"Apa?"Mona syok mendengar jawaban lugas dari lelaki tampan di depannya. Tatapan beralih pada Alesya dan kembali berkata, "Ale, bagaimana bisa, kamu lakukan hal ini? Bukankah kamu sangat men–""Sudah cukup, Mona. Kamu sudah mengerti semuanya jadi cukup lihat saja kehidupanku. Jangan coba coba mencampuri urusan pribadiku," cerca Alesya membuat Mona bergidik ngeri. Tak biasanya Alesya bersikap seperti itu. Alesya yang dikenal dulu sangatlah lemah lembut dalam bertutur kata. Ditatap penuh kecurigaan lelaki yang kini menggandeng tangan Alesya. "Ayo kita pulang, Ale."Alesya mengangguk, memandang Mona sekilas dan berlalu pergi. Hatinya tak nyaman karena telah membentak sahabatnya itu. "Ale, tunggu! Dengarkan aku dulu. Ale?!"Alesya sama sekali tak menggubris panggilan Mona membuat wanita seksi itu menggerutu sebal. "Apa yang sebenarnya terjadi? Aku akan mencari tahu semua ini!"Mona memutuskan pergi menuju ruang Obgyn. Ya, kakaknya adalah seorang Dokter kandungan. Hanya butuh beberapa m
Bella menarik nafas dalam-dalam dan berkata pada Liam, "aku hamil.""Apa?!"Dengan gugup, Bella mengulurkan sebuah alat tes kehamilan yang menunjukkan dua garis merah kepada suaminya. "Ya Liam, aku hamil," ucap Bella pelan, hatinya berdebar kencang menunggu reaksi suaminya.Liam menoleh, melihat benda yang diberikan Bella. Matanya melotot tak percaya, lalu kembali menatap wajah Bella yang tampak cemas."Bagaimana bisa?" tanya Liam, masih dengan nada tak percaya.Bella mengangguk pelan, menahan air mata kebahagiaan yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ketika Bella memberitahu Liam tentang kehamilannya, ekspresi wajah Liam tidak menunjukkan kebahagiaan. Sebaliknya, seolah ada beban yang memikul hatinya. Hal itu kentara dengan ekspresi Marco. Dia juga tak menyangka Bella hamil. Anaknya itu selalu berfikir untuk kemolekan tubuhnya sehingga tak mau hamil bahkan mempunyai anak. Bagi Bella, mempunyai anak sangat merepotkan, dia tak punya waktu untuk bersenang senang dan dirinya akan ter
Zidan dan Alesya tiba di gereja dengan penuh semangat untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu pegawai mereka. Mereka berjalan beriringan sambil menggenggam tangan satu sama lain, menunjukkan betapa erat hubungan mereka. Sebelum pesta dimulai, mereka memutuskan untuk berdoa bersama, berlutut di depan altar dan merasakan kedamaian yang melingkupi gereja itu."Selamat atas pernikahan kalian," ucap Zidan pada Arkan, anak buahnya."Terima kasih boss. Aku harap Anda segera menyusul."Zidan mengangguk tak nyaman karena Alesya ada disampingnya, mendengar pembicaraan mereka. "Tentu. Nanti, disaat wanita yang kucintai sudah memahami pengorbananku sejauh ini sehingga dia akan memutuskan untuk bersamaku.""Oh, so sweet," puji mempelai wanita membuat Alesya semakin memerah, terasa jika orang disekitarnya memang memojokkan dirinya agar segera menerima Zidan sebagai suami."Sudahlah. Ayo kita mulai bersenang senang di pesta!" ucap Zidan."Lets go!"Pesta pernikahan berlangsung dengan meriah, pe
"Apa ini?!" tanya Liam sambil membuka tumpukan kertas dan amplop coklat.Mata tajam itu mulai membaca dengan seksama tulisan yang ada pada lembaran di tangannya. "Miom!" gumam Liam yang masih terdengar Mona."Benar, Alesya divonis mengidap Miom, penyakit yang bisa mempengaruhi janin di kandungannya," jelas Mona sambil melirik Liam. Mencoba mencari rasa khawatir di mata mantan suami Alesya itu namun sama sekali tak ada. Mengenai Alesya, dia bukan mantan Liam karena mereka belum bercerai.Liam menatap hasil pemeriksaan Alesya dengan wajah datar, berusaha menutupi kecemasan yang menggebu di dalam dadanya. Mona yang melihat Liam pun menggeleng pelan, mengawasi Liam dengan tatapan curiga."Kau tak perlu khawatir, Liam," ujar Mona lemah, mencoba memberi semangat kepada suami sahabatnya itu. Ucapan Mona terdengar seperti sindiran yang justru membuat Liam merasa semakin terpengaruh dan rapuh. Banyak sekali pertanyaan di benaknya yang belum juga terjawab. Dan sampai saat ini semua tanda tanya
Zidan dan Alesya mulai berpetualang dengan sepeda motor antik milik Zidan, melaju menuju perkebunan anggur yang terletak di sudut kota Amerika. Alesya masih ragu, namun rasa ingin memakan anggur begitu mendesak dirinya untuk ikut, terlebih tawaran Zidan untuk menemani perjalanan ini juga tak mampu ditolaknya."Kamu harus berpegangan erat, ya. Jalannya tidak mulus," ujar Zidan sambil menyalakan mesin motor yang mengeluarkan suara berdengung khas."Em, baik." Alesya pun mengangguk dan mulai melingkarkan tangannya di pinggang Zidan, berusaha menahan ketakutannya. Zidan tersenyum puas dan mulai melajukan motor.Sepanjang perjalanan, mereka melintasi jalan- jalan yang berliku dan bergelombang, membuat Alesya semakin erat memeluk Zidan, tampak ragu dan tak nyaman karena baru pertama kali melakukan hal yang diluar batas menurut Alesya. Perlahan tapi pasti, Wanita hamil itu mulai menikmati perjalanan tersebut, terpesona oleh pemandangan indah di sekitar mereka.Di tengah perjalanan, Zidan sese
Zidan dan Alesya tiba di kediaman Roderick. Mereka berdua melangkah perlahan mendekati rumah yang besar dan megah itu, namun terlihat sunyi. Zidan merasa takut jika mereka ketahuan datang ke sini, jadi dia mencoba memastikan dulu keberadaan Liam sebelum melanjutkan masuk kesana. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kantor Liam."Halo. Apakah saya bisa berbicara dengan CEO Liam?" tanya Zidan dengan hati-hati."Maaf, tapi Tuan Liam sedang ada rapat," jawab resepsionis di seberang sambungan telepon."Baiklah kalau begitu. Maaf mengganggu," ucap Zidan sebelum memutuskan sambungan.Mendengar kabar itu, Zidan merasa lega dan mengajak Alesya untuk melanjutkan rencana mereka. "Ayo masuk Ale!"Zidan memegang tangan Alesya, membawa menuju pintu rumah. "Tunggu, Zidan. Kita tak perlu masuk kediaman Liam. Kita bisa lewat samping karena anggur merah terletak di balkon kamarku.""Baiklah. Ayo kesana!"Mereka berjalan ke sisi rumah dan menemukan tangga yang mengarah ke balkon kamar Alesya. Deng
"Itu…"Zidan tersenyum kecut pada Alesya, mengingat bagaimana detik-detik mendebarkan yang baru saja ia alami. "Aku berhasil mengambil tiga biji anggur untukmu, Alesya," katanya pelan, menunjuk pada anggur di telapak tangan.Alesya kembali menatap intens tiga objek di tangannya, terkejut namun bersyukur. "Terima kasih banyak, Zidan. Aku tahu itu berbahaya. Kamu benar-benar berani melakukannya demi aku."Zidan mengangguk, wajahnya memerah karena malu dan bangga. "Ah, tidak apa-apa. Tapi tadi Bella, mengapa dia terlihat sangat marah saat melihat kita? Aku sungguh tak menyangka jika dia akan semarah itu."Alesya menarik nafas panjang, merasa cemas. "Jangan khawatir tentang Bella, Zidan. Semuanya akan jelas terungkap, jadi kamu tak usah takut padanya, Oke."Zidan terkekeh, "kamu ini bisa saja, Ale. Kenapa juga aku harus takut pada kakak tak tahu diri itu."Keduanya tadi sempat menyimpan rasa was was dan takut akan kemarahan Bella."Sekarang, makanlah! Bukankah kamu begitu menginginkannya.
Satu jam sebelumnya.Mona berjalan menuju kediaman Roderick dengan niat untuk bertemu Bella. Namun, di tengah perjalanan, dia terkejut melihat Alesya dan Zidan duduk berdua di pantai. Pasangan itu tampak begitu akrab, dimana Zidan menyuapi sesuatu pada Alesya. Mona merasa perlu untuk merekam kejadian tersebut dan mengirimkannya kepada Liam. Mona mengeluarkan ponselnya dengan hati- hati, dan mulai merekam adegan yang terlihat di depan matanya. Alesya dan Zidan tertawa bersama, berbicara dengan lembut satu sama lain, dan sesekali Zidan mengusap rambut Alesya yang diterpa angin pantai. Mona merasa marah dan kecewa menyaksikan kejadian itu, tapi dia yakin Liam perlu mengetahui apa yang terjadi.Setelah yakin cukup bukti yang direkamnya, Mona mengakhiri video dan segera mengirimkannya ke nomor Liam. "Liam, kamu harus melihat ini," tulis Mona di pesan singkatnya. Dia menunggu beberapa saat, merasa jantungnya berdegup kencang menunggu respon dari Liam.Mona merasa iba kepada Liam, namun dia