POV. LunaHampir setiap malam, kami melakukan itu. Mas Aksa sepertinya sudah sangat berharap ingin memiliki anak. Dia memperlakukan aku dengan lebih baik lagi. Dia memanjakan aku dengan lebih sempurna. Dia melayaniku, hingga aku hilang trauma."Mas, bagaimana jika nantinya kita tidak kunjung memiliki anak? Sepertinya kamu sudah sangat menginginkannya?" ucapku, setelah kami baru saja selesai memadu kasih."Tidak apa-apa, aku akan sabar menunggunya. Kita akan berusaha bersama-sama," jawabnya terdengar begitu manis."Kalau misalnya kita sudah berusaha, dan ternyata memang aku dinyatakan tidak subur, dan tidak bisa memberimu anak, apakah kamu akan pergi meninggalkan aku, dan menikahi perempuan lain, yang bisa memberimu anak? Seperti yang ada di cerita-cerita itu?" tanyaku lagi.Jujur, aku merasa khawatir. Teman-temanku yang lain, yang baru dua bulan menikah, bahkan sudah pamer tespek garis dua. Sedangkan aku, dua tahun menikah, belum ada tanda apa-apa.Mas Aksa menatapku lama. Diraihnya k
Pov. AksaPagi ini juga, kubawa istriku pulang ke rumahku, sebelum aku berangkat ke kantor.Sesampainya di rumah, aku berniat untuk mendatangi Bu Indah. Ingin menitipkan Luna, selama kutinggal bekerja. Rencananya, aku akan menelpon Risa, supaya dia mengajak istriku ke butik. Agar Luna tidak hanya berdiam diri di rumah. Namun itu pun, jika Luna mau. Jika tidak mau, itu artinya, aku harus meminta tolong kepada Bu Indah untuk sering-sering menengok Luna.Pintu gerbang sedikit terbuka. Aku pun langsung masuk ke halaman rumah mewah itu.Kuketuk pintu kayu yang berukir itu. Pintu pun terbuka. Namun bukan wajah Bu Indah, yang nampak di depan mata. Melainkan Bara. Pemilik rumah mewah ini. Laki-laki yang pernah bilang, ingin memiliki istri yang secantik istriku. Entah apa maksud dari ucapannya itu."Permisi," ucapku."Kamu Aksa, kan? Kemarin sore dicariin tuh, sama gundik kamu!"Belum juga aku menyampaikan tentang maksud kedatanganku, Bara sudah berbicara dengan nada yang sama sekali tidak ena
POV. AksaSelain itu, aku juga takut, jika Luna hanya di rumah sendirian, mengurung diri di rumah sepanjang hari, aku takut dia akan menjadi depresi. Jika di sana, ada Mama yang menemaninya. Aku bisa memantau keadaan Luna, lewat Mama. Namun jika di sini, aku tidak bisa bertanya kepada siapa-siapa. Bu Indah, entah di rumah, entah tidak.Sesampainya di kantor, aku pun segera bekerja. Tidak perlu menunggu jam masuk kerja. Aku tidak pernah perhitungan soal waktu. Dan itu menjadi salah satu alasan, mengapa aku termasuk dalam daftar salah satu karyawan teladan.Jam sembilan pagi, aku menerima chat dari Risa, yang memberitahukan, bahwa bosnya, sudah ada di butik bersamanya. Aku pun merasa lega. Itu artinya, Luna ada di tempat yang tepat. Tempat di mana dia bisa berinteraksi dengan orang lain. Tempat di mana dia bisa menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.Aku bisa bekerja dengan tenang dan penuh semangat, tanpa perlu mengkhawatirkan Luna.Aku pun tidak memikirkan ucapan tetanggaku itu, yang
POV. Aksa"Aku hamil, anak kamu! Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus menikahiku. Aku tidak ingin sendirian menanggung malu. Aku tidak ingin, anakku lahir tanpa Ayah. Sejijik apa pun kamu terhadapku, kamu tetap harus menikahiku. Aku tidak masalah, dijadikan sebagai yang ke dua. Yang terpenting, anak yang ada dalam kandunganku, ada bapaknya ...."Ucapan Bunga yang bercampur tangis itu, tak ubahnya seperti petir yang menggelegar, di tengah terik matahari. Aku terkejut seketika. Aku sama sekali tidak siap mendengarnya.Aku hanya diam mematung. Tanpa bisa berbicara apa-apa. Jiwaku terguncang, mendengar kenyataan yang ada.Bunga mengeluarkan benda pipih dari saku roknya. Aku tahu, itu tespek dengan garis dua. Itu artinya dia benar-benar hamil.Hatiku bergemuruh. Namun jiwaku, seolah ingin luruh."Aksa, bahkan selama seminggu ini, aku sakit. Aku tidak bisa masuk kerja. Kamu sama sekali tidak mencariku. Setiap pagi, aku muntah-muntah. Aku tidak bisa menelan makanan. Aku sampai dehidrasi.
Pov. LunaMasih dalam kondisi menerka-nerka, tiba-tiba saja, Mas Aksa sudah bersujud tepat di kakiku. Aku bingung. Kami menjadi tontonan banyak orang."Sayang, tolong aku. Ampuni aku ...."Bahkan kini tangisnya terdengar semakin kencang."Sayang, tolong ampuni aku. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Aku tidak mau berpisah darimu. Meskipun kita tidak bisa memiliki anak. Aku akan tetap bersamamu. Aku tidak ingin memiliki anak dari perempuan lain. Tolong, ampuni aku ...."Deg. Mendengar ucapan Mas Aksa, aku sudah merasa tidak enak. Hal yang sudah hampir terlupakan pun, kini kembali terpikirkan. Apakah perempuan itu hamil, dan saat ini, dia ingin meminta pertanggungjawaban suamiku?Apalagi jika melihat penampilan suamiku yang sangat kacau seperti ini. Seolah-olah dia sedang mengalami tekanan yang sangat besar.Aku pun lebih memilih untuk mengajaknya pulang. Daripada tetap di sini, dan menjadi tontonan banyak orang. Aku takut jika nanti ada yang mengambil video, dan ke
POV. Luna"Aku hamil benihnya Aksa. Tentu saja, aku akan meminta pertanggungjawaban Aksa. Aku ingin membesarkan anak kami bersama-sama. Aku tidak ingin, anakku lahir tanpa Ayah. Aku ingin anakku memiliki orang tua yang lengkap, dan tidak kekurangan kasih sayang!"Ucapan itu tak ubahnya seperti belati tajam, yang mengiris-iris hatiku. Dia bilang, dia ingin membesarkan anak mereka, bersama-sama. Dia begitu percaya diri sekali. Seolah-olah, suamiku lebih mencintai dia, jika dibandingkan denganku, istri sahnya. Padahal dalam hatiku, aku yakin. Bahwa Mas Aksa, jauh lebih mencintaiku, dibanding dengan perempuan yang pernah menjadi g*ndiknya itu."Sayang, tolong aku. Aku tidak mau menikah lagi. Aku tidak mencintainya. Aku hanya mencintaimu. Waktu itu, aku khilaf. Aku sama sekali tidak berniat untuk menikahinya. Aku hanya main-main saja."Aku tersenyum miring mendengar ucapan laki-laki yang duduk di sebelahku ini. Aku merasa puas. Meskipun sebenarnya hatiku teriris begitu perih, namun, sekali
POV. LunaRasa jijik yang kemarin sempat hilang, karena sikap manis dan lembutnya suamiku, kini menyeruak dengan lebih ganas lagi. Aku jijik sejijiknya, membayangkan keb*jatan moral mereka.Segera kurebut ponsel yang ada dalam genggaman perempuan s*ndal itu. Kupukulkan ke punggung laki-laki yang tengah duduk dengan menunduk itu. Kupukulkan berkali-kali, hingga ponsel itu menjadi mati. Layar ponsel itu, bahkan sampai pecah tidak beraturan.Setelah puas, aku pun melemparkan ponsel itu, ke wajah perempuan itu. Kulempar dengan sekuat tenagaku."Percuma. Kamu remukkan ponsel ini pun, video itu sudah ada duplikatnya. Bahkan masih ada banyak video yang lainnya. Yang aku yakin, kamu pasti bakalan lebih syok, jika melihatnya. Bahwa suami yang sering kamu banggakan itu, yang katanya hanya mencintaimu, namun ternyata telah berbagi raga denganku!" ucap Bunga dengan begitu jumawa.Sementara, perempuan tua yang ada di sampingnya, yang kuduga sebagai ibu dari perempuan itu, hanya tersenyum-senyum, m
POV. Bunga Setelah selesai memuntahkan isi perutku, aku memutuskan untuk masuk ke kamar lagi. Aku ingin memulihkan tenagaku terlebih dahulu.Setelah rasa pusing ini berangsur-angsur menghilang, aku pun beranjak dari ranjang.Keluar dari rumah, menstater motorku, menuju apotik di ujung jalan. Betapa pikiranku sudah sangat tidak tenang. Bagaimana jika aku benar-benar hamil?"Lu kenapa pagi-pagi sudah muntah-muntah? Hamidun?" tanya salah seorang Ibu-ibu yang sedang membeli sayur.Spontan, semua orang yang sedang ada di situ pun, mengarahkan pandangannya ke arahku. Mereka menatapku dari ujung kepala hingga sampai ke ujung kakiku. Kebanyakan dari mereka, menatap ke arah perutku.Motor yang sudah kustarter pun, kumatikan lagi. Aku tidak suka dengan caranya bertanya. Usianya saja yang tua. Namun tidak punya sopan santun dalam berbicara."Eh, Bu, kalau ngomong hati-hati, jangan asal bicara. Siapa juga, yang hamil. Saya ini, masih perawan. Perawan ting ting. Saya muntah-muntah, karena asam la