"Ah, gak apa Ri, dulu sebelum Mama dan Papa memimpin perusahaan kakek kamu juga tinggal di rumah kontrakan persis seperti rumahmu ini. "akhirnya aku, Mama, Papa dan juga Zahra menikmati makan siang dengan khidmat. *** Kini aku tengah berada di dalam mobil bersama Mama, Papa, dan Zahra, kami berniat menuju mall besar di kotaku ini, karena memang sebelumnya aku dan Zahra belum pernah sekalipun masuk ke dalam mall. Keceriaan Zahra mengiringi perjalanan kami, dia sangat antusias sekali karena memang ini adalah yang pertama baginya, aku yang melihatnya tentu saja sangat bahagia. Terima kasih ya Allah sudah memberikan rezeki tak terduga seperti ini. Tapi meskipun rezekiku sudah bertambah, lantas tak membuat aku menjadi gelap mata dan menggunakan uang yang Mama dan Papa berikan untuk berfoya-foya. Karena menurutku sebanyak apapun harta kita jika digunakan untuk berfoya-foya pasti akan habis juga. Belum lagi masalah ku dengan orang-orang yang pernah menghinaku sebelumnya. Memang sih, me
"Apa tidak ada teman yang tahu dimana Anam dulu bekerja? " "Ada sih, tetangga dekat rumah juga, tapi katanya Mas Anam smpat pamit pulang karena udah rindu sama Riri dan Zahra, tapi pada kenyataannya hingga saat ini Ms Anam tak juga diketahui keberadaannya. " "Nanti coba Mama bicarakan sama Papa, biar Papa minta tolong anak buahnya untuk mencari keberadaan Anam. " "Beneran, Ma? " tanyaku pada Mama dan dijawab dengan anggukan. "Terimakasih ya, Ma, jujur hingga saat ini Riri sangat merindukan Mas Anam, selama ini hanya dia yang Riri punga, " aku memeluk Mama, betapa nyaman rasanya berada di dekapan orang yang sayang sama kita. Selama ini aku tak pernah mendapatkan pelukan sehangat ini. "Oh iya Ri, Mama dan Papa ada rencana untuk membangun kembali rumahmu, Ri. " "Tapi Ma, rumah itu tak boleh dibangun sebelum cicilannya lunas, begitulah dulu perjanjian jual beli nya, Ma. " "Kamu tenang saja, sudah dilunasi sama Papa, dan ada satu hal lagi yang ingin Mama sampaikan, tanah kosong dis
"Sudah, Ma, sudah Riri masukin kedalam mobil juga," Ya, aku kini juga sudah bisa menyetir mobil sendiri, itu semua Papa yang minta, Papa dan Mama ternyata memberikanku kejutan sebuah mobil baru lengkap dengan formulir pendaftaran belajar kemudi. Mobil itu memang Papa dan Mama belikan khusus untuk aku dan Zahra kalau mau kemana-mana katanya, padahal aku tidak pernah memintanya, tapi mau menolak juga aku sungkan. Setelah semuanya siap, aku dan Zahra berpamitan pada Mama dan Papa untuk kembali ke rumah baru ku. Jarak rumah kedua orangtuaku dan rumahku tidaklah jauh, hanya berbeda kecamatan saja, jika nanti aku atau Zahra kangen, tinggal datang saja. Tanpa terasa akhirnya mobil yang ku kemudikan sampai juga di halaman rumahku. Aku sangat senang dengan rumah baruku, rumah yang terdiri dari empat kamar tidur dan dua kamar mandi umum dan satu kamar mandi dalam di kamar utama, halaman yang luas persis seperti keinginanku, di sisi pojok kanan teras ada kolam ikan berukuran sedan
"Sialan kamu, ,Mbak! Jangan mentang-mentang pabrik itu kamu yang punya lantas seenaknya main pecat orang! " "Kalau kamu gak mau suamimu kupecat, ya tau diri dong! Kau fikir perusahaan itu milik nenek moyang kalian, bisa ngatur pemiliknya? Introspeksi diri itu lebih baik, biar kalau kalian berbicara itu tidak terlihat bodohnya, sudah ya, aku mau istirahat dulu, si OKB ini mau menikmati rumah barunya, bye," aku beranjak dari tempatku berdiri, tak kupedulikan suara Lintang yang terus mencaci dan memaki ku. *** "Riri! Assalamualaikum, Ri! " sayup-sayup kudengar suara seseorang yang kukenal di sela suara bel yang berbunyi. Ketika aku melihat siapa si empunya suara, dengan semangat empat lima aku bergegas membukakan pintu untuknya. "Citra! Apa kabar, ya ampun aku kangen bnget, ayo masuk," aku membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan Citra untuk masuk. Selama aku tinggal di rumah Mama, aku memang tak pernah bertemu dengan Citra, meskipun di pabrik juga tidak pernah bert
"Terimakasih, Cit, kamu memang sahabat terbaikku, cuma kamu yang selalu ada saat aku butuh penguat diri," ucapku sembari memeluk Citra. "O iya, ngomong-ngomong soal suamimu, belum ada kabar juga dari dia? ' "Hem, belum Cit, aku juga bingung, rencananya minggu depan aku sama Papa mau nyari keberadaan Mas Anam ke jakarta. " "Kamu mau ke jakarta? Terus Zahra sama siapa? " "Soal itu kamu tenang saja, ada Mama yang akan menjaganya, disana juga nanti ada pengasuh yang ikutan jaga, jadi Mama aku gak bakal kecapekan. " 'Jadi orang kaya itu ternyata enak ya, Ri, semoga nasib baik kamu nular sama aku ya, biar aku juga bisa ngerasain enaknya jadi orang kaya, mau apa tinggal tunjuk aja. " "Kamu Cit, bisa saja, eh, makan yuk, kamu pasti lapar, nanti malam tidur sini ya, aku cuma berdua aja nih sama Zahra di rumah sebesar ini. " "Oke siap Bu, Bos, tapi aku ambil baju ganti dulu ya. " "Oke siap," dan kami pun tergelak bersama. Dua minggu sudah aku menempati rumah lama rasa baruku ini. Sela
"Maaf, Mas, kenapa Mas Haris jadi ngatur-ngatur aku? Biarpun aku pemilik nya tapi bukankah aku harus mencontohkan hal yang baik untuk karyawanku? Bagaimana jadinya karyawanku jika aku sebagai pemimpinnya saja tidak bisa memberikan contoh yang baik bagi mereka, maaf Mas, kalau tidak ada yang penting lagi aku permisi," ucapku sembari akan menaiki mobil bagian kemudi. "Tunggu, Ri, " ucap Mas Haris sembari tiba-tiba memegang tanganku. Sontak saja aku terbelalak, saat aku akan menepis tangan Mas Haris dari tanganku tiba-tiba suara cempreng Mbak Fitri memekakkan telingaku. "Bagus ya, ternyata ini penyebab kamu mau menceraikan aku, Mas, heh jablay! Apa gak ada pria lain yang harus kau goda selain suamiku ha! " umpat Mbak Fitri dengan mulut kotornya. "Fitri! Jaga bicaramu! " hardik Mas Haris pada Mbak Fitri. "Memang benar kan, Mas, karena perempuan ini kan kamu mau menceraikanku?" "Bicara apa kalian ini, tolong kalau rumah tangga kalian sedang bermasalah jangan pernah sangkut pautkan
"Sudah siap semua, Ri? ""Sudah, Pa. ""Kamu hati-hati ya Ri, terus berdoa semoga apa yang kamu dan orang pikirkan tentang Anam selama dia menghilang adalah salah. ""Iya, Bu, aku juga berharapnya begitu, tapi kalaupun seandainya benar apa yang orang katakan tentangnya aku akan ikhlas melepasnya, mungkin memang dia tidak bahagia hidup bersamaku, tapi setidaknya jika aku sudah menemukan Mas Anam dan tahu kebenarannya, hati ini terasa lega hingga aku jadi tahu langkah apa yang harus aku ambil untuk kelangsungan rumah tangga ku ini. ""yaudah sana, Papa sudah menunggu. ""Yaudah, Ma, aku pamit ya, Zahra kamu jangan nakal ya, baik-baik di rumah Oma," ucapku sembari mengelus kepala Zahra dan mencium kening dan kedua pipinya. "Iya, Bu, Ibu hati-hati di jalan."Aku pun segera melangkah menuju kursi penumpang mobil yang kami naiki, karena aku dan Papa harus segera berangkat ke Bandara, karena jadwal keberangkatannya sekitar dua jam lagi. Sedangkan jarak rumahku ke Bandara se
"Aku hanya terlalu takut, Pa, takut jika apa yang dikatakan orang tentangnya adalah benar. ""Berdoa saja semoga apa yang kamu khawatirkan tidak benar terjadi, ya sudah yuk sekarang kita berangkat takut kemalaman. "Aku dan Papa berjalan menyusuri koridor hotel, hingga akhirnya kami sampai di lobi dan ternyata sudah ada supir yang memang menunggu kami. ***Aku terdiam selama perjalanan menuju alamat tempat tinggal Mas Anam, hatiku berdetak tak karuan, dahiku berkeringat, padahal ac mobil sudah di fullkan tapi tak juga menghilangkan rasa panas di hatiku. Hingga tanpa kusadari akhirnya mobil kami sudah sampai di tempat tujuan.Kuedarkan pandanganku menatap ke sekeliling tempat yang baru saja aku datangi ini. Kondisi kampung yang padat rumah dan ramai warganya terlihat jelas dari sini, karena saat ini jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Biasanya jika jam-jam segini adalah jam yang paling enak untuk berkumpul para Ibu-Ibu, baio itu untuk berghibah maupun bercengkrama biasa. Dan ter