“Terima kasih, Sayang sudah kembali lagi sama mas. maaf mas pernah menyakitimu.” Pak Cipto mengecup pucuk kepala bu Mutia lalu mendekap wanitanya itu dengan erat. Pelukan yang mendapat sambutan dari wanitanya, yang sedang mendongak menatap wajah bercambang tipis yang sebagian sudah memutih. “Mas cinta sama, Kamu.” ucapan yang membuat bu Mutia bahagia, setelah dulu terluka oleh orang yang sama, yang mengucap kata cinta padanya.Bu Mutia tak membalas, hanya pelukan yang semakin mengerat ia berikan. Netranya berkaca, tak menyangka di hari tuanya, akan kembali melewati hidup bersama, hidup yang indah bersama pria yang pertama kali mencuri hatinya.Pernah dikecewakan, namun bu Mutia tak membalas, ia memilih menepi, menenangkan diri, ia biarkan lelakinya hanyut, bukan tak ingin menolong, hanya saja, perasaan prianya dulu sudah terbagi. Bu Mutia tak ingin menyakiti dirinya dengan berbagi suami bersama perempuan lain.Siapa yang sangka, di hari tuanya, mereka kembali bersatu, meski aral melin
Kumala berlari kecil mengejar Ersya yang sedang berlari menuju Dirham yang baru memasuki rumah, tanpa Kumala sadari. Dikiranya anak itu akan berlari keluar rumah menuju kolam ikan kecil seperti biasa.“Kenapa lari-lari?” suara Dirham melegakan Fiona. Nampak suaminya yang semakin tampan di usia yang semakin dewasa itu menggendong Ersya dan ada Davin mengikutinya dari belakang.“Aku kira Er, mau lari ke kolam ikan lagi, Mas.” jawab Kumala, dengan wajah berpeluh. Bukan berpeluh karn alari-lari, karna dia sedang belajar bikin kue bolu gulung, yang selalu gagal tergulung di tangan Kumala.“Dia lihat, mas, Sayang.” Dirham mendekat mengecupi wajah berpeluh istrinya. Wangi kue jelas tercium dari daster biru yang digunakan.Lalu perhatian Kumala teralih pada si sulung yang nampak baru pulang sekolah. Seragam warna jum’at masih melekat di badannya. Rupanya suaminya sengaja menjemput Davin. Malam sabtu dan minggu jatahnya Kumala menemani putranya itu tidur. Meski kadang-kadang Davin menolak, sud
Bu Mutia tersenyum haru, melihat pertumbuhan cucunya yang semakin menggemaskan, meski ia harus kehilangan ibunya. Ya Nek ijak meninggal tepat dua bulan setelah pernikahan Lili dan Herdi. Ada yang pergi ada yang datang.Sebulan yang lalu bu Mutia dan pak Cipto baru pulang melaksanakan umroh. Satu lagi impian bu Mutia yang terwujud. Umroh bersama suami tercinta. Impian yang nyaris kandas saat perpisahan terjadi antara dirinya dan pak Cipto beberapa tahun lalu.Namun sebulan yang lalu, setelah rujuknya, diam-diam pak Cipto menguruskan keberangkatan umroh untuk mereka berdua, sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka. entah mau dihitung yang ketiga dua, atau yang kedua tahun namun mereka masih dengan orang yang sama.“Rewel, nggak?” pak Cipto mendekat, melihat dari dekat cucu lelaki yang berhidung bangir seperti dirinya dan putrinya Lili.“Anteng, Mas. dia pintar, tahu kalau mamanya lagi sakit. dititip sama nenek deh.” Keduanya sedang bermalam di rumah peninggalan nek Ijah. Sebisa mung
"Ibu kan, sudah bilang biar kamu pasang KB dulu, suntik atau susuk juga bisa itu, Li." bu Mutia hanya geleng-geleng kepala saat Lili memberitahu bila dirinya sudah hamil lagi. Bukan apa-apa, putra pertama Lili saja masih empat bulan. Bu Mutia juga sedikit khawatir dengan kesehatan putrinya. "Rencana minggu depan kalau ke kota baru mau ke dokter kandungan, Bu. Lili baru mau konsultasi dulu, KB apa yang cocok untuk Lili, ternyata Lili sudah hamil." timpal Lili sedikit lemas. sementara Herdi yang melihat istrinya lemas, jadi kasihan juga. Ingin rasanya ia beranjak dari duduknya, namun ayah mertuanya sedang mengajaknya berbicara tentang usaha yang bagus untuk dijalankan di desa agar menantu dan anaknya ada penghasilan tambahan. "Untung nggak asi anakmu, kalau asi, repot bener kamu. Ngidammu ini lho, Li. kaya lebih lemas kamu dari waktu hamil Altaf." Bu Mutia kembali mencecar putrinya. Bukan marah, hanya karna rasa sayang saja sebagai seorang ibu. Untung mereka sekarang sering sambnag ke
Keringat sudah membanjiri tubuh Burhan dan Nuri di siang itu. Ini kali keduanya mereka berhubungan layaknya suami istri di kamar hotel yang mereka sewa. Sesekali terdengar cekikikan mesum dari mulut wanita yang berlipstik tebal berwarna merah itu. Berbagai macam gaya sudah mereka peragakan hari ini.Pokoknya Nuri bertekad Burhan harus menjadi miliknya, entah bagaimana caranya nanti, sebab Burhan ini sangat mampu membuat Nuri menjerit puas, beda dengan mantan kekasihnya.Apapun akan dilakukan oleh wanita bertubuh semok ini, termasuk meminta Burhan menceraikan istrinya. Yang Nuri tahu istrinya mas Burhan ini seorang guru TK dan belum memiliki anak. Mudah saja kan meminta pria yang sedang menindihnya ini untuk menceraikan sang istri sebab mereka belum memiliki anak. Tinggal Nuri mendekati ibunya mas Burhan saja dan menyogoknya dengan hadiah-hadiah kecil.Nuri tak perduli bila nanti dikatai pelakor, pesona dan tubuh mas Burhan yang terjaga, begitu memikat hati gadis bukan perawan ini. Ba
“Maksudnya apa ini, Mas?” tak terima rasanya Sawitri dengan kata-kata mertuanya barusan. Sawitri tak terima bila harus di madu. Mana ada perempuan yang rela dimadu. Cukup geram Sawitri kali ini, hampir habis kesabarannya.Burhan yang ditanya oleh istrinya menghela napas panjang. Sebenarnya ada rasa tak tega melihat posisi Sawitri sekarang ini, namun remasan kuat Nuri pada jemari kirinya, buat Burhan nekat menggores luka pada sanubari wanita sabar yang telah membersamainya dua tahun lebih ini. “Jadi, yang ibu katakan barusan itu benar, Wit. Nuri ini calon adik madumu.” Seperti godam yang dihantamkan di palung hati sawitri. Sakit dan perih luar biasa dirasakan wanita dua puluh enam tahun ini.“Jadi yang kamu bilang lembur hampir tiga bulan ini, ternyata kamu jalan sama perempuan binal ini, Mas?” gelegar suara Sawitri menahan amarah.“Jaga mulut kamu, Sawitri!” hardik Burhan pada istrinya itu.“Perempuan apa namanya Mas, yang jalan dengan suami orang kalau bukan perempuan binal?” tatapan
“Gimana kalau dia jambak aku tadi, Mas?” netra coklatnya itu sudah kembali mengeluarkan air mata buayanya. Buaya betina tepatnya.“Tidak akan mas, biarkan.” Sahut Burhan cepat, sambil menciumi tengkuk mulus Nuri. Birahi keduanya selalu meledak bila sedang berdekatan begini. Nuri yang mendapat ciuman di tengkuknya sudah meremang saja.“Pokoknya aku nggak mau jadi adik madu mbak Sawitri, Mas.” Nuri sudah benamkan wajahnya yang berlinang air mata di dada bidang milik Burhan. “Mas pilih aku atau istrimu itu!” raung Nuri kembali tersedu, tentu saja Nuri takut kehilangan pria gagah yang sedang memeluknya ini.“Iya, Sayang.” Sahut Burhan, sambil berusaha mencerna kata-kata Nuri. Maksudnya ini bagaimana, haruskah ia menceraikan Sawitri? Padahal dulu ia berjanji akan pada pak Saleh, bila akan menjaga dan setia pada putrinya itu.“Iya, apa? Aku mau jadi satu-satunya wanita yang kamu peluk begini, Mas.” Ucap Nuri lagi masih tersedu.“Iya, Sayang, nanti Mas bicarakan sama Ibu dan Sawitri. Yang p
Jika Burhan masih sibuk saling memuaskan bersama Nuri, maka Sawitri sibuk dengan do’a-do’a dan aduan pada sang Rabb subuh ini. Air matanya mengalir di setiap luka yang ia adukan. Memohon segala petunjuk atas rumah tangganya. Haruskah berakhir atau ia pertahankan. Sungguh ia tak ingin menjadikan rumah tangganya sebagai penjara untuk suami yang sangat ia hormati. Sawitri berusaha rela bila harus melepaskan. Namun jalannya janganlah semenyakitkan ini.Rasanya netra wanita sabar ini tak bisa lelap. Sehabis sholat malam tadi, Sawitri berusaha memejam walau sebentar namun tak bisa. Lalu ide dan rencana – rencana indah muncul di benaknya.____________________Marah yang dirasakan oleh Sawitri kemarin adalah bentuk perasaan spontanitas seorang istri saat suaminya menodai pernikahan mereka. Namun bila mas Burhan sudah memilih gundiknya itu dibandingkan dirinya, Sawitri bisa apa? Tak mungkin memaksakan perasaan cinta kan.“Yang sabar, Bu Sawitri.” bu Fitri kawan guru di TK tempat Sawitri menga