Hari ini adalah hari sibuk bagi warga kampung Ramai, bagaimana tidak, karena hari ini sebuah pabrik besar akan mengadakan acara syukuran mewah, dan warga desa yang menjadi tamu undangannya. Begitu juga aku, Citra, dan Zahra, kami sangat antusias menyambut acara besar hari ini, sedari pagi aku dan Zahra sudah bersiap-siap untuk menghadiri acara tersebut, hanya tinggal menunggu Citra datang menjemput saja, setelahnya kita akan berangkat ke gedung yang memang dibangun pabrik untuk kalau ada acara-acara penting seperti ini. "Bu, kita mau pergi ke pesta ya, Bu? " tanya anakku saat ia sudah mengenakan baju cantiknya, cantik bagi kami tapi belum tentu cantik bagi orang lain, tapi ya memang hanya baju itu yang paling bagus yang anakku miliki. "Iya sayang, kamu seneng gak? " "Seneng dong, Bu, disana pasti ada banyak makanan enaknya, ya kan, Bu? " "Tentu saja, tapi zahra harus ingat pesan Ibu, jika ditempat orang tidak boleh lasak, tidak boleh meminta-minta jika tidak diberi sama pemilikny
Akhirnya dengan terpaksa aku menuruti permintaan orang asing di depanku ini. Aku, Zahra Citra juga Bu Tiar akhirnya masuk kedalam mobil yang telah dibukakan pintunya oleh orang tersebut. *** Tak membutuhkan waktu yang lama, karena memang jarak tempuhnya tidaklah jauh, saat aku datang ternyata sudah banyak warga yang juga ikutan datang ke acara itu, dan saat mobil yang dinaiki sampai di halaman depan gedung, banyak pasang mata yang melihat ke arah kami, dan jujur aku sedikit merasa tidak nyaman dengan pandangan yang mereka berikan untukku nanti. Setelah orang itu turun, lalu dia berlari kecil ke arah pintu penumpang yang aku duduki, lalu membukanya, perlahan aku turun, disusul dengan Zahra, Citra kemudian Bu Tiar, sekilas aku melihat sekumpulan warga yang sangat kukenal, yakni Bu Ida serta geng ghibahnya, Mas Tio beserta istri dan anaknya, Mbak Meri beserta suami nya, dan Lintang yang juga dengan suaminya, mereka menatapku seolah tidak percaya jika yang ada di dalam mobil mewah ter
Tapi ternyata Cinta dan sayang Ibu Intan tulus untuk Pak Hadi, Ibu Intan tidak peduli jika Pak Hadi tidak memiliki harta yang berlimpah. Hingga akhirnya Pak Hadi dan Ibu Intan memutuskan untuk tetap menikah meskipun tanpa restu dari orangtua Bapak Hadi. Saat tahu pernikahan diam-diam mereka, orangtua Pak Hadi marah besar, ia lantas mencoret nama Pak Hadi sebagai anak satu-satunya mereka. Dari pernikahan Pak Hadi dan Bu Intan, mereka akhirnya dikaruniai seorang putri yang sangat cantik, tapi sayang lagi dan lagi rumahtangga mereka kembali diuji oleh yang maha kuasa. Ayah dari Pak Hadi jatuh sakit, karena saat itu usahanya sudah diambang kehancuran, orang tua Pak Hadi akhirnya meminta maaf karena kesalahan yang telah diperbuat, hingga akhirnya Pak Hadi dan Bu Intan datang untuk kembali membangun perusahaan yang sudah hampir bangkrut itu, dengan lapang dada Ibu Intan memaafkan kedua orangtua Bapak Hadi yang dulu pernah menolak dan menghinanya lantaran beda status. Tapi sayang, Ibu Intan
"Mari Ibu Riri Novianti Wicaksono, silahkan naik keatas panggung, dan sambut kedua orangtua kandung Ibu Riri," ucapan pembawa acara menghentikan gelak tawa yang riuh dari para warga. Sementara aku masih tak menyangka jika aku tidak bermimpi, aku menoleh ke arah Citra dan ternyata Citra sudah menatap haru kearahku, begitu juga dengan Bu Tiar, sementara itu Zahra masih diam karena tidak paham dengan apa yang sudah terjadi. "Cit, " ucapku memanggil nama Citra, masih kurasakan tanganku gemetar saat mencoba memegang tangan Citra. "Naiklah Ri, mungkin sudah saatnya Tuhan menaikkan derajat keluargamu, kita tidak pernah tahu apa rencana terbaik yang Tuhan kasih untuk kita, " ucap Citra bijak padaku. Sebelum aku memutuskan untuk naik keatas panggung, aku terlebih dahulu memeluk Citra, sahabat sejati, yang sudi menemaniku disaat hinaan dan cacian menerpa keluargaku. Hanya dia yang masih mau menjadi teman terbaikku bahkan sudah kuanggap sebagai seorang kakak. "Naiklah, orang tua kandungmu
"Riri, ayo kita makan dulu, udah dulu kangen-kangen nya, dilanjut nanti lagi, Papa udah laper nih, " ucap Papa sembari mengelus perutnya yang buncit. "Emm, Pa, boleh aku ajak sahabat aku? " tanyaku pada Papa. "Boleh dong Sayang, silahkan saja, terserah kamu mau ajak berapa orang yang kamu mau. " "Makasih ya, Pa. " Aku pun turun dari panggung dan menghampiri Citra dan Bu Tiar. Kutinggalkan Zahra yang masih dalam gendongan Papa, aku biarkan mereka menuangkan rasa rindu yang membuncah pada cucunya. "Citra ayo kita makan bareng, aku udah laper. " "Aku makan sama yang lain aja Ri, gak enak takut ganggu. " "Kamu ini kayak sama siapa aja. Biasanya juga selonang selonong." "Kan beda Ri, Riri yang sekarang adalah seorang jutawan, anak pengusaha." "Kamu nih apa-apaan sih, Aku ya tetap Riri yang dulu, gak pernah berubah, udah ayo ikut, pokoknya gak boleh nolak. " "Yaudah deh, ayo, Bu, " ucap Citra pada Bu Tiar. Saat aku, Citra dan Bu Tiar akan menghampiri Papa, Mama dan juga Zahra yan
Orang Tua kalian meminta uang berjumlah 500 juta dengan dalih ingin membuat rumah untuk Riri, yang namanya saya sebagai orang tua tentu setuju dengan usulan orang tua kalian, tapi ternyata saya terlalu bodoh, orang tua kalian itu tak jauh beda liciknya dengan kalian, selama ini saya sudah ditipu mentah-mentah, padahal saya sudah percaya sepenuhnya sama mereka, orang tua kalian berfoya-foya dengan uang yang selalu saya kirim setiap bulannya yakni 10 juta rupiah untuk Riri, tapi nyatanya, Riri mereka abaikan, bahkan Riri harus mengerjakan semua pekerjaan rumah terlebih dahulu jika ingin makan. Dan hingga saat kalian semua di boyong ke kota ini barulah keluarga saya terputus kontak dengan orang tua kalian, dan kalau saya mau, bisa saja saya langsung mengambil kembali rumah yang kalian tempati dan mengusir kalian dari sana. Jadi sebetulnya yang miskin itu bukan Riri, tapi kalian lah si miskin yang tak tahu diri itu. " Aku tercengang untuk yang kesekian kalinya, jadi ternyata Mas Tio dan M
"Iya, Bu. " Aku berjalan menuju pintu depan dengan meninggalkan Zahra sendiri didalam kamar. Kubuka perlahan pintu rumahku, lalu aku melongokkan kepalaku keluar untuk melihat siapa yang datang. "Mas Tio, Mbak Tiwi, Dea? Mau apa mereka kemari? " gumamku dalam hati. "Riri, boleh kami masuk? " ucap Mas Tio memecah lamunanku. " "Ah iya boleh, Mas, silahkan, " aku mempersilahkan masuk mereka dan sedikit menggeser tubuhku ke samping agar mereka bisa masuk kedalam rumahku. "Maaf, Mas, Mbak, ada apa ya kesini? " ucapku membuka percakapan. Entah kenapa perasaanku sedikit tidak enak dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba kerumahku. "Kami kesini mau pinjam uang 200 juta sama kamu, Ri," ucap Mas Tio. Sontak saja mataku terbelalak saat mendengar ucapannya. Ternyata benar firasatku. Mereka kesini pasti ada maunya. "Iya, Ri, kami butuh untuk bayar cicilan mobil, sudah nunggak dua bulan, kalau tidak dibayar nanti mobil kami ditarik, tolonglah kami, Ri, uang segitu tentu sangat kecil bagim
Hari ini rencananya Mama dan Papa mau datang kerumahku ini, jadi pagi ini juga aku akan masak spesial untuk menyambut mereka. Dengan sangat terpaksa aku belanja di warung Bu Ida, karena hanya itu satu-satunya warung terdekat dari rumahku ini, ada sih warung lain, tapi aku harus menempuh jarak satu kilo, jika aku beli di warung yang jauh itu takut tak terburu waktunya. Tadinya aku mau mengajak Citra berbelanja juga, tapi hari ini Citra baru saja masuk kerja di pabrik, jadilah dia tak bisa menemaniku. Seandainya pabrik itu bukan milikku mungkin hari ini aku juga sama seperti Citra yang sudah harus berangkat kerja pagi dan menitipkan Zahra pada Bu Tiar. Setelah acara syukuran itu, tentu saja statusku sudah bukan lagi pekerja disana melainkan sebagai pemilik. Dan kata Mama dan Papa, minggu depan saja aku datang ke kantor pabriknya untuk mempelajari bagaimana caranya memimpin dengan benar, jadilah untuk sekarang ini aku tidak ada kerjaan. Oh iya aku juga sudah berhenti bekerja menjadi a