Bab 44Nanda si keras kepalaWawan terlihat mencoba menghubungi istrinya, tapi lagi-lagi Nanda mengacuhkannya. Tak pernah diangkatnya.Tak berapa lama mobil pick up memasuki pekarangan rumah Wawan.Dan diikuti motor matic berboncengan. Sepertinya Nanda dan juga seorang teman.Wawan yang mengetahui mobil berhenti didepan rumah langsung berdiri dan menghampiri." Siapa ya, Mas?" Belum sempat si sopir menjawab Wawan melihat sosok Nanda berjalan menghampirinya."Nanda?" Wawan terlihat senyum sumringah. "Mas," Nanda terlihat tersenyum menegur Wawan yang masih berdiri di dekat mobil."Ayo … masuk!" ajak Wawan mendahului langkah. Apakah Nanda kembali? Bukankah tadi dia menolak?Semua yang melihat Nanda dan juga Hawa datang, langsung tersenyum sumringah. Ada kesempatan untuk mereka merubah sesuatu hal yang pernah ada."Nanda, ayo masuk! Ibu ada di kamar, dia selalu menanyakan kamu! Ayo …." ajak Bapak mertua yang dengan suka rela mengantar Nanda ke tempat ibunya terbaring.Entah mengapa mer
Bab 45Apakah Nanda bercerai?"Kamu bicara apa sih, Mbak?" Nanda terlihat bingung mendengar pertanyaan dari sang kakak ipar."Satu kampung itu lagi rame tau, mereka bilang sebentar lagi kamu mau jadi janda! Jangan cerai, Nan. Keluarga kita gak ada istilah bercerai, kamu jangan sampai malu-maluin keluarga ya! Cukup hamil diluar nikah saja, aib yang pernah kamu lakukan.""Astagfirullahaladzim," celetuk Ratna yang terkejut mendengar ucapan Mbak Ari.Nanda terlihat biasa saja, mungkin dia sudah terlalu sering difitnah dan dicaci. Sehingga urusan begini dia tak ambil pusing."Kamu kok diem aja sih, Nan? Jawab Mbak dong, Nanda! Jangan bikin Mbak tambah penasaran!" Mbak Ari masih menunggu Nanda menjawab, berdiri di samping mesin jahit dan menatap dengan seksama.Nanda tersenyum."Siapa yang bilang Nanda cerai, Mbak? Memang untuk saat ini Nanda belum bercerai!""Berarti kamu ada rencana mau cerai, Nan?" sahut Ratna yang terkejut mendengar ucapan Nanda."Iya bener, kamu mau punya rencana berce
Bab 46Kedatangan Paklek dan juga Jasmin"Ada apa, Bulek? Gak usah teriak-teriak, Nanda denger kok!" jawabku santai sambil memandikan Hawa."Ini kenapa lemarinya dikunci? Bulek mau makan, laper!""Nasinya ada kok di magic com!""Nasinya emang ada! Lauknya? Aku mau ngambil lauk!""Bulek, kalau mau makan disini mulai sekarang mesti keluar uang. Kalau gak mau, silahkan Bulek cari makan sendiri di luar!"Sontak Bulek Ami yang mendengar ucapanku langsung menghujaniku dengan ucapan kasar. Sebab selama hampir satu bulan dia tinggal bersamaku, dia tidak pernah mengeluarkan uang untuk makan maupun membeli kebutuhan lain. Kadang nyuci bajupun dia menyuruhku, padahal dia tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah sekali pun.Itu yang membuatku mulai jengah dengan tingkahnya.Malah sekarang dia seperti betah tinggal dirumah ini, bukan tinggal tepatnya numpang. Padahal di awal kedatangannya dia mengatakan akan dijemput anak dan juga suaminya seminggu kemudian tapi apa? Sudah satu bulan dia tinggal b
Bab 47Obat pencaharAku sedang sibuk membenahi gendongan Hawa, karena Hawa tidak mau tidur. Terpaksa aku ke warung mengajak balita ku itu. Untuk membeli sabun dan juga gula. Bulek yang baru saja keluar kamar lantas menyapaku."Mau kemana?" tanya Bulek Ami sembari membawa pakaian kotor."Mau ke warung depan sebentar, beli gula." "Ow …." Bulek terlihat acuh, dan kembali berjalan menuju kamar mandi.Lantas aku segera pergi ke warung, sebelum hari semakin panas. Baru berjalan beberapa meter Lantas aku memutar badan dan kembali pulang. Dengan langkah cepat aku segera masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu.Namun langkahku terhenti di ruang tamu, setelah mendengar percakapan antara Bulek dengan suami dan anaknya."Enak tinggal disini, gak keluar uang banyak! Sudah ada yang belanja kebutuhan dapur. Juga gak mikirin listrik dan sebagainya! Pokoknya kita harus tinggal disini lebih lama lagi, Pah!" ucap Bulek kepada suaminya yang terlihat duduk berjejer membelakangi ku.
Bab 48Bulek Ami tak punya malu"Mas Wanto, Alhamdulillah. Sampai dengan selamat. Tadi dijalan macet?" Aku bertanya kepada Mas Wanto sembari melirik Bulek Ami yang masih berdiri mematung disampingku."Alhamdulillah, gak macet, Nan. Gimana kabar kamu? Kabar Bulek Ami sekeluarga sehat?" Mas Wanto kembali melempar pandangannya kepada Bulek Ami."Iya, Alhamdulillah. Sehat," Bulek Ami menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal."Sudah lama, Bulek. Tinggal sama Nanda?" tanya Mas Wanto berbasa-basi."Sudah … sudah. Nanti lagi ngobrolnya, kita masuk kedalam dulu. Mas Wanto bebersih badan dulu, Nanda siapin makan juga minum." Aku berjalan ke dalam rumah mendahului mereka yang masih beradu pandang.Mas Wanto lantas mengikuti langkahku. Kemudian membersihkan badan dan bersiap makan.Bulek Ami keluar bersama dengan suaminya Paklek Samsul, tapi berbeda dengan hari kemarin. Paklek keluar dengan baju yang rapi seperti hendak pergi. "Mau kemana, Paklek. Pagi-pagi sudah rapi?" Aku mendongak melihat
Bab 49Kedatangan NandaJasmin terlihat bingung. Tapi Bulek baru saja keluar dari kamarku."Bulek, kamu ngapain keluar kamar Nanda? Bulek nyari apa?" Aku dengan spontan bertanya dengan Bulek yang terlihat gelagapan."Kamu simpan dimana sertifikat rumah ini?" Bulek tiba-tiba tidak lagi ragu menanyakan benda berharga itu."Bukan aku, Bulek. Yang menyimpannya, semua itu disimpan Mas Wanto. Aku tidak mempunyai hak atas semuanya.""Bulek ini bingung, Nanda. Bulek ini terjerat hutang, dan harus membayarnya. Bulek harus mendapatkan uang itu secepatnya!" Bulek terlihat menangis dan menjatuhkan bobot tubuhnya ke kursi plastik yang ada di dekatnya."Memang berapa, Bulek? Kalau Nanda boleh tahu?" Jasmin terlihat mendekati Ibunya dan memijat bahu wanita yang melahirkannya.Jasmin adalah anak Bulek bersama suaminya yang terdahulu, karena perceraian mereka berpisah. Bulek bilang suaminya berselingkuh. Tapi aku tidak tahu kebenarannya? Sebab Bulek hanya butuh waktu satu tahun lepas bercerai dia men
Bab 50Ingatan masa lalu "Buruan, malah ngelamun!" Mas Wanto kembali mengajakku, setelah melihatku tertegun.Aku dengan langkah berat lantas berdiri, menyiapkan segala sesuatu dan berganti pakaian.Aku mengenakan tunik berwarna coklat dipadukan dengan jilbab berwarna senada. Celana panjang putih melilit di kaki yang jenjang. Tidak lupa jam di tangan berwarna perak pemberian Mas Wawan. Cincin yang dulu pernah aku jual untuk membeli susu, kini sudah berganti dua cincin melingkar di jari manis dan jari tengah. Hasil jerih payahku menjahit selama ini.Hawa juga mengenakan kalung berliontin kartun penyihir es kesukaannya.Alhamdulilah, tidak pernah lupa kata itu selalu ku ucapkan. Sudah cukup lama aku tidak bertandang ke Wonogiri, ke rumah mertua. Ada rasa khawatir dan sedikit takut. Entah rasa apa itu? Rasa sakit pun tersimpan di ujung hati yang masih tertata rapi.Menggendong Hawa sembari naik di atas motor. Perjalanan Wonogiri-klaten membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Apalagi m
Bab 51ATM hilangEntah mengapa Mas Wanto langsung menutup panggilanku? Dengan keadaan panik aku mencoba menghubungi Pakde Pur. Dia yang telah membuat buku rekening, jadi Pakde Pur lah yang harusnya bisa memblokir ATM tersebut.Alhamdulillah, Pakde Pur bersedia mengurus semuanya.Pupus sudah harapanku segera menempati rumah baru. Aku tidak bisa berharap banyak, tapi semoga ada sisa uang yang bisa diselamatkan."Nanda, gak usah dipikirin! Kalau masih jadi rejeki gak bakal hilang!" ucap Mas Wanto. Ya, Mas Wanto ternyata mengurungkan niatnya kembali ke ibukota. Padahal dia di sini sudah empat hari, dia juga mengatakan bahwa istri dan anaknya juga akan pulang. Mungkin sore akan tiba disini."Padahal sudah aku simpan di lemari lho, Mas! Memang kalau PIN, Pakde Pur lah yang menulis di buku rekening. Katanya dia takut kalau lupa, Nanda ceroboh gak mengunci lemari. Nanda pikir gak akan ada orang yang mau mengambilnya!""Yaudah … mau gimana lagi? Tadi Mas juga sudah mencoba menghubungi Bulek.