk mengumpulkan harta untuk diwariskan pada orang tua dan anaknya,” sahut keponakan opa yang baru kutahu namanya adalah om Yuda.“Benar. Aku juga yakin begitu. Apa lagi kakakku itu adalah seorang yang pekerja keras untuk keluarganya.” Tante Devi pun tidak tinggal diam. Dia memang selalu semangat kalau membahas masalah harta.“Pak Ustaz dengar sendiri ‘kan, pengakuan dari mereka bagimana anakku selama hidupnya. Itulah kenapa saya sebagai bapaknya ingin segera terselesaikan masalah ini. Saya yakin ada bagian kami di sana karena anak kami itu sangat sayang keluarga,” ucap opa lagi.“Jangankan sama orang tua sama kami para sepupunya juga sayang,” timpal om Yuda.Ck, jelaslah ayah dipuji-puji mereka selama ini ikut menikmati jerih payah ayah dan juga—ibuku tentunya.Pas Ustaz s
“Barang kali aja, ya, kan, Oma? Apa Oma lihat ayah?” tanyaku konyol. Aku juga tahu kalau orang yang sudah meninggalkan mana bisa datang lagi.Oma menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menangis.“Ada apa, Bu? Cepat katakan,” bujuk opa.“Uangku ... uangku hilang, Pak!” teriak oma histeris.“Uang? Uang apa dan di mana?” tanya opa lagi.“Di sana, Pak. Di atas pintu. Ibu simpan di wadah bekas HP ini,” jawab oma. Tangisnya pecah.“Kok, bisa? Kenapa Ibu taruh di sana. Berapa Bu, biar kita bantu cari,” sela Tante Devi.“Du—a, Dev. Du—a puluh juta!” Oma makin histeris.“Apa!” sahut mereka bersamaan.Ha-ha sudah kuduga, pasti mereka terkejut. Duh, Oma, maafkan aku, ya? Aku jadi jahat sama oma.“Kok, Ibu ini aneh! Kenapa uang sebanyak itu Ibu taruh di sana. Aku yakin Ibu pasti lupa narok.” Tante Devi mulai beraksi dia mulai menggeledah lemari baju oma.“Enggak, Dev! Ibu enggak lupa narok, kemarin masih ada,” jawab oma.“Bapak-bapak, Ibu, kami permisi undur diri. Insya Allah besok malam kami ke s