Sudah dua minggu berlalu sejak terakhir kali Rojali menghubungi pihak pesantren, tepatnya saat diantar Reza menuju kecamatan. Meski begitu, hingga hari ini, belum ada informasi apa pun mengenai isi buku yang pesantren bagikan.
Rojali menutup kalender dengan raut cemas. Kesempatan yang ia punya untuk tetap tinggal di desa ini terus menipis, hanya tersisa kurang dua minggu lagi. Namun, hingga sekarang, ia belum mendapat informasi yang dibutuhkan, perihal sosok santri palsu, juga kabar tentang Ilham. Setiap kali memikirkan hal itu, kepalanya seperti ingin meledak.
Di sisi lain, Rojali juga belum memutuskan untu pergi ke Lancah Darah atau tidak. Sejujurnya, pemuda itu masih ragu untuk meninggalkan desa, terlebih mengingat hutan itu terkenal berbahaya.
Rojali melepas peci begitu tubuhnya mendarat di kursi. Seperti kebiasaanya yang sudah-sudah, pandangannya seketika tertuju pada rumah Ujang. Cukup lama ia memperhatikan kediaman itu hingga harus teralih saat pint
Reza terbangun saat azan magrib berkumandang. Dengan gerakan lamban, ia keluar kamar sembari mengucek mata. Saat melewati ruang keluarga, ia melihat bapaknya tengah berjalan dari arah dapur dengan pakaian rapi.“Mau ke mana, Pak?” tanya Reza.“Bapak ada urusan sebentar di kecamatan,” jawab Pak Dede sembari merapikan kembali tampilan di depan cermin.“Terus kumaha sama rencana Reza, Pak?” Reza mengikuti Pak Dede ke teras. “Bapak ‘kan sudah janji.”Pak Dede kembali berjalan, dan Reza tetap mengekorinya hingga teras.“Jangan bohong atuh, Pak!” Reza terus merengek seperti anak kecil. Kesal karena diabaikan, pemuda itu dengan tiba-tiba memblokade jalan keluar.“Si ontohod!” Pak Dede tiba-tiba saja menggebrak pintu. Matanya memelotot dengan telunjuk yang menunjuk wajah Reza. “Maneh tidak lihat kalau Bapak buru-buru. Ini urusan penti
Reza baru saja tiba di depan rumah Euis. Sebelum turun dari motor, pria itu mengecek tampilannya sesaat. Setelah siap, ia berjalan ke arah teras, mengetuk pintu beberapa kali. Selama menunggu, ia menggosok-gosok kedua tangan untuk mengusir gugup. Meski begitu, senyumnya masih terus melekat di wajah.Reza kembali merapikan pakaian kala mendengar sahutan dari dalam rumah. Tak berselang lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok Pak Juju.“Reza,” ucap Pak Juju sedikit terkejut. Pandangannya seketika menyisir sekeliling, mencari keberadaan Rojali.Mengerti gelagat Pak Juju, Reza segera berbicara, “Saya datang sendirian ke sini.”“Aya naon?” tanya Pak Juju, “tumben sekali.”“Saya ... ingin bicara hal penting.” Reza menggaruk tengkuknya.Hening sesaat.“Kalau begitu kita bicarakan saja di dalam.” Pak Juju membuka pintu lebih lebar, memberi akses Reza untuk
Rojali mengusap wajah dengan kedua tangan saat baru saja terbangun. Pemuda itu turun dari kasur, lalu berjalan ke arah luar. Udara dingin seketika menerjang begitu ia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.Rojali mengembus napas panjang setelah keluar dari kamar mandi. Tetes air berjatuhan dari wajah dan rambutnya. Ia melirik sekeliling sejenak, kemudian memandangi taburan kelip bintang di langit. Suasana dini hari tampak hening dan menenangkan.Pikiran Rojali kembali melayang pada kejadian setelah isya tadi. Ia masih ingat saat harus melompat ke selokan hanya agar terhindar dari tabrakan motor yang ia duga adalah milik Reza. Awalnya, Rojali ingin mengenyahkan tuduhan jika sahabatnya itu memang berniat mencelakainya. Namun, entah mengapa hatinya justru tertuju pada dugaannya.Rojali kembali melangkah menuju rumah. Begitu ia akan membuka pintu dapur, perhatiannya teralih pada arah belakang kediaman yang merupakan persawahan. Secara samar, ia sepert
“Ujang?” Aep memastikan apa yang barusan ia dengar. “Apa Ujang juga diikuti sama seperti saya, Ustaz?”Rojali diam sesaat, lantas menggeleng. “Bukan itu maksud saya, Kang.”Aep menyandarkan punggung ke kursi, menunduk.Rojali mengambil napas panjang. Ia menyandarkan punggung ke sandarkan kursi. Suara kokok ayam mulai mendominasi kebisuan yang menjalar di antara kedua pria itu. “Saya bingung, Ustaz,” ujar Aep, “apa kaitannya saya dan Ujang dengan kelompok itu? Kok, bisa saya dan Ujang diawasi.”“Kang,” ujar Rojali dengan mimik serius.Menyadari hal itu, Ujang segera menutup mulut. Kata-katanya terpaksa ia telan kembali.“Ujang ... adalah salah satu anggota Kalong Hideung,” ungkap Rojali, “Ujang juga yang mengawasi Kang Aep selama ini.”Mendengar penuturan barusan, Aep seketika membatu. Matanya mendadak membola dan dan suara di
Reza perlahan membuka mata, mengerjap beberapa kali. Pria itu memegangi kepala yang masih pusing saat mencoba untuk duduk. Pandangannya dengan segera memindai sekeliling. Suasana rumahnya tampak sepi.Reza mengacak rambut beberapa kali. Wajahnya tampak kusut. Tubuhnya hanya ditutupi celana panjang, sedang bagian atasnya terekspos bebas. Ia memandangi meja yang penuh kulit kacang, juga beberapa botol minuman yang sudah kosong.Reza mengembus napas pajang, menarik rambut kuat-kuat ke belakang. Lampu tengah rumah masih menyala meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Selama beberapa menit, ia hanya diam.Reza bergerak ke arah samping, membuka tirai lebar-lebar. Matanya dengan cepat menyipit saat serbuan cahaya menyerang. Ia lantas membuka pintu depan setengah. Tak dilihatnya sandal atau sepatu yang sering dipakai Pak Dede bekerja.“Bapak pasti tidak pulang semalam dan memilih langsung ke desa,” ujar Reza sembari merebahkan diri kur
“Za.” Rojali berusaha bersikap tenang meski ia tahu kalau Reza sudah tersulut emosi. Ia tak tahu apa penyebabnya sehingga anak kepala desa ini semarah itu padanya.“Anj*ng maneh!” maki Reza tiba-tiba. Tangan kanannya seketika menyerang Rojali.Rojali berhasil menghindar dengan cara mundur. “Za,” ucapnya setengah tak percaya.“Modar sia (mati kamu)!” Reza sudah dilahap emosi. Dengan beringas, ia menyerang Rojali dengan pukulan dan tendangan yang silih berganti.Rojali sama sekali tak membalas. Ia memilih menghindari semua bogeman dan sepakan Reza. “Kamu tenang, Za!” ucapnya setengah membentak.“Gandeng sia (berisik kamu)!” Reza kian murka, terlebih saat tahu kalau Rojali dengan mudahnya menghindari semua serangannya. “Gara-gara maneh, hirup aing jadi kacau!”Rojali sengaja mengendurkan penjagaan. Alhasil, ia mundur beberapa
Desa Ciboeh masih diguyur hujan. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, bulir air dari langit masih setia membasahi tanah dan perumahan warga. Di salah satu teras rumah penduduk, seorang pria masih anteng menghisap rokok. Sudah hampir lima batang ia habiskan sendiri. Asbak di sampingnya telah disesaki abu dan tumpukan batang rokok.Aep melempar rokok ke genangan air di depannya. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali pria itu menggosok-gosok tangan, kemudian menempelkan ke pipi. Aep merogoh saku depan, lantas menyalakan kembali rokok terakhirnya.“Kunaon kamu, Ep?” Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok Asep yang membawa sepiring ubi dan kacang rebus. Pria itu lantas duduk di samping Aep.Ditanya demikian, Aep hanya menggeleng, kian dalam menyedot rokoknya, mengepulkan asap tinggi-tinggi.“Saya tahu kamu punya masalah,” kata Asep sembari ikut menyalakan rokok. “Saya kenal kamu sejak kecil. Jadi saya tau
“Kamu kenapa dari tadi diam saja, Ep?” tanya Ujang yang tengah membersihkan diri di pancuran.Aep tak menjawab. Tangan dan bibirnya masih asyik dengan rokok, sedang pandangannya memindai luasnya persawahan. Pria itu tengah duduk di atas batu di pinggir sungai setelah seharian bekerja di sawah. Tumpukan karung berisi rumput segar berjajar tak jauh darinya.“Sok atuh cerita sama saya kalau kamu punya masalah,” ujar Ujang sembari berusaha naik ke atas batu, kemudian duduk di samping Aep. “Saya tahu kalau kamu punya masalah.”Aep mengembus napas panjang. “Ucapan kamu sama persis seperti ucapan Asep semalam, Jang.”Ujang diam sejenak. “Ya wajar atuh, Ep. Saya sama Asep itu teman kamu dari kecil. Sok atuh cerita.”Aep melempar rokoknya ke aliran sungai. “Si Rojali, Jang.”“Maksudnya Ustaz Rojali?” koreksi Ujang dengan wajah yang sengaja d