Orang yang ingin menjalin kerjasama dengan usaha baksoku sudah menghubungi Alia lagi. Sudah membuat janji untuk bertemu siang ini di sebuah kafe yang jaraknya tidak begitu jauh dari sini. Alia tadinya akan ikut, tapi batal karena harus mengantar ayahnya yang sakit ke klinik. Sementara, Hafhsa kutitipkan sebentar pada ibunya."Maaf, ya, Mbak. Aku harusnya ikut dan temani ke sana, tapi gimana.""Enggak apa-apa, Al. Santai saja. Yang penting ayah kamu dibawa berobat dulu. Apa kata dokter?""Belum diperiksa, Mbak. Masih nunggu antrian. Lumayan ramai ini pasiennya.""Oh, ya sudah. Kabari mbak kalau ada apa-apa, ya.""Iya," sahutnya sebelum panggilan telepon kami kuputus.Motor melaju dengan kecepatan sedang sampai akhirnya tiba di parkiran kafe. Pengunjungnya tak begitu ramai. Aku masuk dan mengambil meja di dekat kaca jendela.Sekian menit menunggu, akhirnya seorang pria yang cukup muda datang menghampiri meja."Dengan Mbak Lusi?"Aku mengangguk. "Andi?""Iya. Ini saya.""Silakan duduk."
Dada berdebar begitu saja melihat siapa yang ada di hadapanku sekarang. Aku hanya bisa mematung dalam kebisuan. Setelah sekian lama tak pernah bertemu ataupun komunikasi, tiba-tiba dia hadir tanpa pernah diduga.Aku tak bisa menampik perasaan bahagia dan haru yang menyelimuti hati. Namun, semua itu terhempas kembali ketika teringat dirinya yang tak menunjukkan i'tikad baik untuk menjalin komunikasi. Meskipun, hanya sekadar untuk bertanya tentang putri bungsunya."Apa kabar?" Pertanyaan Mas William kembali menyadarkanku dari kebekuan ini.Aku mencoba mengendalikan diri dan perasaan ini. Berusaha amemasang raut wajah tenang kembali walau tangan sedikit gemetar."Aku ... baik juga, Mas. Alhamdulillah," jawabku seraya meremas kuat gamis di pangkuan."Syukurlah." Dia tersenyum. Senyum manis yang dulu selalu membuatku terbuai dan tergila-gila.Aku memalingkan wajah ke sembarang arah. Lama tak bertemu membuatku merasa canggung sekaligus gugup."Aku—""Maaf, Mas. Aku ... izin ke toilet sebent
"Aku ...." Mas William menjeda ucapan. Tatapan sendunya membidik tepat pada kedua mata ini. "Aku malu. Sangat malu padamu.""Malu?" Dahiku mengernyit.Mas William membuang muka seraya mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu menatapku lagi."Aku merasa enggak pantas menjadi papanya. Sudah terlalu banyak kesalahan yang kulakukan padamu, Lusi. Bukan hanya membiarkanmu berjuang sendirian melahirkan putri kita, tapi juga sering menorehkan luka. Aku gagal, aku payah. Aku enggak becus menjadi suami dan papa yang bertanggung jawab," tuturnya dengan mata berkaca-kaca."Bukannya karena Mas marah dan benci padaku?" Kuremas kembali gamis di pangkuan demi menahan diri agar tak meneteskan air mata."Marah? Tentu. Saat itu aku sangat marah padamu. Aku kecewa, hatiku sakit. Tapi semua itu enggak seberapa dibandingkan rasa maluku. Aku merasa menjadi laki-laki paling tidak berguna di dunia. Apalagi dengan kondisi lumpuh dan enggak berdaya. Untuk mengurus diri sendiri saja kesulitan, apalagi mengurus kalian?
Kupandangi wajah Hafsha yang sedang tidur seraya mengusap pipinya lembut. Tersenyum mengagumi bulu matanya yang panjang dan lentik persis seperti Mas William."Papamu sudah datang, Nak. Kamu mau 'kan bertemu dengannya, hm?" Aku bergumam sendiri, lalu menoleh pada meja kecil di dekatku dan meraih kartu nama dari sana.Aku berpikir sejenak, lalu mengambil ponsel dari meja dan mulai menekan angka demi angka dari nomor ponsel Was William. Jari berhenti bergerak ketika hanya tinggal menekan ikon memanggil. Keraguan kembali hadir mengganggu sampai akhirnya ponsel kuletakkan lagi.Tiga hari sudah berlalu dari pertemuan kami di kafe itu, tapi aku belum memberi kabar. Bukan tak memperbolehkan dia untuk bertemu dengan putrinya. Tentu saja boleh. Hanya saja, aku belum siap dengan diri sendiri. Takut akan semakin sulit melupakan jika kami sering bertemu."Mungkin sebaiknya aku datang menemui dia ke hotel. Hafsha butuh papanya. Begitupun dengan Mas William yang berhak mencurahkan kasih sayang pada
Aku spontan menoleh dan sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang to the point itu. Aku kembali menghadap lurus ke depan sambil menggeleng."Kenapa? Aku yakin enggak sedikit pria yang mencoba mendekatimu. Bahkan ada yang sudah coba melamar, kan?"Kembali aku menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut."Maaf. Aku terpaksa memata-mataimu."Kubuang napas kasar, lalu kembali memalingkan wajah darinya."Apa lagi yang Mas tahu tentangku?""Banyak. Kecuali kegiatan kalian di dalam rumah.""Haruskah memata-mataiku seperti target operasi?""Terpaksa. Aku ingin tahu semuanya tentangmu, juga tentang Hafsha," jawabnya dengan tenang. "Benar 'kan pertanyaanku tadi?""Iya.""Kenapa ditolak? Apa ... mereka jauh dari kriteriamu?"Aku menggeleng."Lalu?""Mereka semua insyaallah orang baik. Menolak bukan berarti aku tidak suka dengan orangnya. Tapi memang aku enggak siap untuk menikah lagi. Aku sudah nyaman hidup sendiri. Bisa fokus merawat Hafsha dan membahagiakan diri sendiri."Hening.Mas Willilam ta
Rujuklah denganku.Permintaan Mas William selalu terngiang-ngiang. Terbayang-bayang setiap saat sampai aku tak bisa tidur nyenyak. Saat dia mengatakan itu, aku membeku sesaat. Jujur saja. Separuh hati senang, tapi separuh hati menentang. Seakan ada dua sisi dalam diri yang sedang berperang dan entah sisi mana yang akan menang.Aku masih mencintainya, tapi tak yakin siap kembali bersama. Merasakan pernikahan dua kali dan gagal kedua-duanya meninggalkan bekas dan trauma. Merasa diri ini tak pantas bersanding dengan siapa pun.Penolakan kuberikan saat itu juga, tapi Mas William tak gentar. Setiap hari datang ke sini dengan menggunakan Hafsha sebagai alasan. Ada saja yang dia lakukan untuk menarik perhatian. Dia memberikan kejutan-kejutan kecil seperti yang sering dilakukan saat kami masih suami istri dulu."Sebentar," ujarku, lalu beranjak bangun dari sofa dan berjalan lesu menuju pintu.Memikirkan masalah cinta ini memberikan beban tersendiri. Aku dilema. Kepala dari semalam pusing buka
"Mas! Mas!"Aku yang baru pulang membeli jajanan untuk Hafsha dari supermarket sedikit heran, ketika melihat Alia lari keluar rumah dengan raut wajah panik."Ada apa?""Itu, Mas. Mbak Lusi.""Iya. Kenapa dengan Lusi?" desakku tak sabar."Mbak Lusi pusingnya sudah enggak tahan. Dia minta tolong aku antar ke dokter.""Tuh, kan, apa kubilang."Aku ikut panik dan segera memutar balik arah menuju mobil yang kusewa dari rental."Kamu ikut saja. Tolong jagain Hafsha nanti di rumah," pintaku pada gadis muda itu."Iya, iya. Aku kunci pintu rumah dulu." Dia bergegas mengunci pintu rumah, lalu mengambil alih Hafsha dari gendongan dan naik ke mobil.Sesampainya di depan gang, kami segera turun dan berlari menuju kontrakan. Beberapa warga yang berpapasan terlihat heran melihat kami yang terburu-buru seperti ini."Lusi? Buka pintunya, Lus!" seruku seraya mengetuk pintu kontrakan. Sudah coba kubuka langsung, tapi ternyata dikunci."Kamu tidur? Buka dulu pintunya! Ayo ke dokter!" seruku lagi dengan d
Setelah tiga hari menjalani perawatan, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Mas William setia menemani di rumah sakit sampai mengantar pulang dengan kursi roda. Dia juga membantuku menjaga dan mengurus semua keperluan Hafsha.Sementara, aku yang tak bisa beraktivitas sendiri ini mau tak mau terpaksa merepotkan orang lain. Alia selalu ada untuk membantu dan menginap di kontrakan ini. Aku merasa bersalah dan malu, tapi Alia selalu menenangkanku.Aku yang tak bisa berjalan sempurna ini harus diantar dan dipapah dengan sangat hati-hati ketika hendak ke kamar mandi. Untung saja yang tak berfungsi dengan baik itu sebelah kiri dan syukurnya, sekarang bisa digerakkan walau masih terasa berat.Setiap pagi saat bangun tidur, aku mengikuti intruksi yang diajarkan dokter. Harus dibiasakan menggerakan tangan dan kaki lagi atau selamanya akan kaku. Tentu saja aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin kembali normal dan bisa menggendong Hafsha dengan leluasa."Jangan nangis terus."Aku mendongak dan mendap