POV. Bunga Saat jam makan siang, aku sama sekali tidak berselera untuk makan. Kucoba membuka ponselku. Menstalking akun media sosial laki-laki yang masih kuanggap sebagai pacarku itu. Meskipun saat ini di dunia maya kami sudah tidak berteman, karena dia telah memblokirku, namun aku tetap bisa melihat unggahan-unggahannya yang bersifat publik itu.Kulihat statusnya. Dia mengunggah sebuah kamar, yang kuduga sebagai kamar penginapan. Dengan ranjang yang bertabur bunga.Selang dua jam dari postingan di atasnya, Aksa pun mengunggah lagi sebuah status. Dia membuat postingan berupa gambar bathub dengan yang airnya penuh busa, dan tampak ada empat telapak kaki yang sedang menyembul, di antara busa putih yang tebal dan lembut itu. Bisa dipastikan, bahwa itu adalah kakinya Aksa dan istrinya.Apalagi jika melihat kolom komentarnya. Mamanya Aksa bahkan berkomentar.[Selamat bersenang-senang, anak-anak Mama. Semoga liburannya menyenangkan. Semoga saat pulang nanti, membawa kabar yang baik. Doa Ma
Pov. LunaHati istri mana yang tidak terluka, jika mendengar suaminya ternyata pernah menikmati lain cinta.Seperti halnya aku. Mendengar perbincangan suamiku bersama mantan pacarnya itu, aku pun sudah tidak bisa lagi menahan bobot tubuhku.Tubuhku luruh begitu saja ke lantai. Hingga suamiku itu pun melihatku, dan papa mertuaku pun akhirnya membawa kami ke rumahnya."Pantas saja, jika istrimu menjadi seperti ini. Bagaimana kita akan bertanggung jawab kepada orangtuanya, jika Luna mengalami depresi akibat dari kelakuan kamu, yang di luar batas itu?"Aku bisa mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan oleh kedua mertuaku. Aku juga melihat, bagaimana marahnya Mama kepada Mas Aksa.Namun aku merasa lemah. Aku merasa lemas. Bahkan untuk sekedar menggerakkan tubuhku pun, sepertinya aku tidak mampu. Sehingga seperti apa pun Mama berteriak, aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Tulang-tulangku, seolah sedang terpisah dari raganya.Akhirnya, mungkin karena kelelahan, Mama pun diam. Beliau
POV. Luna"Kamu shalat, Sayang? Alhamdulillah, Mama senang sekali melihatnya," lanjutnya.Aku tersenyum samar, menanggapi ucapan Mama. Mama pun semakin melangkah maju, mendekat, kemudian memelukku.Dan tanpa kuduga, wanita yang bergelar sebagai ibu mertuaku itu, sudah berjongkok, mencium kakiku. Namun dengan secepatnya, aku segera melangkah mundur. Aku pun ikut duduk di lantai. Sejajar dengan Mama."Tolong, jangan tinggalkan Aksa. Beri dia satu kesempatan sekali lagi. Mama sangat menyayangimu. Mama tidak rela, jika kalian berpisah. Tolong, beri Aksa kesempatan," ucap Mama sambil menangis.Melihat Mama yang menangis, aku pun ikut menangis. Luka yang masih basah ini, seolah terbuka kembali."Tolong, maafkan Aksa. Mungkin kamu menganggap Mama egois. Setelah dulu kami pernah memaksamu untuk menerima perjodohan ini, sekarang kami kembali memaksamu untuk mempertahankan Aksa yang nyata-nyata telah menodai pernikahan kalian. Atas nama Aksa, Mama minta maaf. Mama janji. Mama berani menjamin, b
POV. LunaEntah sudah berapa lama, kami tidak melakukan itu. Dan suamiku itu, sepertinya selalu berusaha bersabar, setiap menghadapi penolakanku.Setiap suamiku seolah sedang ingin meminta haknya, bahkan aku hanya bisa menangis. Dan jika aku sudah menangis, maka Mas Aksa akan mengurungkan niatnya begitu saja.Aku pun tertidur dengan lelap.Aku terbangun saat mendapati Mas Aksa tidak ada di sampingku. Jam dua dinihari. Ke mana dia?Apakah dia pergi, karena di rumah ini, istrinya tidak melayani? Atau jangan-jangan, diam-diam dia pergi menemui selingkuhannya itu?Pertama, aku mencarinya ke kamar mandi. Namun ternyata tidak ada.Kemudian Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar, dengan perlahan. Berjalan dengan pelan-pelan, agar tidak terdengar oleh penghuni rumah yang sedang tertidur.Kulihat di ruang tv pun tidak ada. Di dapur, pun tidak tampak batang hidungnya.Setelah itu aku mengintip garasi, dari jendela kaca yang terhubung dengan ruang makan. Mobil masih ada. Sepeda motor pun ada. Apa
POV. AksaPov. AksaBahwa laki-laki yang pernah salah langkah, bukan berarti dia akan tersesat selamanya. Pepatah bijak itu, kujadikan sebagai pedoman. Kujadikan sebagai acuan, untuk aku berubah menjadi lebih baik.Sudah kuniatkan dengan benar dalam hatiku. Bahwa aku akan menjauhi mantan pacarku. Akan kembali kujadikan istriku sebagai satu-satunya ratu di hatiku.Semoga saja Allah masih memberikan kesempatan. Semoga semuanya belum terlambat.Kuhadapi perubahan sifat Luna, dengan kesabaranku. Tidak pernah bosan aku mengajaknya berbicara, meski dia hanya diam, tidak pernah menanggapinya.Dan meskipun Setelah kejadian itu, istriku sudah tidak pernah lagi melayaniku, namun lagi-lagi aku berusaha memakluminya. Aku tidak akan menuntut banyak hal. Aku sadar, bahwa aku sudah pernah melakukan kesalahan yang teramat fatal. Sudah sepantasnya, jika aku mendapatkan hukuman.Semua kulakukan sendiri. Aku yang dulu sering meminta pelayanan istriku, kini sudah tidak lagi. Bahkan Luna juga sudah tidak
POV. AksaKurapatkan tubuhku, pada punggungnya yang tidur membelakangiku. Dan aku pun terpejam, hingga pagi menjelang.Adzan subuh berkumandang dengan merdu, di masjid yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah orangtuaku. Aku pun segera mandi sekedarnya, dan melangkahkan kakiku ke masjid."Sayang, aku ke masjid dulu, ya?" pamitku pada istriku yang masih tidur. Dia tetap diam.Setelah selesai berjamaah shalat subuh, aku pun berdoa. Kemudian langsung pulang. Aku punya kewajiban untuk membangunkan istriku. Jangan sampai dia meninggalkan shalatnya.Sesampainya di rumah, aku mendapati Luna sedang duduk di atas sajadah yang terbentang. Dia memakai mukena. Mungkin dia sudah menyelesaikan kewajibannya.Kuulurkan tanganku, berharap dia akan menciumnya seperti dulu. Namun ternyata salah. Dia hanya menyambut tanganku dengan senyum yang penuh keterpaksaan, yang hampir tidak terlihat. Tanpa mencium tanganku. Bahkan tanganku langsung dilepaskannya begitu saja, saat aku masih ingin menggengga
POV. AksaIni adalah yang pertama kalinya, dia berbicara agak banyak, setelah peristiwa itu. Biasanya, dia hanya berbicara satu atau dua patah kata."Iya, inshaallah, kita mau ke rumah orang tuamu. Tapi nanti, sepulang dari sana" jawabku.Jujur, sebenarnya aku juga ragu, jika besok harus benar-benar berkunjung ke rumah orangtuanya Luna. Aku merasa kotor. Aku merasa buruk. Aku merasa tidak pantas. Apalagi jika nantinya mereka mengetahui tentang kelakuanku waktu itu. Entah bagaimana aku akan menghadapi mereka.Kami sudah keluar dari kota Jakarta. Jalan menuju ke Puncak pun, sudah semakin dekat."Kamu mau membawaku ke Puncak?" tanya dia.Aku hanya mengangguk, sambil tersenyum. Dia diam. Syukurlah. Aku tadi sempat takut, jika tiba-tiba saja, dia kumat keras kepalanya, dan hendak melompat dari mobil yang sedang kukemudikan.Malam hari, kami sudah sampai ke tempat penginapan yang kami tuju. Aku sengaja mencari penginapan yang istimewa. Meskipun harus merogoh kocek yang lumayan dalam. Tidak
POV. BaraAku menunggunya dengan gelisah. Duduk di sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang. Entah sudah berapa lama, aku menunggunya. Tidak ada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Tidak ada ponsel yang kubawa di dalam saku celanaku. Karena memang aku tidak memiliki kedua benda itu.Suasana yang mendung, membuatku tidak bisa melihat, sudah sampai mana, arah pergerakan sang raja tata surya. Entah ini sudah jam berapa. Apa mungkin, gadisku itu, lupa, bahwa hari ini adalah hari keberangkatanku? Tapi bukankah seminggu yang lalu, aku sudah berbicara? Atau mungkin, dia belum pulang sekolah?"Jam berapa, Mas?"Aku mencoba bertanya kepada seseorang yang lewat."Setengah dua," jawabnya sambil menengok aksesoris yang melingkar di tangannya. Kemudian dia berlalu pergi.Jam setengah dua. Itu artinya, aku sudah menunggunya selama satu jam. Tadi aku ke sini, tepat setelah shalat dhuhur. Dan sekarang, aku hanya punya waktu satu jam saja, yang masih tersisa. Jam empat sore, a