Sudah lima belas menit Rusly terus mendobrak pintu sambil menggedor-gedor. Aku tidak luluh dan tidak mau membuka pintu lagi. Cukup sudah aku menderita atas kebahagiaannya. Kuputuskan pergi menjauh dari daun pintu menuju kursi yang ada di ruang tamu. Aku menghubungi kantor polisi kalau rumahku diteror seseorang dan membuat aku tidak nyaman. Ini aku lakukan demi kenyamanan dan ketentramanku."Halo ... Pak polisi. Ini aku Nesya warga dukun Salak Gang Keramat Jati Luhur. Rumahku sedang diteror mantan suamiku untuk minta rujuk dan nikah sekarang. Aku merasa terganggu atas perilaku yang dia lakukan pada saat ini. Aku harap bapak bisa datang kemari untuk mengamankan sekitar rumahku dan dari segala macam ancaman serta gangguan yang dia lakukan," ucapku panjang kali lebar setelah sambungan telepon terhubung.Terimakasih atas laporannya. Mohon tunggu dan segera waspada dari hal yang tidak diinginkan!" nasihat seorang pria yang menjawab panggilanku. Aku saja tidak tahu siapa namanya. Aku merasa l
Aku terdiam memikirkan perkataan Rusly pada saat itu. 'Dia benar-benar jahat dan sungguh tega kalau dirinya benar untuk mengganggu hidupku,' ucapku dalam hati. Aku sangat malas dan enggan bangkit dari atas dipan.Aku teringat kepada Arlan. "Apakah aku menerima Arlan secepat mungkin agar bisa bebas dan lepas dari ancaman dan gangguan Rusly?" tanyaku. Aku bangkit dari dari atas ranjang lalu duduk di kursi meja riasku. Kuperhatikan wajah dan tubuhku di depan cermin. "Sepertinya aku tidak jelek-jelek amat dan tidak tua," imbuhku kembali.Aku mencari ponsel milikku untuk segera menghubungi dirinya. Setelah mendapat benda pipih itu. Kuotak-atik lalu ingin kutekan tombol call. Namun, aku sontak berdiam diri dan mengurungkan panggilan itu. "Di mana harga diriku jika menghubungi pria terlebih dahulu? Tidak ... aku tidak boleh gegabah dan mengemis kepada lelaki."Aku meletakkan ponsel itu ke atas nakas lalu melangkah menuju kamar mandi. Kubasuh seluruh anggota tubuh di bawah shower. Aroma sabun
Part 73: Akhirnya Jadi JugaAku membuang muka. Malas sekali berurusan dengan Rusly. Andai saja Arlan tidak membatalkan janji makan siang hari ini. Mungkin aku tidak merasakan kesal seperti ini."Aku tidak mau tahu alasan apa pun itu. Kamu harus mau menikah denganku. Tolong jangan menghindar atau pun itu berkelit!" bentak Rusly dengan wajah memerah. Larva emosinya siap tempur untuk dimuntahkan."Apa kamu sudah gila!" berangku pertanda tidak setuju. Aku melepaskan genggaman tangannya di lenganku. "Kamu tidak ada hak memaksa orang agar menjadi istrimu kembali," imbuhku lalu masuk ke dalam rumah. Aku memanfaatkan situasi itu dengan cepat menutup pintu. Akhirnya aku bisa lepas dari terkaman buasnya."Sial! Kenapa aku bisa lengah!" racaunya tidak terima. Rusly terus menerus menggedor daun pintu. Tidak ada sama sekali kugubris.***Satu Minggu setelah di penjara. Di sudut kamar empat kali tiga jeruji besi. Ririn meratapi nasib malang yang menimpa dirinya. Dia masih saja tidak terima akan hal
Air matanya akhirnya sebak menjulur ke bawah. Panas begitu terasa ketika cairan bening itu mengalir begitu saja. "Aku tahu air matamu yang baru saja jatuh hanya air mata buaya. Itu bukan murni karena kamu menyesali apa yang telah terjadi," sindirku dengan mengangkat dagunya agar kedua bola mata kami bersirobok.Ririn menepiskan pandangannya. Dia merasa terhina atas perlakuan yang kuciptakan. Aku tidak peduli bagaimana pun itu perasaannya saat ini. Perasaan senang kini lahir di dalam jiwa dan ragaku."Kumenyesali apa yang telah melanda diriku," ucapnya parau. Ririn terisak pilu seolah dia yang paling terzalimi atas apa yang telah menimpa dirinya. "Bo-boleh kah aku meminta tolong kepadamu, Nesya?" tanyanya memberanikan diri.Aku menatap sorot matanya yang sendu. Walau bagaimana pun itu, raut wajahnya yang terpahat. Aku tidak boleh sama sekali merasa kasihan apa yang dialaminya. Ketika dia merebut suamiku dan datang sebagai tamu tak diundang ke dalam surga yang sedang kubina. Dia tidak a
"Aku tahu dia hanya akting. Segala macam cara dia lakukan demi kepuasan dan kesenangannya."Aku mendelik seolah tidak paham apa maksud dari tujuan perkataan Pak Sudrajat."Ma-maksudnya, Pak?" tanyaku melahirkan wajah heran."Kamu lupa atas kasus pemalsuan kata matiku dia buat. Nah, ini juga pasti akal-akalannya untuk berbuat gila atau sekarat.""Masalahnya kenapa ke aku imbasnya. Buat apa dia berbuat seperti itu untuk mengorbankan orang lain. Sama halnya Rusly. Menjandakan istri sah demi seorang wanita janda." Pak Sudrajat mengukir senyum tipis. Aku tidak menyangka seribet ini urusannya."Aku tidak habis pikir pola pikir beliau ntah bagaimana. Masa dia ingin terbebas dan melihat orang lain bahagia, akan tetapi mengorbankan orang lain. Itu sudah jalan yang salah, Pak," imbuhnya tidak terima apa pun itu keputusan yang ditempuh Bu Aisyah."Sudah aku katakan. Segala macam cara dia lakukan. Jalan pantas dianggap pantas. Jadi ... kamu harus berhati-hati terhadap mereka semua!"Aku menghela
Part 74: KembaliBu Aisyah memang pura-pura drop. Dia tidak mau mendekam di penjara di usia senjanya. "Lihat saja nanti Sudrajat! Aku akan membalas kembali perbuatanmu setelah keluar dari jeruji besi ini."Perawat dan dokter sudah angkat tangan menangani pasien atas nama Bu Aisyah. Segala macam cara dia lakukan agar bisa lepas dan bebas dari tahanan. Belum lagi dia selalu ingin melukai dirinya sendiri. Seperti pada saat itu, dia mencabut jarum infus lalu diarahkannya kepada ke dua bola matanya. Dokter dan perawat tidak tahu lagi harus berbuat apa."Ibu tolong jangan berbuat yang aneh-aneh!" seru perawat dengan nada hati-hati. Dia tidak mau kalau pasien mencelakai dirinya. "Aku tidak gila! Aku ini sehat dan waras!" bentak Bu Aisyah dengan wajah memerah.Memang tubuh dan jiwanya beliau tidak sedang sakit. Namun, pikirannya saja yang bermasalah karena impiannya untuk membuat Sudrajat lenyap dari atas muka bumi ini. Semua yang dia harapkan tidak sesuai. Itu sebabnya pikirannya tidak sang
Aku mencari ponsel di atas nakas. Niat hati untuk menghubunginya agar mantan suamiku segera mengurus berkas. Kucoba menelponnya, tetapi tidak ada sama sekali jawaban. Aku menaruh curiga dan pikiran jahat menggerayangi otakku.Kurobohkan tubuh ini ke atas ranjang sembari memegang ponsel. Kutatap langit kamar seolah berpikir kenapa dia tidak mau menerima panggilanku? Padahal, beberpqa hari yang lalu dia datang bersimpuh memohon dan bahkan mengemis agar aku aku dan dia rujuk.Baru saja aku mengingat-ingat sisi baiknya. Tidak ada sama sekali kukenang. Semua tentang kenangan pahit laksana pahitnya empedu. Pikiranku seolah berubah haluan untuk kembali jatuh ke dalam pelukannya.'Aku tidak boleh terlalu bucin. Sekali jatuh, tidak boleh lagi jatuh ke dalam lubang yang sama.' Aku bermonolog untuk menguatkan hati dan pikiranku agar tidak goyah.Aku baru ingat pesan Pak Sudrajat. Kalau hari ini ada jadwal untuk bersua dengannya. Dia katanya ingin memperkenalkan seorang pria yang jauh lebih baik
Di ujung belahan bumi yang lain, Rusly sedang galau memikirkan masa depannya. Dia baru sadar kenapa bisa terjebak dengan pernikahan sirih antara Bu Aisyah dengannya. Dia tidak tahu kalau masalahnya jadi serumit ini.'Ibu ... aku butuh bahu buat bersandar.' Rusly bermonolog. Dia menelan salivanya terasa getir. Nasi sudah jadi bubur. Andai kata dia tahu kalau dampaknya seperti ini. Dia tidak akan bermain api.'Aku harus berdua dengan ibu. Aku tidak mau melukai hati dan perasaannya.' Lagi dan lagi dirinya bermonolog. Dirinya sudah sadar akan dosa dan salah yang dia lakukan kepada ibu kandungnya."Tolong beri tahu aku di mana alamat ibu kandungku sekarang!" desak Rusly kepada Bu Aisyah. Dia baru saja berdua dengan ibu angkat sekaligus istri sirihnya. "Aku tidak tahu di mana dia tinggal," jawab Bu Aisyah meninggikan nada. Bagaimana pula dia bisa mengetahui keberadaan Larasati. "Lagi pula coba tanya kepada Nesya!" jawabnya sambil mengukir senyum tipis.Rusly sebenarnya enggan untuk berhubu