Cepat-cepat Mutia menyeka air matanya. Begitu juga dengan Lidya. Mereka tidak ingin Hendri melihat jejak tangisan. Yang justru akan menimbulkan ribuan pertanyaan."Bapak!"Mutia bangkit, membalikan badannya ke arah Hendri yang berdiri di ambang pintu. Sebisa mungkin Mutia bersikap tenang. Ulasan senyuman melengkung pada bibirnya. Menunjukan jika tidak pernah terjadi apapun."Pak!"Lidya buru-buru menghampiri Hendri. Meraih tangan lelaki bertubuh tinggi besar itu dan mengecupnya."Kapan datang?" tanya Hendri mengulas senyum sesaat setelah Lidya melepaskan jabatan tangannya."Ba-baru, Pak." Kegugupan masih melanda Lidya. Takut jika Hendri mendengar pembicaraannya dengan Mutia. Tatapannya menelisik seksama wajah lelaki bertubuh tinggi besar yang ada di depannya. Mencari tanda-tanda yang membuat hati Lidya tidak tenang."Mama!"Suara Habibi membuyarkan segala rasa yang berkecamuk di dalam hati Lidya. Habibi bak pe
Berita gonjang ganjing rumah tangga Lidya sebenarnya sudah sampai ditelinga Hendri sejak lama. Hanya saja sebagai orang tua tidak banyak hal yang bisa Hendri lakukan. Mengingat putri semata wayangnya sangat mencintai Satya. Apalagi ditengah-tengah pernikahan mereka sudah ada Habibi, cucu kesayangan Hendri.Sepak terjang Satya tak pernah lepas dari pantauan Hendri. Berapa banyak wanita lain yang Satya singgahi dan tiduri, semua Hendri tau. Hendri marah dan geram, rasanya ia tidak sabar ingin mencabik-cabik anak mantunya itu. Hanya saja jika teringat Lidya dan Habibi, Hendri mengurungkan niatannya. Sekalipun Hendri tidak terima jika putri semata wayangnya di perlukan seperti itu, tapi Lidya yang menjalini mau menerimanya. Hendri bisa apa. Sebagai orang tua Hendri hanya mampu menasehati dan keputusan sepenuhnya ada di tangan Lidya.Keinginan Lidya menitipkan Habibi di rumah kakek neneknya disambut senang' oleh Hendri. Bahkan penyebab dititipkannya Habibi sudah Hendri kant
"Maaf Bu, anda tidak boleh masuk." Seorang suster menahan tubuh Lidya saat ranjang pasien di mana Satya berada akan dibawa masuk ke ruang UGD.Seorang rewang Hendri menahan tubuh Lidya yang gemetar. "Kita manut saja Non," ucap lelaki itu menenangkan Lidya. Lidya menatap kasian pada Satya yang tidak sadarkan diri. Dadanya terasa begitu sesak melihat keadaan lelaki yang dicintainya bebak belur.Lidya yang menangis memundurkan beberapa langkah kakinya. Memberikan ruang untuk para perawat membawa Satya masuk ke dalam ruangan.Pintu ganda ruang UGD tertutup. Tubuh Lidya disergap udara dingin yang menggila. Pak Sabar menuntun Lidya yang nyaris pingsan duduk pada bangku tunggu. Pikiran wanita itu diliputi oleh ketakutan dan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi pada Satya. Juga rasa bersalah yang menyumpal dada."Non mau Pak Sabar belikan minum?" tawar lelaki yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah keluarga Lidya. Menatap khawatir pada Lidya yang duduk di samp
"Makasih, Gia, pokoknya aku sangat senang sekali," ucap Angga antusias. Ia merasa beruntung sudah dikenalkan oleh dokter hebat yang sudah menyembuhkan ular derik Angga."Tenang, jangan terlalu bersemangat." Wanita bernama Gia yang tidak lain adalah teman sekolah Angga itu berkelakar. Angga mengerutkan kening. "Lah, memangnya kenapa?" Wajahnya berubah bingung. "Tentu saja aku senang. Akhirnya aku sembuh dari sakitku." "Sekalipun sudah sembuh, tapi sekarang kan kamu nggak ada teman mainnya," jawab Gia dibalut candaan membuat keduanya terkekeh bersamaan."Jangan begitu." Angga mengibaskan satu tangannya di depan wajah Gia. Wanita yang juga berprofesi sebagai seorang Dokter itu. "Meskipun tidak punya pasangan, tapi setidaknya aku kan sudah jadi lelaki tulen." Angga menimpali. Membela diri. Kesembuhan dari penyakit impot*n disambut penuh suka cita oleh Angga. Ia sangat bersyukur sekali akhirnya ular deriknya kembali bisa berfungsi seperti sedia kala."Kamu tidak ingin rujuk dengan mant
Suara erangan Satya yang tersadar membangunkan Lidya yang seharian suntuk berjaga. Ia tidak tau, sejak kapan ia terlelap. Yang ia ingat, tubuhnya teramat lelah, matanya juga terasa perih karena terlalu banyak menangis."Mas, kamu sudah bangun?" Lidya menatap khawatir. Cekatan ia mengusap matanya yang masih terasa lengket. Memastikan lelaki itu dalam keadaan baik-baik saja.Satya tersenyum tipis. Kepalanya terasa pusing sekali. Satya memejamkan matanya untuk sesaat, sekedar mengingat apa yang telah terjadi. Melihat Satya seperti tengah menahan sesuatu Lidya menjadi khawatir."Mas, apanya yang sakit? Aku panggil dokter, ya." Lidya hendak membalikan tubuhnya."Tunggu!" cegah Satya. Satu tangannya memegangi pelipisnya, sementara tangan satunya menggantung di udara hendak menahan lengan Lidya yang tidak terjangkau. Wanita berwajah kusut berbalut kerudung yang menutupi keindahan rambutnya itu berbalik ke arah Satya."Aku baik-baik saja," ucap Satya lembut. Lidya menatap gusar, mencari jejak
Satya menarik tubuh Lidya mundur. Sesaat nyalinya sempat menciut. Syok mendengar penuturan Hendri. Saat teringat jika dirinya ingin rujuk, Satya memberanikan diri untuk maju. "Bapak," ucap Satya lirih, terdengar berhati-hati. Hendri menyorot tajam. Sejak awal Satya masuk menggandeng tangan Lidya, Hendri menunjukan ketidaksukaannya pada menantunya yang sudah ia hajar habis-habisan kemarin lusa. "Saya dan Lidya sudah memutuskan." Sekilas Satya menatap pada Lidya. Seolah meminta dukungan untuk menyakinkan Hendri tentang niatan baiknya. Saking gugupnya, Satya sampai menghela nafas panjang berkali-kali. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Lidya menggenggam erat tangan Satya yang terasa begitu dingin. "Kalau kami ingin rujuk, Pak," tutur Satya selembut mungkin. Ia tidak peduli, jika setelah ini bapak mertuanya akan murka lagi padanya. "Tidak bisa!" sentak Hendri lantang. Suaranya menggelegar. Sorot matanya tajam menghunus pada putri semata wayangnya yang berdiri di samping Satya juga
Tidak ada hal yang lebih indah saat dua insan merasakan madunya cinta. Perahu yang nyaris karam kembali berlayar menuju luasnya samudera. Siap menghadapi ombak dan angin yang datang menerpa, atau ketenangan laut yang menentramkan jiwa. Sejatinya sebuah pernikahan adalah penyempurnaan agama. Bak malam pertama, hasrat Satya dan Lidya kian menggelora. Rindu, marah dan cinta, meredam menjadi satu dalam satu singgasana. Segala kesalahan terlupakan dan termaafkan begitu saja. Yang ada hanya cinta dan gairah yang mengebu.Tubuh Satya jatuh begitu saja diatas tubuh Lidya. Setelah pertarungan panas diantara keduanya. Haram dan halal rasanya sama saja. Hanya godaan diawal yang menawarkan rasa yang berbeda. Tapi jika dirasa, tetap tidak ada bedanya. Nafsu memang begitu, kerap kali membutakan akal dan pikiran. Dan saat itulah, peran iman dibutuhkan."Maafkan aku!" bisik Satya di samping telinga Lidya yang kini berada di bawah tubuhnya.Nafas Lidya menderu tidak beraturan. Seluruh tubuhnya menega
Selesai mendapatkan suntikkan energi. Pagi ini Mita begitu bersemangat. Ia sudah menyiapkan beberapa potong baju ganti di dalam tas ranselnya. Tidak lupa sebuah boneka beruang besar yang masih terbungkus plastik siap menemani perjalanan Mita menuju ke kampung halaman Angga. Oleh-oleh yang akan ia berikan pada Sifa. Putri semata wayangnya yang sudah hampir tiga bulan hanya mampu ia lihat lewat sambungan telepon.Ponsel yang tergeletak di samping tas ransel Mita bergetar. Tangan Mita menyambar cepat benda pintar miliknya. Tanpa melihat nama pemanggil yang muncul pada layar ponsel."Bu, saya sudah di depan," ucap suara lelaki yang ada di seberang telepon setelah minta menerima panggilan."Oh, iya Pak, tunggu sebentar," balas Mita. Ia tau lelaki yang menelponnya barusan pasti supir grab yang ia pesan untuk mengantarkannya ke stasiun.Perjalanan terasa begitu menyenangkan. Mita sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan putrinya, Sifa. Juga mantan suaminya. Kemarin, Mita pura-pura meman