POV. BaraAku sudah tidak mampu meneruskan ucapanku. Tenggorokan ini terasa begitu sakit. Luka ini kembali terbuka.Ibu hanya ternganga. Dia kemudian mengambil figura foto yang ada di tanganku. Menatapnya dengan begitu lama."Kok Ibu tidak mengenalinya, ya? Apa mungkin karena foto ini, sudah terlalu lama, sehingga wajah Non Luna, sudah menjadi terlihat berbeda? Karena, foto ini, tidak memakai kerudung. Sementara, sekarang dia lebih sering memakai kerudung," gumam Ibu.Kutinggalkan Ibu yang masih berdiri terpaku, sambil menatap foto itu. Aku masuk ke kamarku. Kamar di lantai dua, yang kebetulan bersebelahan dengan rumah Luna.Semenjak saat itu, aku lebih sering tidak berada di rumah. Aku tidak kuat, melihat kemesraan mereka.Apalagi jika malam hari. Kadang aku mendengar suara-suara aneh mereka. Karena mungkin saja, memang kamar kami bersebelahan. Saat seperti itu, aku hanya bisa meluapkan emosiku dengan pergi ke belakang rumah, memukuli samsak tinju yang tergantung itu.Dan jika malamn
Pov. LunaDalam hatiku, sebenarnya aku merasa sangat berdosa, karena telah melalaikan kewajibanku sebagai seorang istri. Kusadari, bahwa sebenarnya, gelisah yang melanda kekasih halalku itu, karena dia sedang merasa begitu menginginkan aku.Namun ternyata hati ini memang masih juga belum bisa berdamai dengan kenyataan yang ada. Bayangan suamiku yang pernah berg*mul dengan perempuan itu, begitu mengganggu alam pikiranku.Setiap saat, setiap waktu. Hanya hal ini yang ada dalam pikiranku. Menjelang tidur, aku membayangkan itu. Bangun dari tidur pun, hal itu sudah langsung terbayang di mataku. Bahkan ketika mataku sedang terpejam. Tak urung, hanya hal itu, yang mengganggu pikiranku.Kubayangkan. Bagaimana dia memeluk perempuan itu. Bagaimana dia menci*m perempuan itu. Bagaimana dia menc*mbu perempuan itu. Bagaimana dia mel*pas baju perempuan itu. Bagaimana suamiku menyentuh seluruh tub*h perempuan itu. Bagaimana suamiku menikm*ti perempuan itu.Kubayangkan bagaimana perempuan itu menyambu
POV. Luna"Terus, dia menanyakan tentang keuangan butik juga?" tanyaku.Jujur saja, aku merasa heran dengan suamiku. Tidak biasanya, dia ikut campur urusan butik. Biasanya dia selalu bersikap acuh tak acuh, dan tidak mau tahu."Laporan keuangan, juga ditanyakan. Dan saya jawab apa adanya. Terus beliau berpesan. Selama Bu Luna tidak datang, beliau meminta, supaya saya bekerja dengan sungguh-sungguh, dan jujur, jangan sampai mengecewakan Ibu. Begitu saja sih, Bu. Kadang juga Pak Aksa, menyempatkan diri datang ke butik, membawakan makanan untuk anak-anak. Tapi hanya masuk sebentar, menaruh makanan, terus pergi lagi," ucap Risa dengan begitu polos."Kalau saya lihat, Pak Aksa sekarang, cenderung lebih ramah. Kalau dulu kan, orangnya jutek. Saya sering takut, kalau pas di sini, terus ada Pak Aksa," ucap Risa lagi.Mendengar cerita Risa, aku pun berfikir. Berarti selama ini, selama aku vakum dari butik, diam-diam, suamiku berusaha ikut menjaga usahaku, agar tidak tumbang. Sementara aku just
POV. LunaHampir setiap malam, kami melakukan itu. Mas Aksa sepertinya sudah sangat berharap ingin memiliki anak. Dia memperlakukan aku dengan lebih baik lagi. Dia memanjakan aku dengan lebih sempurna. Dia melayaniku, hingga aku hilang trauma."Mas, bagaimana jika nantinya kita tidak kunjung memiliki anak? Sepertinya kamu sudah sangat menginginkannya?" ucapku, setelah kami baru saja selesai memadu kasih."Tidak apa-apa, aku akan sabar menunggunya. Kita akan berusaha bersama-sama," jawabnya terdengar begitu manis."Kalau misalnya kita sudah berusaha, dan ternyata memang aku dinyatakan tidak subur, dan tidak bisa memberimu anak, apakah kamu akan pergi meninggalkan aku, dan menikahi perempuan lain, yang bisa memberimu anak? Seperti yang ada di cerita-cerita itu?" tanyaku lagi.Jujur, aku merasa khawatir. Teman-temanku yang lain, yang baru dua bulan menikah, bahkan sudah pamer tespek garis dua. Sedangkan aku, dua tahun menikah, belum ada tanda apa-apa.Mas Aksa menatapku lama. Diraihnya k
Pov. AksaPagi ini juga, kubawa istriku pulang ke rumahku, sebelum aku berangkat ke kantor.Sesampainya di rumah, aku berniat untuk mendatangi Bu Indah. Ingin menitipkan Luna, selama kutinggal bekerja. Rencananya, aku akan menelpon Risa, supaya dia mengajak istriku ke butik. Agar Luna tidak hanya berdiam diri di rumah. Namun itu pun, jika Luna mau. Jika tidak mau, itu artinya, aku harus meminta tolong kepada Bu Indah untuk sering-sering menengok Luna.Pintu gerbang sedikit terbuka. Aku pun langsung masuk ke halaman rumah mewah itu.Kuketuk pintu kayu yang berukir itu. Pintu pun terbuka. Namun bukan wajah Bu Indah, yang nampak di depan mata. Melainkan Bara. Pemilik rumah mewah ini. Laki-laki yang pernah bilang, ingin memiliki istri yang secantik istriku. Entah apa maksud dari ucapannya itu."Permisi," ucapku."Kamu Aksa, kan? Kemarin sore dicariin tuh, sama gundik kamu!"Belum juga aku menyampaikan tentang maksud kedatanganku, Bara sudah berbicara dengan nada yang sama sekali tidak ena
POV. AksaSelain itu, aku juga takut, jika Luna hanya di rumah sendirian, mengurung diri di rumah sepanjang hari, aku takut dia akan menjadi depresi. Jika di sana, ada Mama yang menemaninya. Aku bisa memantau keadaan Luna, lewat Mama. Namun jika di sini, aku tidak bisa bertanya kepada siapa-siapa. Bu Indah, entah di rumah, entah tidak.Sesampainya di kantor, aku pun segera bekerja. Tidak perlu menunggu jam masuk kerja. Aku tidak pernah perhitungan soal waktu. Dan itu menjadi salah satu alasan, mengapa aku termasuk dalam daftar salah satu karyawan teladan.Jam sembilan pagi, aku menerima chat dari Risa, yang memberitahukan, bahwa bosnya, sudah ada di butik bersamanya. Aku pun merasa lega. Itu artinya, Luna ada di tempat yang tepat. Tempat di mana dia bisa berinteraksi dengan orang lain. Tempat di mana dia bisa menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.Aku bisa bekerja dengan tenang dan penuh semangat, tanpa perlu mengkhawatirkan Luna.Aku pun tidak memikirkan ucapan tetanggaku itu, yang
POV. Aksa"Aku hamil, anak kamu! Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus menikahiku. Aku tidak ingin sendirian menanggung malu. Aku tidak ingin, anakku lahir tanpa Ayah. Sejijik apa pun kamu terhadapku, kamu tetap harus menikahiku. Aku tidak masalah, dijadikan sebagai yang ke dua. Yang terpenting, anak yang ada dalam kandunganku, ada bapaknya ...."Ucapan Bunga yang bercampur tangis itu, tak ubahnya seperti petir yang menggelegar, di tengah terik matahari. Aku terkejut seketika. Aku sama sekali tidak siap mendengarnya.Aku hanya diam mematung. Tanpa bisa berbicara apa-apa. Jiwaku terguncang, mendengar kenyataan yang ada.Bunga mengeluarkan benda pipih dari saku roknya. Aku tahu, itu tespek dengan garis dua. Itu artinya dia benar-benar hamil.Hatiku bergemuruh. Namun jiwaku, seolah ingin luruh."Aksa, bahkan selama seminggu ini, aku sakit. Aku tidak bisa masuk kerja. Kamu sama sekali tidak mencariku. Setiap pagi, aku muntah-muntah. Aku tidak bisa menelan makanan. Aku sampai dehidrasi.
Pov. LunaMasih dalam kondisi menerka-nerka, tiba-tiba saja, Mas Aksa sudah bersujud tepat di kakiku. Aku bingung. Kami menjadi tontonan banyak orang."Sayang, tolong aku. Ampuni aku ...."Bahkan kini tangisnya terdengar semakin kencang."Sayang, tolong ampuni aku. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Aku tidak mau berpisah darimu. Meskipun kita tidak bisa memiliki anak. Aku akan tetap bersamamu. Aku tidak ingin memiliki anak dari perempuan lain. Tolong, ampuni aku ...."Deg. Mendengar ucapan Mas Aksa, aku sudah merasa tidak enak. Hal yang sudah hampir terlupakan pun, kini kembali terpikirkan. Apakah perempuan itu hamil, dan saat ini, dia ingin meminta pertanggungjawaban suamiku?Apalagi jika melihat penampilan suamiku yang sangat kacau seperti ini. Seolah-olah dia sedang mengalami tekanan yang sangat besar.Aku pun lebih memilih untuk mengajaknya pulang. Daripada tetap di sini, dan menjadi tontonan banyak orang. Aku takut jika nanti ada yang mengambil video, dan ke